kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Menunda Pemilu, Merusak Demokrasi Indonesia

Menunda Pemilu, Merusak Demokrasi Indonesia

Minggu, 13 Maret 2022 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi penolakan penundaan Pemilu 2024. [Foto: dok. jurnal ngawi]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Alam demokrasi Indonesia kini kembali dibuat gaduh. Alih-alih membicarakan hal-hal terkait pematangan persiapan dan mulai melaksanakan tahapan pelaksanaan pesta demokrasi terbesar di Indonesia yaitu Pemilihan umum (Pemilu), isu lain digulirkan. 

Isu yang membuat berbagai kalangan, mulai dari politisi, akademisi, pengamat dan masyarakat pada umumnya sibuk beradu komentar, yaitu tentang wacana pembatalan Pemilu. 

Kegaduhan tersebut wajar adanya. Betapa tidak, seperti diketahui, Pemilu merupakan sarana seluruh rakyat Indonesia untuk menyatakan sikap politiknya. Meskipun sebagaian besar masyarakat tidak terlibat langsung dalam dunia politik, namun Pemilu menjadi hal yang sangat ditunggu-tunggu. Datang ke tempat pemungutan suara, lalu menentukan aspirasinya untuk masa Indonesia selama lima tahun setelah itu.

Itu artinya, Pemilu menjadi ajang menentukan sikap politik seluruh rakyat Indonesia yang telah memiliki hak memberikan suara. 

Jauh-jauh hari sebelum Pemilu, rakyat dari berbagai kalangan, baik kalangan bawah, menengah, dan apalagi kalangan atas, berdialektika di berbagai kesempatan. Mulai dari ajang-ajang formal, hingga percakapan saat berkumpul bersama. 

Dialektika itu tak lain untuk menyaring informasi, berdiskusi, lalu menentukan sikap pada hari pencoblosan.

Namun kenyataan hari ini berbeda dengan suasana pra-Pemilu sebelumnya. Alam demokrasi menjadi gaduh, tapi bukan untuk menentukan sikap politik, tapi menyikapi pernyataan politik, yaitu wacana pembatalan Pemilu tahun 2024. 

Ada yang pro, ada yang kontra. Dan wajar jika kemudian juga ada yang curiga bahwa upaya pembatalan Pemilu tahun 2024 adalah bagian dari upaya menghancurkan demokrasi Indonesia. 

Bermula sejak akhir Februari 2022. Seperti dikutip dari kompas.com, isu pembatalan Pemilu 2024 dikemukakan oleh sejumlah elite partai politik, seperti Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. 

Persoalan anggaran sempat disinggung oleh Zulkifli sebagai salah satu alasan PAN mengusulkan penundaan pemilu. 

"Anggaran pemilu yang justru membengkak dari rencana efisiensi, lebih baik dikonsentrasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat," kata Zulhas, sapaan akrab Zulkifli, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25 Februari 2022).

Zulhas juga menyampaikan, ada empat alasan PAN menyatakan sikap perlunya Pemilu ditunda. Pertama terkait kondisi Pandemi Covid-19, kedua karena kondisi perekonomian belum stabil. 

Alasan yang ketiga adalah karena perkembangan situasi konflik global yang perlu diantisipasi, antara lain perang Rusia-Ukraina dan tidak menentunya harga minyak dunia. Dan yang keempat keberlangsungan program-program pembangunan nasional yang tertunda akibat pandemi. 

Masih dari kutipan kompas.com, Muhaimin mengusulkan agar Pemilu ditunda dengan dalih ekonomi. Menurut Muhaimin, usulan itu muncul karena dia tidak ingin ekonomi Indonesia mengalami pembekuan setelah dua tahun stagnan akibat pandemi Covid-19. 

Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, akan ada banyak momentum untuk memulihkan ekonomi selama 2022-2023. Sementara, gelaran Pemilu ia nilai bisa mengganggu prospek ekonomi. 

Adapun, Airlangga mengusulkan penundaan Pemilu lantaran mengaku menerima aspirasi dari kalangan petani di Kabupaten Siak, Riau, terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Menabrak UUD 1954

Wacana pembatalan Pemilu kemudian meledak hingga orang nomor satu di Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo bersuara.

"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," kata Jokowi panggilan akrab Presiden Joko Widodo.

Pendapat Jokowi kemudian juga mendapat beragam pendapat dari berbagai kalangan. Misalnya dari Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana, yang juga Senior Partner INTEGRITY Law Firm. 

Di halaman website integritylawfirm.id, Denny menuliskan surat terbukanya secara panjang lebar. 

Denny menuliskan, Pembatalan Pemilu 2024 adalah sikap yang terang-benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu, tapi banyak pasal yang dilanggar. Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3). 

Menghilangkan Pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari negara berdasarkan hukum (rechtstaat). 

Usulan membatalkan Pemilu, yang implisit mengandung hasrat memperpanjang masa jabatan petahana Presiden-Wakil Presiden, parlemen pusat dan daerah, bahkan kepala daerah, jelas-jelas bertentangan dengan pembatasan masa jabatan presiden, Pasal 7; anggota DPR, DPD, dan DPRD dipilih melalui pemilu, Pasal 19 ayat (1), 22C ayat (1); dan 18 ayat (3); kepala daerah dipilih secara demokratis, Pasal 18 ayat (4); dan pemilihan umum dilaksanakan berkala setiap lima tahun, Pasal 22E ayat (1).

“Usulan pembatalan Pemilu, menjabat dan memperpanjang kuasa tanpa Pemilu, jelas menabrak prinsip limitation of powers. Pelanggaran prinsipil demikian tidak menjadi benar, meskipun dikonstitusikan sekalipun," tulis Denny.

Upaya memperpanjang masa jabatan?

Ya, ada beberapa kalangan berpendapat bahwa, upaya penundaan Pemilu, atau pembatan Pemilu 2024 merupakan skenario untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi yang telah dua periode terpilih sebagai Presiden. Ke depan, sesuai amanah konstitusi, Jokowi tidak boleh lagi maju sebagai calon presiden. 

Wacana pembatalan Pemilu 2024 tentu mendapat penolakan dari publik. Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam menduga operasi penundaan Pemilu akan berlanjut. 

Umam menyebut, strategi lain yang akan dijalankan oleh aktor-aktor itu adalah dengan memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara untuk menyatakan tidak sanggup menjalankan Pemilu pada 14 Februari 2024. 

Indikator dasar dari operasi itu salah satunya tidak agresifnya partai-partai politik di Senayan untuk mengetok alokasi dana Pemilu 2024. 

"Titik krusialnya ada di bulan-bulan ini. Jika tangan dan kaki KPU dikunci oleh tidak jelasnya pengesahan alokasi dana Pemilu, maka problem teknis operasional penyiapan Pemilu 2024 akan muncul," kata Umam dalam keterangannya, Rabu (9 Maret 2022) seperti dikutip dari Sindonews.com

Umam mengungkap bahwa di titik itulah, elemen kekuatan predatorik di sekitar Istana Presiden dan partai-partai politik pendukung penundaan Pemilu akan cuci tangan dan melimpahkan kesalahan atas ketidakmampuan penyelenggaraan Pemilu 2024 secara tepat waktu, kepada KPU. 

"Jika sampai KPU berhasil dipaksa untuk menyatakan tidak siap, maka operasi politik predatorik ini berhasil dijalankan," kata Umam.

Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menegaskan anggaran Pemilu 2024 belum ditetapkan hingga saat ini, tidak ada kaitan dengan wacana penundaan Pemilu 2024. 

Menurut Raka, anggaran Pemilu merupakan salah satu aspek teknis yang perlu dibahas lagi bersama DPR, KPU dan pemerintah. 

"Saya kira tidak ada (kaitan anggaran Pemilu 2024 dengan wacana penundaan Pemilu)," ujar Raka, Jumat (11 Maret 2022), dikutip dari beritasatu.com.

Bagi KPU, kata Raka, Pemilu sudah jelas diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Hingga saat ini, tegasnya, tidak ada rencana penundaan Pemilu 2024. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik dalam Pasal 22E UUD 1945 maupun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Selain itu, setelah melalui proses yang cukup panjang KPU melalui Keputusan KPU Nomor 21 Tahun 2022 juga sudah menetapkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada Rabu (14 Februari 2024). Kami KPU berpedoman pada ketentuan-ketentuan tersebut," katanya.

Raka mengatakan masalah anggaran termasuk jadwal dan tahapan Pemilu 2024 lebih pada aspek teknis. Dia menilai masing-masing pihak, yakni KPU, DPR dan pemerintah perlu mencari waktu yang tepat untuk membahas secara bersama-sama aspek-aspek teknis kepemiluan itu.

"Pembahasan hal-hal teknis itu merupakan hal penting karena itu perlu dipersiapkan dan juga perlu partisipasi pihak-pihak terkait yang berwenang untuk itu," katanya.

KPU sebenarnya sudah mengusulkan anggaran Pemilu 2024 kepada DPR dan pemerintah sebesar Rp 86 triliun. Jumlah ini dinilai terlalu besar, apalagi dibandingkan anggaran Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp 25,59 triliun dan anggaran Pemilu 2014 adalah Rp 15,62 triliun.

Lalu, KPU melakukan rasionalisasi dan menyebutkan angka Rp 76,6 triliun sebagai usulan akhir KPU soal anggaran Pemilu 2024. Anggaran ini berasal dari APBN mulai tahun anggaran 2022 hingga 2025. Namun, anggaran belum dibahas dan disetujui oleh KPU, pemerintah, dan DPR.

Corona dan agenda pembangunan bukan alasan

Saiful Mujani Research And Consulting (SMRC) angkat bicara terkait wacana penundaan Pemilu. Dalam siaran pers yang dirilis tanggal 3 Maret 2022, Saiful mengatakan pandemi tak menghambat Pemilu dunia. 

Mengutip laporan dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Saiful menyatakan bahwa pada periode 2020 sampai 2021, dari 301 pemilihan umum, 62 persen di antaranya diselenggarakan sesuai waktu atau jadwal yang telah ditentukan sebelumnya. 

Ada yang ditunda kurang dari 6 bulan, sekitar 32 persen. Semenyara ada 2 persen yang ditunda selama 1 tahun. Dan 4 persen yang masih ditunda dan belum jelas akan dilakukan kapan.

Dari data ini, kita melihat bahwa mayoritas agenda Pemilu, termasuk Pemilu lokal, tidak terganggu secara umum oleh Covid-19, jelas pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini.

Saiful menjelaskan bahwa memang ada perubahan pelaksanaan Pemilu di seluruh dunia. Pada kuartal kedua 2020, sekitar bulan Juni, ketika orang sedang takut-takutnya pada Covid, jumlah penundaan pemilu sangat tinggi, sekitar 76 persen dari total Pemilu yang harus dilaksanakan. Tapi beriringan dengan waktu, kuartal ketiga 2021, tinggal 14 persen. Sudah turun dan mulai mendekati kondisi yang sangat normal.

Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) ini menyatakan dilihat dari angka-angka tersebut, dari 301 di seluruh dunia, Amerika Latin, Afrika, Asia Pasifik dan lain-lain, terlihat pola bahwa Covid tidak mengganggu pilkada atau pemilu. Atau sebaliknya, pemilu tidak membuat Covid menjadi lebih buruk.

Mengapa demikian? Saiful menjelaskan bahwa Covid-19 adalah persoalan kesehatan publik yang memiliki prosedur tersendiri dalam penanganannya. Sementara Pemilu adalah urusan politik yang juga memiliki presedur untuk menyelenggarakannya. 

Dari pola ini, terlihat bahwa kedua persoalan itu (Covid dan Pemilu) tidak bertabrakan, jelas doktor ilmu politik dari Ohio State University tersebut.

Tentang pemilu nasional. Saiful mencontohkan India. Walaupun negara ini memiliki penduduk yang sangat banyak, tapi mereka tetap menjalankan Pemilu nasional dalam masa Covid-19. Dan Pemilu itu berjalan dengan baik.

Namun demikian, lanjut Saiful, ada sejumlah kasus penundaan Pemilu nasional. Tapi itu umumnya terjadi di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi yang sangat lemah atau negara-negara non-demokratis.

Saiful mencontohkan negara seperti Zimbabwe atau Haiti yang baru mengalami insiden pembunuhan presiden. Ini berbeda dengan negara-negara yang demokrasinya sudah matang seperti Korea Selatan. Meskipun kasus pandemi masih banyak, tapi mereka tetap menyelenggarakan pemilihan umum.

Orang yang berargumen bahwa Pemilu seharusnya ditunda dengan alasan pandemi tidak punya basis empirik yang kuat, tegasnya.

Bahkan, lanjut Saiful, Indonesia bisa melaksanakan Pilkada 2020 dan dinilai oleh para pengamat dunia berlangsung dengan sangat baik. Kekhawatiran bahwa partisapasi pemilu akan sangat rendah juga tidak terjadi. Kenyataanya, partisipasi pemilu waktu itu lebih tinggi dari rata-rata di zaman normal, jelasnya.

Hal itu (Pilkada serentak 2020) adalah tes apakah karena Covid-19, maka demokrasi elektoral kita bisa terganggu. Ternyata Covid bisa diurusi oleh pemerintah dengan serius, sementara kewajiban konstitusional untuk pilkada juga tetap dipenuhi, pungkas Saiful. 

Menjawab pandangan yang dikemukakan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, bahwa kalangan pengusaha menginginkan penundaan Pemilu, Saiful mengatakan hal itu butuh penelitian lebih lanjut. Apakah betul para pengusaha tidak menginginkan Pemilu dilakukakan sekarang. Para pengusaha ini, menurut Saiful, sudah mengalami Pemilu dengan baik selama 20 tahun. 

Argumennya, kata Saiful, mungkin adalah bahwa pembangunan ekonomi butuh stabilitas. Sementara pemilu potensial bisa menciptakan konflik, riak-riak dan seterusnya yang akan mengganggu stabilitas. Argumen ini menurut Saiful sangat Orde Baru.

Boleh khawatir, tapi Indonesia sudah punya pengalaman menyelenggarakan Pemilu berkali-kali, mulai dari Pemilu 1999 sampai 2019. Dan Pemilu-pemilu ini dinilai oleh dunia internasional berjalan dengan baik, terang pendiri SMRC ini.

Saiful menerangkan bahwa hampir semua negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus, sekitar 3 persen. Begitu memasuki 2021, pertumbuhan ekonomi dunia mulai terjadi recovery, tumbuh rata-rata 5 persen.

Bahkan ada proyeksi dari Bank Dunia, IMF, termasuk BPS, ekonomi Indonesia akan tumbuh sekitar 5 persen di 2022. Ini di atas rata-rata dunia yang kurang lebih 4 persen.

Karena itu, Saiful menegaskan tidak cukup argumen yang menyatakan bahwa Pemilu bisa ditunda dengan alasan pemulihan ekonomi. Ekonomi sekarang mulai pulih. Dari 2020 sampai sekarang, Indonesia sudah on the right track seperti negara-negara lain di dunia. Bahkan pada 2020, dibanding dengan negara-negara lain di G-20, Indonesia akan tumbuh terbaik kedua setelah India. Tidak banyak negara yang bisa mencapai itu di dunia.

Karena itu tidak ada alasan ekonomi yang bisa memundurkan Pemilu. Atau kalau mau memundurkan Pemilu ke 2027 dengan alasan ekonomi, perbaiki lagi argumennya supaya lebih solid, tegasnya.

Saiful mengambil contoh kasus Indonesia. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi jatuh sampai minus sekitar 13 persen. 1999, Pemilu dilaksanakan di bawah presiden Habibie, dan sejak itu ekonomi mulai tumbuh positif. Pada Pemilu berikutnya, 2004, ekonomi Indonesia bahkan tumbuh 5 persen. Pada 2014 dan 2019, ekonomi juga tumbuh sekitar 5 persen. 

"Tidak benar Pemilu bisa memperburuk pembangunan ekonomi. Ekonomi tetap tumbuh dalam setiap Pemilu yang diadakan," kata Saiful.

Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Zainal Abidin SH MSi MH mengatakan, keinginan para elit politik untuk memperpanjang masa jabatannya atas dasar penundaan Pemilu terus digulirkan mencari legitimasi dan argumentasi pembenar. 

Padahal, kata dia, konstitusi sangat eksplisit menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. 

"Dalam optik konstitusi, Pemilu itu merupakan agenda siklus lima tahunan. Karenanya untuk menerobas konstitusi, maka dimunculkan isu perubahan konstitusi," ujar Zainal. 

Adapun isu amandemen konstitusi, lanjutnya, tidak memperoleh respons positif dari rakyat sehingga minim legitimasi. Para elit politik kekuasaan tidak berhenti pada titik itu, lalu digelontorkan strategi bahwa negara berada dalam kondisi kesulitan anggaran, sehingga Pemilu ditunda dan masa jabatan presiden/wapres dan DPR diperpanjang.

"Argumen ini berbanding terbalik dengan proyeksi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang anggarannya lebih besar tetapi tetap jalan," ucapnya.

Menurutnya, argumen yang disampaikan kalangan elit dengan dikatakan bahwa penundaan Pemilu perlu karena alasan anggaran tidaklah signifikan. 

Dosen Hukum itu mengatakan, diperlukan kejujuran pemerintah tentang anggaran untuk diadaptasikan dengan kebutuhan anggaran Pemilu, sehingga dalam batas-batas tertentu penyelenggaraan Pemilu dapat disederhanakan sesuai dengan kemampuan anggaran.

"Mari kita menghargai konstitusi, demokrasi dan mendapatkan legitimasi dalam kehidupan bernegara dan kepada elit politik sudah cukup dan berhenti berbuat gaduh mencari-cari alasan agar Pemilu dapat ditunda," pungkasnya.

Ditolak publik

Sementara itu, Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa menyatakan bahwa penundaan Pemilu 2024 akan berdampak buruk pada situasi Indonesia. Lebih tegas ia mengatakan, penundaan pemilu berpotensi menciptakan kerusuhan sosial. 

"[Menunda Pemilu] berpotensi melahirkan kerusuhan sosial dan penganjur penundaan pemilu dan presiden tiga periode akan dicap sebagai musuh rakyat dan pengkhianat reformasi," kata Ardian dalam konferensi pers virtual, Kamis (10 Maret 2022), seperti dikutip dari cnnindonesia.com

Berdasarkan hasil survei pihaknya, ia menjelaskan, mayoritas masyarakat menolak usul penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 ataupun perubahan periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Hasil itu diperoleh dari survei yang digelar pada 23 Februari hingga 3 Maret 2022, dengan total 1.200 responden dari seluruh provinsi. Pengambilan sampelnya menggunakan metode multistage random sampling.

Dari hasil survei itu, rata-rata nasional responden yang menolak penundaan Pemilu 2024 sebanyak 68,5 persen. Sementara rata-rata nasional responden yang menentang isu presiden tiga periode sebesar 70,3 persen.

"Publik luas menentang penundaan pemilu dan presiden tiga periode. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, hampir semua segmen pemilih, mayoritas menolak wacana penundaan pemilu dan presiden tiga periode," tegas Ardian.***RED

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda