Menakar Kepentingan Pusat Dibalik Terbelahnya PNA
Font: Ukuran: - +
Reporter : Zakir
DIALEKSIS.COM | Dalam beberapa hari ini, Partai Nanggroe Aceh (PNA), salah satu partai lokal (parlok) di Aceh menjadi sorotan lantaran kekisruhan yang terjadi di internal partai tersebut. Kisruh PNA sejatinya bukanlah isu baru, karena internal partai itu sudah terbelah sejak 2019 lalu.
Puncaknya adalah tejadi dualisme kala sejumlah petinggi PNA menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Bireuen pada pertengahan September 2019 yang mendemisionerkan Irwandi Yusuf dan menetapkan Samsul Bahri alias Tiyong sebagai Ketua Umum. Diantara tokoh kunci dibalik adanya KLB ini adalah Tiyong dan Miswar Fuady. Nama terakhir saat ini menjabat Sekjen DPP PNA berdasarkan SK Kemenkumham terbaru.
Sejak adanya KLB, PNA berada di pusara konflik. Baik kubu PNA pimpinan Irwandi Yusuf maupun PNA kubu KLB sama-sama berjuang untuk mendapat pengakuan dari negara sebagai kepengurusan yang sah. Namun dalam perjalanannya, Pemerintah Indonesia melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Aceh mengesahkan kepengurusan DPP PNA pimpinan Irwandi Yusuf.
Hal ini sesuai Surat Keputusan (SK) Kemenkumham Aceh Nomor W1-418.AH.11.01 Tahun 2021 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Nanggroe Aceh tertanggal 27 Desember 2021. SK Kemenkumham mencantumkan Irwandi Yusuf sebagai Ketua Umum dan Miswar Fuady sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Kemenkumham menyatakan tidak dapat mengesahkan kepengurusan Partai PNA versi KLB karena dianggap tak sesuai dengan AD/ART.
Keluarnya SK Kemenkumham ternyata tidak menyelesaikan masalah. Kekisruhan di internal Partai PNA tampaknya lebih parah dari sebelumnya. Beberapa petinggi KLB menolak keras mengakui SK Kemenkuham yang menetapkan DPP PNA pimpinan Irwandi Yusuf sebagai kepengurusan yang sah. Pada Sabtu (29/1/2022), puluhan massa atau kader loyalis KLB pun menggeruduk tempat acara bimbingan teknis (bimtek) PNA kubu Irwandi di Hotel Rasamala, Banda Aceh, dan membubarkan acara tersebut secara paksa.
Di sisi lain banding yang diajukan kubu PNA KLB terhadap SK Kemenkumham Aceh Nomor W1-418.AH.11.01 Tanggal 27 Desember 2021 tentang Pengesahan Kepengurusan DPP PNA, juga ditolak karena SK Kemenkumham Aceh itu dianggap telah sesuai AD/ART Partai PNA. Hal ini semakin membuat kubu PNA KLB naik darah dan mulai memobilisasi massa menggelar protes terhadap Kemenkumham.
Terlepas siapa yang menang dan kalah, yang jelas Partai PNA telah terbelah. Hanya islah yang bisa menyatukan mereka lagi. Bila terus menerus elite PNA berada di pusara konflik tentu PNA yang merupakan partai lokal (parlok) pemenang kedua di Pileg 2019 akan menghadapi masalah di Pileg 2024 mendatang. Bisa saja PNA kehilangan loyalis dan ujungnya berdampak pada perolehan kursi mereka di parlemen.
Kondisi tersebut, tampaknya, secara tidak langsung akan mewakili kepentingan Pusat. Kenapa demikian, karena secara politik, Pusat juga menghendaki partai lokal lemah, apalagi PNA selama ini mulai sejalan dan searah dengan Partai Aceh (PA) yang menguasai mayoritas kursi Parlemen di Aceh. PA dan PNA adalah dua parlok yang sama-sama dipelopori oleh mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bila partai lokal yang digawangi mantan GAM lemah atau terpecah tentu perjuangan GAM menuntut kepentingan Aceh lewat jalur politik sebagaimana yang tertuang dalam MoU Helsinki atau yang termanifestasi dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) akan melemah. Setidaknya saat mengambil keputusan di Parlemen Aceh.
Bila pertanyaan adalah apakah ada skenario Pusat Dibalik terbelahnya Partai PNA, tentu hal ini kita tidak bisa menjustifikasi Pemerintah sebagai pihak yang bersalah. Kesalahannya ada di internal petinggi Partai PNA sendiri yang mengedepankan ego dan kepentingan ketimbang islah untuk sama-sama membesarkan Partai yang sebelumnya telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Aceh.
Pun demikian, seperti yang telah disinggung di atas, Pusat tampaknya punya kepentingan dibalik terbelahnya partai lokal. Karena hal ini bisa berdampak terhadap Pemilu mendatang dimana PNA salah satu partai lokal terkuat setelah Partai Aceh, kini terpecah. Fakta ini akan mempengaruhi kans perolehan kursi PNA lebih banyak di Pileg 2024 atau bahkan bisa jadi seperti yang dikhawatirkan oleh kubu KLB bahwa PNA tak lolos verifikasi di Pemilu mendatang. Bila ini terjadi, tentu sangat disayangkan.
Islah Jalan Terbaik
Meski saat ini PNA kubu KLB masih tak bisa menerima SK Kemenkumham dan terus melawan DPP PNA pimpinan Irwandi Yusuf, namun pihak KLB masih menempatkan islah di atas meja. Hal ini akan memungkinkan bila petinggi DPP PNA pimpinan Irwandi Yusuf, terutama Sekjen Miswar Fuady, datang menjumpai mereka dan menjelaskan kenapa mereka meninggalkan kader-kader di kubu KLB.
Wakil Ketua DPP PNA kubu KLB, Fahlevi Kirani, kepada Dialeksis.com beberapa hari lalu mengatakan, berdamai atau islah sangat terbuka bila pihak DPP PNA kubu Irwandi datang dan membicara secara baik-baik. Namun tegas dia, pihak kubu Irwandi tak pernah datang mengajak pihak KLB membicarakan secara baik-baik terkait masalah islah.
“Jika mereka gentleman, datang, ya kita bicarakan baik-baik. Kenapa Miswar setelah mengajak orang begitu banyak untuk membuat KLB tiba-tiba dia membelot sendiri kesana. Ini kan perlu penjelasan, kenapa kami tidak diajak, kenapa hal-hal seperti dilakukan. Jadi sayang kita PNA ini yang menjadi pemenang kedua Partai Lokal yang ada di Aceh jadi justru dibuat seperti ini. Kemenkumham harus bertanggungjawab akibat kericuhan seperti ini ya karena Kemenkumham,” kata Fahlevi Kirani.
Melihat pernyataan Fahlevi Kirani, tampaknya akan sangat memungkinkan kedua kubu untuk berdamai dengan catatan sama membuang ego, sama-sama mundur selangkah dan kemudian melangkah untuk berdamai. Islah bukan hanya akan menyelesaikan masalah internal PNA, tapi juga akan membuat PNA semakin kuat dalam menyongsong Pemilu 2024. Semoga!
[Zakir]