Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Rapor Merah OJK: Dari Temuan BPK hingga Kritik Tajam DPR

Rapor Merah OJK: Dari Temuan BPK hingga Kritik Tajam DPR

Selasa, 05 November 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Plang nama OJK. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Kritik tajam mengarah kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menetapkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada laporan keuangan OJK tahun 2023. Anggota DPR dan pengamat menilai ada sejumlah kejanggalan dalam laporan keuangan lembaga yang seharusnya menjadi garda pengawasan sektor jasa keuangan nasional ini.

Ketua Komisi XI DPR, Melchias Marcus Mekeng, melontarkan kritik keras dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Komisioner OJK di Gedung DPR RI, Senayan.

Laporan BPK menyebut opini WDP untuk laporan keuangan OJK. Ini memalukan. Sebuah lembaga negara yang menggunakan uang dari publik seharusnya memiliki tata kelola yang bersih,” kata Mekeng.

Kekesalan Mekeng bukan tanpa alasan. Ia menyoroti temuan BPK terkait pengeluaran sebesar Rp400 miliar untuk sewa gedung yang belum dituntaskan oleh OJK. Mekeng menilai, pengabaian tersebut merupakan bentuk pembiaran atas penggunaan uang publik yang seharusnya transparan dan akuntabel.

“Bagaimana mungkin anggaran sewa gedung saja tidak bisa diselesaikan? Kalau ini dibiarkan, bagaimana kita bisa percaya pada pengelolaan keuangan OJK yang lain?” ujarnya.

Dalam laporan BPK yang dirilis pada 3 Mei 2024, sejumlah temuan signifikan terkait penyajian laporan keuangan OJK mengemuka. Salah satu yang disorot adalah pengeluaran imbalan kinerja tahun 2022 sebesar Rp759,61 miliar yang dibebankan pada anggaran 2023. BPK menilai pencatatan ini tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang mengharuskan beban dicatat pada tahun yang sama saat pengeluaran terjadi.

Selain itu, BPK menemukan adanya pengeluaran kas sebesar Rp394,10 miliar yang belum memiliki pertanggungjawaban atau pemulihan. “OJK telah melakukan pengeluaran kas yang belum dipulihkan sebesar Rp394,10 miliar,” demikian bunyi laporan BPK.

Temuan ini memicu rekomendasi agar Dewan Komisioner OJK segera mengambil langkah untuk mengembalikan potensi kerugian negara.

Ekonom Yanuar Rizky menyebut masalah ini sebagai tanda buruknya tata kelola internal OJK. “Sebagai lembaga yang menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan mengawasi standar akuntansi, ini sangat tidak pantas. Tata kelola yang buruk akan merusak kepercayaan publik dan bisa berdampak pada stabilitas sektor keuangan,” kata Yanuar.

Yanuar menyoroti potensi kerugian negara akibat pengeluaran kas yang belum dipulihkan ini. Menurutnya, jika OJK tidak segera menyelesaikan masalah ini, publik berhak mempertanyakan kredibilitas lembaga tersebut.

“Jika ada pencatatan yang tidak akurat, OJK seharusnya melakukan restatement atau penyesuaian pada laporan keuangan tahun sebelumnya untuk mengembalikan opini ‘Wajar Tanpa Pengecualian’,” katanya.

Menanggapi kritikan tersebut, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyatakan bahwa opini WDP dari BPK terkait dengan perubahan praktik pencatatan anggaran. Mahendra menjelaskan bahwa sebelumnya, pengeluaran seperti insentif karyawan dan beban pajak masih bisa dibebankan pada anggaran tahun berikutnya. Namun, dengan adanya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), standar pencatatan kini lebih ketat, terutama mulai 2025.

Mahendra mengakui bahwa OJK akan berupaya melakukan penyesuaian agar sesuai dengan batas materialitas dan standar yang ditetapkan.

“Ini adalah pertemuan pertama dengan DPR setelah OJK berdiri. Kami akan mendalami setiap temuan BPK dan memberikan jawaban komprehensif dalam waktu dekat,” ucap Mahendra.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK Semester I 2024, OJK menerima 12 temuan dengan 13 permasalahan, yang meliputi 10 kelemahan dalam Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan 3 ketidakpatuhan terhadap peraturan. BPK juga menemukan kendala dalam memperoleh bukti audit karena adanya kebijakan internal OJK yang dianggap rahasia.

Hal ini, menurut BPK, membuat pihaknya tidak bisa menilai sepenuhnya dampak dari kebijakan OJK tersebut terhadap nilai aset, liabilitas, pendapatan, dan beban.

“Sebagai pemeriksa, kami tidak memperoleh bukti audit yang memadai karena OJK menolak memberikan dokumen tertentu dengan alasan rahasia. Akibatnya, kami tidak dapat memastikan apakah nilai aset dan liabilitas yang tercatat pada akhir 2023 sudah benar,” jelas BPK.

Selanjutnya langkah perbaikan OJK menyatakan komitmen untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan perbaikan tata kelola. Lembaga ini telah mengeluarkan beberapa kebijakan baru, termasuk menerbitkan Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 2023“2027 dan berbagai Peraturan OJK yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola di sektor perbankan syariah dan konvensional.

Meski demikian, beberapa anggota DPR menyatakan bahwa langkah-langkah ini masih belum cukup. Jika persoalan ini tidak diselesaikan segera, OJK terancam kehilangan kepercayaan publik. Mekeng bahkan mengancam akan mendorong evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan OJK jika masalah ini terus berlarut-larut.

“Kalau tahun ini tidak diselesaikan, saya yakin tahun depan OJK akan kembali mendapat opini WDP atau bahkan disclaimer. Kalau sudah disclaimer, lebih baik tutup saja OJK,” tegas Mekeng.

Pandangan lain datang dari Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si dosen FEB Universitas Syiah Kuala mengungkapkan kepada Dialeksis (05/11/2024), polemik ini menjadi ujian bagi OJK untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik.

Menurutnya Dalam konteks ekonomi yang penuh tantangan, kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas sektor keuangan seperti OJK sangat penting. Tanpa perbaikan yang signifikan, OJK berpotensi menghadapi krisis kepercayaan yang bisa berdampak pada stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan.

“Sebagai lembaga yang diharapkan mampu menjaga stabilitas keuangan dan mengatur lembaga jasa keuangan, OJK dituntut untuk memperbaiki tata kelola dan mempertanggungjawabkan setiap anggaran yang dikeluarkan,” jelas bernada tegas.

“Di tengah sorotan publik yang semakin besar, OJK dihadapkan pada pilihan untuk benar-benar berubah atau menghadapi risiko yang lebih besar di masa depan,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda