Polarisasi Penundaan Pemilu, Akar Rumput Bisa Apa?
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
[Foto: Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Orkestra wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia yang berembus kencang belakangan ini terus menimbulkan polarisasi. Meski begitu, debat apakah pemilu 2024 layak ditunda atau dilaksanakan tepat waktu menjadi pembicaraan menarik dari sisi akar rumput dari bagaimana cara menyikapi manuver tersebut.
Tidak melulu membahas soal penolakan dan penggerusan demokrasi akibat wacana tersebut, kali ini Jaringan Survei Inisiatif (JSI) lakukan diskusi publik dengan sejumlah narasumber lintas nasional dan lokal Aceh untuk membahas bagaimana caranya masyarakat bersikap dengan wacana penundaan pemilu ini, Kamis (24/3/2022).
Direktur Indonesia Democracy Research Center (IDRC), Firman Lukman mengatakan, tidak ada hal kuat yang bisa menunda terlaksananya prosesi pemilu tahun 2024. Kalaupun dikata karena pandemi dan pemulihan ekonomi, menurut asumsi Firman, untuk tahun 2024 pandemi makin bisa diatasi.
Ia melanjutkan, berkaca pada Pilkada 2020 yang sukses digelar dalam keadaan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), seharusnya pandemi bukan halangan bagi terselenggaranya pemilu serentak tahun 2024.
Kalau dikata karena ada klaim big data sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, menurut Firman tidak serta merta suara mayoritas bisa menjadi absolut.
Kalau dikata untuk mempertahankan kekuasaan, hal ini yang menurut Firman perlu dikawal ketat. Karena tidak selamanya kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya bisa melabrak amanah konstitusi.
“Kita khawatir isu penundaan pemilu ini menjadi preseden buruk bagi penguasa ke depan. Kalau ditunda dengan alasan yang tidak rasional, nanti penguasa berikutnya akan dengan mudahnya menunda pemilu,” ungkap Firman Lukman.
Dalam diskusi tersebut, Firman menegaskan jika dirinya sedari awal sudah meyakini jika wacana penundaan pemilu tidak akan bisa dilakukan. Akan tetapi, kata Firman, bukan yang mustahil bagi penguasa dengan segala opininya menggiring wacana penundaan pemilu terlaksana.
“Sebenarnya, 2 (dua) periode yang diatur dalam konstitusi kita itu sudah mempertimbangkan banyak hal. Jadi lebih banyak mudharatnya daripada baiknya ketika ada perpanjangan pemilu,” tegas Firman.
Wacana Tunda Pemilu Buat Gaduh Akar Rumput
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengatakan, perkembangan isu wacana penundaan pemilu sedikit banyaknya telah membuat warga gerah.
Soalnya, kata dia, polarisasi penundaan pemilu yang tercipta di elite juga ikut bercabang di masyarakat. Sehingga masyarakat sudah terkonsentrasi dengan sifat yang lebih pada kebutuhan real dan pragmatis sehingga mereka tidak sanggup lagi berpikir lebih jauh, kecuali menyelamatkan hidup masing-masing.
Ia mengatakan, hari ini hampir 80 persen anggota dewan adalah pengusaha. Di tingkat Senayan, hampir separuh lebih anggota dewan adalah pengusaha. Sedangkan sisanya adalah kerabat dari dinasti politik.
“Selama ini tidak ada orang yang betul-betul mengawal proses demokrasi secara tulus mengembalikan kepada amanah reformasi. Tapi mereka-mereka ini justru terlihat lebih kepada menyelamatkan kepentingannya masing-masing,” ungkap Dian Paramita.
Bicara soal dampak penundaan pemilu, menurut Kornas JPPR itu bisa menyebabkan anarki dan kegaduhan sipil. Karena ketika kekuasaan tidak melaksanakan arak generasi kepemimpinan alias penguasanya orang-orang itu saja, maka akan menimbulkan kekuasaan terpusat atau hanya dimiliki oleh orang tertentu saja.
“Tentu saja ini yang menyalahi dari semangat demokrasi itu sendiri,” tegas Dian.
Objektif Melihat Isu, Tidak Boleh Terpaku Pada Satu Frame
Berbeda dengan yang lain, Peneliti JSI Aryos Nivada mengatakan, masyarakat tidak boleh lagi memandang wacana penundaan pemilu dalam satu warna. Dalam artian harus ada proses berpikir kritis dan bijak dalam memahami keadaan penundaan pemilu.
Karena, kata dia, saat ini Indonesia sedang dihadapi pada dua frame yang berbeda (pro-kontra). Secara objektif, tidak bisa serta merta pula berbicara pada satu frame yang sama. Ia mengajak masyarakat untuk lebih objektif memahami isu yang terjadi.
“Sekarang, kalau kita bicara penundaan pemilu apa untung dan ruginya, kalau dipercepat (pemilu) apa untung dan ruginya. Nah, ditengah-tengah itu, apa formula yang pas untuk menjawab kegaduhan ini. Hal ini yang menurut saya perlu dicermati secara bijaksana oleh kita semua,” ungkap Aryos.
Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh itu juga mengatakan, bila dikata kekuasaan saat ini sedang memusatkan 3 periode dan kalangan elite sedang menyiapkannya, lantas apakah selama ini ada arus deras dari masyarakat sipil menentang persiapan 3 periode tersebut.
“Atau memang kita sendiri juga apatis untuk menyikapi satu keadaan yang memang kita anggap bukan satu hal yang penting bagi diri kita sendiri,” tegasnya.
Soalnya, kata Aryos, masyarakat tidak tahu menahu dengan kondisi negaranya. Masyarakat tidak tahu bagaimana dinamika yang terjadi di dalam, tidak tahu bagaimana tarik menarik kepentingan.
“Yang masyarakat tahu hanyalah bagaimana caranya bisa mengakses kesehatan, bagaimana mengungkit daya ekonomi, dan bagaimana mendapatkan pekerjaan. Masyarakat lupa dengan perannya terhadap partisipasi politik,” ungkap Aryos.
Menurutnya, wacana penundaan pemilu hanyalah bola liar yang dimainkan kalangan politisi. Penundaan pemilu bukan suatu kebutuhan yang di-setting jadi suatu kepentingan bersama.
Meski konstitusi sakral, Aryos menegaskan, masih terdapat ruang bagi orang-orang tertentu untuk memanfaatkan celah amandemen. Tinggal bagaimana masyarakat melihat celah itu, apakah akan berdampak positif atau negatif.
Kalaupun amandemen dirasa akan berdampak besar, jelas Aryos, lantas apa yang mesti dilakukan masyarakat untuk mewarnai framing wacana penundaan pemilu ini sehingga kebutuhan absolut untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia itu bisa terwujud.
“lalu, (dengan demikian) kita (bisa) mengambil sikap agar kita bisa satu warna semua,” tutur Aryos.
Bagaimana Proyeksi Gerakan Sipil?
Pada kesempatan yang sama, Sosiolog Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Dr Otto Syamsuddin Ishak mengatakan, adanya diskursus tunda pemilu atau tidak disebabkan karena kemerosotan indeks demokrasi di Indonesia.
“kalau demokrasi kita bagus, meroket ke atas, pasti tidak ada perdebatan ini,” ungkap Otto.
Menurut Otto, hal utama yang perlu dilakukan sekarang ialah bagaimana caranya memproyeksikan gerakan sipil pro demokrasi. Semisal kalau terjadi penundaan pemilu atau dilakukan pas pada waktunya, apa dampak yang akan terjadi bila pemilu ditunda atau tidak.
“Minimal harus ada dua proyeksi yang diskenariokan,” kata Otto.
Dr Otto mengatakan, situasi politik sekarang dengan tahun 1956-1967, kental sangat berbeda. Kondisi sekarang sangat sulit untuk bergerak, sulit untuk memproyeksikan apa yang harus dilakukan kalau terjadi penundaan pemilu.
“Diskursus sekarang bukan lagi kita bahas tentang menentang penundaan pemilu, atau mendukung tepat waktu. Yang sudah pasti terjadi hanya dua pilihan. Apakah itu pemilu tepat waktu atau penundaan. Tentu saja faktornya dipengaruhi oleh situasi global dan situasi nasional dan lokal. Dari dua pilihan itu apa yang bisa kita lakukan,” pungkasnya. (Akhyar)