Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Membela Toleransi di Bumi Serambi Mekah

Membela Toleransi di Bumi Serambi Mekah

Senin, 16 Mei 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: Istimewa]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keharmonisan intern umat beragama di Aceh, khususnya di Kabupaten Bireuen kembali terusik baru baru ini. Hal ikhwal terjadi pada Kamis, 12 Mei 2022, satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bireuen membongkar paksa tiang beton Masjid Taqwa Muhammadiyah, Gampong Sangso, Samalanga, Bireuen.

Penertiban itu sendiri dilakukan atas dasar surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bireuen Nomor 14 Tahun 2021 tanggal 16 Maret 2021 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kabupaten Bireuen Nomor 63 Tahun 2017 tentang Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Dalam surat keputusan tersebut disebutkan bahwa selama masa penundaan, panitia pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah Samalanga tidak diperkenankan untuk melaksanakan atau melanjutkan kegiatan pembangunan kontruksi bangunan gedung Masjid sampai dengan tercapainya kesepakatan damai antara pihak panitia pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah Samalanga dengan Masyarakat Samalanga. Tentunya dibenak kita semua bertanya bagaimana kronologis kejadiannya? 

Kronologi Peristiwa

Berdasarkan jejak digital yang berhasil dihimpun Litbang Dialeksis di dari media Waspadaaceh.com, masjid Taqwa didirikan tahun 2015 oleh sebagian besar warga yang merupakan anggota maupun simpatisan Muhammadiyah. Saat itu, mereka hidup berdampingan dengan kalangan yang lebih dominan di Samalanga, yakni unsur dayah tradisional yang menyebut pahamnya Ahlussunnah Wal-Jamaah (disingkat Aswaja).

Untuk mendirikan masjid diatas lahan seluas 2.513 m² ini, kala itu warga dan simpatisan Muhammadiyah di Samalanga 'patungan' mengumpulkan dana. Dalam waktu yang relatif singkat (2 tahun), sebanyak Rp 631 juta terkumpul.

Saat dana telah terkumpul dan pembangunan hendak dilakukan, masalah pun muncuat. Ikrar wakaf lahan yang hendak dipergunakan untuk membangun masjid Taqwa tidak disertai rekomendasi dari Kepala Desa Sangso dan Camat Samalanga. Untuk melegalkan penggunaan lahan itu, panitia pun mengubahnya menjadi ikrar hibah. Sehingga pengurusannya tidak lagi melalui geuchik dan camat, namun langsung ke notaris Bireuen.

Dapat dikatakan sederhanakan, kejadian di atas merupakan rangkaian awal terhambatnya pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah di Samalanga. Setiap kali pengerjaan dilakukan, saat itu pula sekelompok masyarakat muncul menghalangi.  

Puncaknya, tragedi 17 Oktober 2017 pun terjadi. Pada malam mencekam itu, area pembangunan Masjid Taqwa dibakar massa. Kawasan yang didapuk sejarah sebagai 'kota santri' ini pun geger. Kejadian ini disebut-sebut puncak dari tindakan intoleransi sekelompok masyarakat yang tersulut ego perbedaan paham, kendati sebagai sesama pemeluk Islam di Samalanga.

Masih bersumber dari referensi yang sama, pasca kejadian polisi berhasil mengantongi nama-nama pelaku. Seluruhnya berjumlah 16 orang. Pemeriksaan mereka bahkan sudah sampai ke tahap penyidikan di Kejaksaan Negeri Bireuen. 

Langkah meminimalisir meluasnya konflik, pemerintah daerah pun bertindak cepat. Satu hari setelah peristiwa itu, Bupati Bireuen kala itu, Saifannur (saat almarhum masih hidup), didampingi wakilnya, Muzakkar Gani bersama sejumlah tokoh agama di Bireuen menjamu perwakilan DPRK Bireuen, Athahillah M Saleh dan Kapolres Bireuen, AKBP Riza Yulianto.

Pertemuan itu mendiskusikan beberapa poin. Di antaranya, pemerintah menilai pembangunan masjid At-Taqwa belum memenuhi aspek kerukunan di internal masyarakat Sangso. Karenanya, mereka khawatir bakal terjadi konflik jika pembangunan itu berlanjut.

“Masih banyak terjadi silang pendapat antar masyarakat tentang pembangunannya,” sebut Saifan.

Pertimbangan ini pula yang mendasari penundaan sementara pendirian masjid At-Taqwa. Sejak surat keputusan rapat itu terbit, pengerjaan masjid seketika dihentikan sampai ada kesepakatan bersama.

Satu bulan setelahnya (Rabu, 19 Desember 2017), Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bireuen, Athaillah A Latif mendatangi Mapolres Bireuen untuk menanyai kejelasan kasus masjid Taqwa. Disini, ia tak berhasil menjumpai Kapolres. Tak patah arang, keesokan harinya Athaillah menjumpai Bupati Saifannur di pendopo.

Angin keberpihakan pun berhembus ke pihaknya. Dalam pertemuan itu, Saifannur memberikan respon positif. Menurut Bupati, pembangunan masjid Taqwa sudah punya IMB, karenanya pembangunan bisa berlanjut.

“Beliau sama sekali tidak keberatan jika pembangunan masjid Taqwa dilanjutkan,” kata Athaillah. 

Bahkan, menurut pengakuan dia, Saifan waktu itu memintanya segera berkoordinasi dengan Kapolres Bireuen agar melepas garis polisi yang masih merentang di lokasi masjid. Namun AKBP Riza belum juga meresponnya.

Ketua panitia pembangunan mesjid Taqwa, Tgk Yahya Arsyad, yang turut mendampingi Athaillah merasa lega. Laki-laki yang juga dikenal sebagai Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Samalanga ini lalu menyampaikan permohonannya agar Bupati Bireuen memberikan selembar penegasan. Akan tetapi, Bupati Saifan menolak secara halus.

“Beliau keberatan membuat surat tertulis, karena khawatir bisa dipolitisir mendukung Muhammadiyah,” kata Yahya.

Mendapat penegasan persetujuan (walaupun secara lisan) Bupati Saifan saat itu, pada awal Januari 2018 panitia pembangunan masjid bergotong royong mendirikan kembali balai yang kemarin rubuh dibakar massa. Malam harinya, panitia pun sepakat berjaga malam di balai yang baru saja didirikan. 

Pukul 22.00 WIB, Yahya menerima panggilan dari kantor kecamatan. Disana ia dipertemukan dengan perwakilan Geuchik Sangso, imam masjid besar Samalanga, tokoh masyarakat, utusan Bupati, Polres dan Koramil. Masalah lain pun muncul. Yahya mendapat kabar, para pewakaf lahan jalur masuk ke lokasi masjid telah menarik kembali tanah mereka. Artinya, jalur itu tidak boleh lagi dilintasi. Panitia dipaksa harus mencari alternatif lain untuk memasok material bangunan mereka.

Geuchik Sangso, Afifuddin berdalih, tanah wakaf itu ditarik sebab perjanjiannya melanggar sejumlah ketentuan. Pertama, ikrar wakaf tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Kedua, geuchik menolak dirinya diwakili sekretaris gampong dalam penandatanganan surat wakaf tersebut.

“Saya menanggapi, silakan ditarik, jika tidak diizinkan masuk lewat situ, kami bisa cari jalan lain, yang jelas pembangunan masjid tetap lanjut,” ucap Yahya.

Rapat semakin alot. Berkali-kali Yahya dicerca. Masjid yang akan mereka bangun dituding sebagai masjid dhirar, yang dalam istilah agama diartikan sebagai masjid pembangkang/munafik.

Tak ada titik temu di kedua belah pihak. Melihat hal tersebut, seorang utusan dari Polres Bireuen pun menengahi. Ia meminta panitia pembangunan dan yang menolaknya dapat saling bertukar pendapat dengan kepala dingin. Pertemuan ini pun berakhir dengan keputusan sementara, bahwa pembangunan masjid At-Taqwa di Sangso dihentikan, tanpa ada batas waktu.

Pada tanggal 28 Maret 2018, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Bireuen bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dinas Syariat Islam, menyatakan bahwa pembangunan masjid At-Taqwa harus kembali ditunda selama 10 hari.

Esoknya, massa mengerahkan dump truk untuk mengangkut dua bongkah batu besar, lalu meletakkannya di depan jalan masuk ke lokasi pembangunan masjid.

“Oknum pelakunya sudah mengaku saat di Mapolsek, tapi tidak diambil tindakan apa-apa,” sesal Athaillah mengingat kembali peristiwa itu.

Pada tanggal 4 April 2018 Bupati Bireuen, Saifannur secara resmi mengumumkan penghentian sementara pembangunan masjid At-Taqwa di Sangso. Dalam suratnya, Saifan menegaskan pendirian rumah ibadah harusnya tetap menjaga kerukunan dan tidak mengusik ketenteraman masyarakat.

Keputusan ini mengacu hasil musyawarah bersama Forkopimda sehari paska peristiwa pembakaran tapak masjid At-Taqwa, 28 Oktober 2017 lalu. Ia juga merujuk hasil rapat bersama perangkat kecamatan Samalanga beberapa waktu lalu. Seluruh pertemuan ini memutuskan bahwa kegiatan pembangunan masjid At-Taqwa harus ditunda sementara waktu.

“Ini dilakukan demi menghindari bentrok fisik pada kegiatan yang berbeda di tempat yang sama, dimana panitia terus melakukan aktifitas pembangunan, sementara pihak lain akan menutup akses jalan menuju lokasi masjid, bahkan akan membongkarnya dengan melibatkan orang banyak,” demikian petikan dalam surat nomor 451.2/228, perihal penanganan masalah pembangunan masjid At-Taqwa.

Melihat hal tersebut, warga Muhammadiyah Kabupaten Bireuen tak tinggal diam. Pada 23 April 2018, Ketua DPM Bireuen, Athaillah menyampaikan keberatannya ke Bupati Bireuen. Ia meluruskan beberapa hal yang menurutnya tak sesuai dengan fakta pertemuan bersama Forkopimda, tahun lalu.

Pertama, kesepakatan itu menurutnya belum final, lantaran tidak seluruh hadirin menyetujuinya. Kendati Athaillah membenarkan dirinya hadir dan membubuhi tanda tangan, ia menolak jika disebut menyepakati hasil rapat. “Kami tidak pernah menandatangani naskah kesepakatan itu, hanya memaraf lembar kedua, di daftar kehadiran,” tegasnya.

Apalagi, dalam rapat kala itu Athaillah mengusulkan, bagi siapa saja yang keberatan dengan pembangunan masjid At-Taqwa, silakan menempuh jalur hukum dan menggugat IMB-nya. Namun usulan itu tidak dicantumkan dalam kesepakatan.

“Padahal poin ini penting. Panitia pembangunan masjid sudah pegang IMB dari Pemkab Bireuen dan penuhi semua ketentuan sesuai Qanun 4/2016 soal pendirian rumah ibadah. Jadi kegiatan kami sah secara hukum, jika keberatan, ya silakan gugat, juga secara hukum,” ujarnya.

Semula, IMB masjid At-Taqwa diterbitkan Dinas Penanaman Modal, Perdagangan, Koperasi dan UKM kabupaten Bireuen pada 13 Juni 2017. Dalam keputusan nomor 63/2017 itu, DPMP memberi izin kepada Yahya selaku ketua panitia pembangunan masjid. IMB tersebut melegalkan pengerjaan satu unit masjid permanen dua lantai, dengan luas bangunan 1.367,00 m².

Athaillah meminta pemerintah objektif atas aspek legalitas pembangunan masjid ini. Di samping itu, ia mengingatkan bahwa seluruh masyarakat punya hak yang sama dalam menjalankan ibadah dengan nyaman.

“Mari kesampingkan persepsi mayoritas-minoritas, pemerintah perlu memediasi musyawarah, membahas apa akar masalah dari penolakan akibat perbedaan paham sesama umat Islam di Samalanga ini,” tulisnya dalam surat keberatan itu.

Historis Konflik

Acap kali mendapat sikap yang intimidatif dari masyarakat sekitar, tak juga menyurutkan keinginan warga Muhammadiyah Samalanga membangun masjid di Sangso. 

Namun begitulah, tak ada peristiwa terjadi tanpa ada kisah rumit yang melatarbelakanginya. 

Berdasarkan lembar temuan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan RI, Desember 2017 terungkap benturan antara Aswaja dan Muhammadiyah di Samalanga muncul akhir tahun 2000-an silam. 

Kurun 1950-an, simpatisan Muhammadiyah di Samalanga sudah lebih dulu mendirikan sebuah tempat ibadah, yang kelak jadi masjid Jamik Samalanga. Di masa-masa awal, belum terlihat ada riak yang mengusik interaksi keberagamaan di tengah warga. Jejak pengaruh Muhammadiyah turut ditorehkan pada bangunan yang berdiri di dekat masjid ini tiga dasarwarsa berselang, yakni taman kanak-kanak Muhammadiyah, TK Aisyah.

Tiba masa pergantian imam, kelompok lain mengambil alih pengelolaan masjid. “Di kepengurusan baru setelahnya, Muhammadiyah tak lagi dilibatkan untuk masjid tersebut,” terang Kepala Puslitbang, Muharam Marzuki dalam lembar temuan tersebut.

Beberapa tahun berlalu, warga Muhammadiyah mulai terusik ketika materi ceramah Jumat di masjid itu kerap menyindir perserikatannya.

"Khutbahnya banyak menyerang dan menyalahkan amalan-amalan Muhammadiyah,” imbuhnya.

Terus menerus dipojokkan, warga Muhammadiyah mulai menyebar. Mereka mencari masjid lain agar bisa menunaikan shalat Jumat dengan nyaman. Namun, lantaran lokasi masjid yang terlalu jauh, disitu pula muncul inisiatif untuk membangun tempat ibadah sendiri.

“Kita ingin warga Muhammadiyah bisa menjalankan aktifitas keagamaan dengan nyaman, tanpa perlu ada narasi saling menyalahkan orang lain yang berbeda paham, termasuk juga agar kegiatan organisasi Muhammadiyah lebih terpusat,” tutur dia.

Selain itu, hasil telaahan juga menyebutkan gejolak penolakan terhadap masjid At-Taqwa punya motif yang kompleks.

“Motif itu dapat berupa perebutan sumber daya politik, ekonomi, kewibawaan, harga diri, dan ketidakpuasan terhadap pemahaman agama atau kelompok keagamaan yang lama dan sebagainya, tapi ini masih perlu kajian mendalam,” tulis ketua Puslitbang, Muharam Marzuki. 

Turunkan Tim Pencari Fakta

Tim Pencari fakta dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Provinsi Aceh turun ke lokasi dibangunnya Masjid Taqwa Muhammadiyah di Desa Sangso Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen.

Tujuan tim ini datang ke tempat itu pada Sabtu (14/5/2022) untuk mengumpulkan data terkait dengan aksi Satpol PP Bireuen yang diduga telah membongkar paksa papan cor atau mal Masjid Muhammadiyah di kabupaten yang dijuluki kota santri.

Tim ini dipimpin Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Aceh Ustadz Malik Musa. 

Berdasarkan keterangan yang telah diperoleh dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bireuen, Athaillah, panitia pembangunan Masjid Taqwa telah melengkapi semua yang dipersyaratkan oleh Pemkab setempat. Tak kecuali izin mendirikan rumah ibadah pun sudah pernah dikantongi pihak panitia pembangunan masjid.

“Tetapi IMB itu dibatalkan kembali oleh Pemkab tanpa ada alasan yang jelas,” terang Athaillah.

Sebut Athaillah, ketika itu Bupati Bireuen Dr.H. Muzakkar A Gani,SH MSi mengaku tidak melarang Muhammadiyah mendirikan masjid di Desa Sangso, tetapi Pemerintah hanya menunda untuk sementara waktu. Karena tidak ada kepastian sampai kapan penundaan itu, maka panitia di Samalanga, sejak tiga hari yang lalu melanjutkan kegiatan pengecoran tiang tiang masjid. 

"Dalam hal ini Bupati Bireuen terlihat bukan memenuhi janjinya, tapi Satpol PP yang datang mencopot papan mal dari tiang yang belum kering,” kata dia.

Seterusnya ungkap dr. Athaillah A Latief, Bupati Bireuen Dr.H. Muzakkar A Gani,SH, MSi juga pernah menganjurkan Panitia Pembangunan Masjid di Sangso agar bersilaturahmi dengan ulama dan tokoh tokoh di Kecamatan Samalanga. Hal itu telah dilakukan namun sia “ sia belaka.

“Beberapa ulama yang kami kunjungi mengaku heran atas ‘silaturahmi’ itu. Mereka mengatakan urusan bangun masjid adalah wewenang Pemkab Bireuen. Ulama yang kami kunjungi pun mengaku tidak pernah melarang membangun rumah ibadah. Artinya ini kesannya ada upaya membenturkan Mugamnadiyah dengan ulama dan masyarakat,”ujar Athaillah.

Seterusnya Athaillah melaporkan kepada tim pencari fakta itu. Kata dia Bupati Bireuen Muzakkar A Gani sempat menyarankan menunda membangun masjid di Desa Sangso sampai semua yang tidak setuju mendirikan masjid di tempat itu “habis” .

“Waktu itu kata Pak Muzakkar kita tunggu sampai habis generasi yang keberatan. Inikan solusi aneh. Bagaimana mungkin setelah mati satu generasi baru boleh bangun.Dan ketika kami sempat minta supaya dipertemukan dengan pihak pihak yang melarang membangun masjid. Keinginan itu sampai hari ini tidak dilakukan. Saya kira kasus ini telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis,” ujar Athaillah.

Sambung Athaillah, Bupati Bireuen juga mengabaikan surat Komnas HAM Perwakilan Provinsi Aceh. 

“Karena kesannya sengaja dipermainkan, maka penitia melanjutkan membangun kembali. Dan baru tiga hari sudah datang Tim Satpol PP membongkar semua papan cor yang masih terpasang di tiang masjid,” pungkas Athaillah.

Ketua tim pencari fakta dari PW Muhammadiyah Aceh Ustaz Malik Musa yang ditemui usai rapat dengan PD Muhammadiyah Kabupaten Bireuen mengaku, akan membawa fakta yang diperoleh di lapangan untuk dibahas kembali di tingkat Pengurus Wilayah Muhammadiyah Aceh dan seterusnya dilaporkan ke Pimpinan Pusat di Jakarta.

"Mungkin saja hal menggagalkan membangun masjid di Sangso Samalanga ini akan kami selesaikan secara hukum. Ini masalah rumah ibadah tidak boleh ada yang menghalangi,” sebut Ustaz Malik Musa yang juga sebagai salah seorang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Aceh. 

Kasus penertiban Masjid Taqwa juga memantik Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Muhammadiyah Dr. Amirsyah Tambunan angkat bicara.

Dikutip dari media Warta Ekonomi, Amirsyah mengatakan pembongkaran yang dilakukan Satpol PP Kabupaten Bireuen itu sangat melukai hati warga perserikatan Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Laki-laki yang juga dikenal sebagai Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menjelaskan tindakan tersebut sangat mencerminkan ketidakberpihakan pada penegakan konstitusi yang menjamin setiap warga negara berhak beribadah sesuai agamanya masing-masing.

Pun demikian, dia berharap peristiwa tersebut dapat diselesaikan secara bijaksana sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku, tentunya dengan mengedepankan dialog dan musyawarah.

Ketegasan Pimpinan Daerah

Sebagai daerah yang menganut prinsip syariat Islam, segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Aceh telah tegas diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Untuk syarat pendirian rumah ibadah sendiri, secara rinci telah dijelaskan pada Bab 5, dari pasal 13-18.

Menariknya, pada pasal 19, Qanun Nomor 4 Tahun 2016 juga telah tegas menyebutkan "Dalam rangka penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 18, tidak berlaku untuk pendirian Tempat Ibadah umat Islam".

Berdasarkan regulasi yang telah disepakati oleh seluruh rakyat Aceh melalui representasinya di parlemen itu, dapat diambil kesimpulan bahwa syarat pendirian tempat ibadah (pasal 13-18) yang diatur pada Qanun Nomor 4 Tahun 2016 tidak berlaku dalam hal pendirian masjid.

Menyatukan sebuah perbedaan harus bersandar pada sudut pandang kebenaran yang telah disepakati. Jika Qanun Nomor 4 Tahun 2016 yang menjadi rujukan, maka Pemerintah daerah harus tegas melaksanakan itu.

Ketegasan pimpinan daerah dalam menyelesaikan sebuah permasalahan sangat dibutuhkan agar konflik antar masyarakat tidak melebar kemana-mana. Apalagi kita tahu bersama, konflik yang dipicu oleh "SARA" memiliki dampak yang mengerikan. 

Masih ingat bukan bagaimana tragedi pembantaian seorang tokoh agama, Tgk Aiyub Syahkubat di Peulimbang, tahun 2012 silam. Tragedi itu dipicu oleh tudingan sekelompok masyarakat bahwa Aiyub menyebarkan ajaran sesat di Peulimbang. Kita semua tak ingin peristiwa mengerikan itu terjadi lagi.

Bagaimanapun, Negara tidak boleh kalah oleh tuntutan satu kelompok masyarakat yang mengangkangi aturan dan regulasi yang ada. Sementara itu, pihak yang memiliki hajat juga diharapkan arif dan bijaksana dalam menyikapi kearifan lokal yang telah berlangsung dari masa ke masa. Esensi menjaga persatuan dan kesatuan agama harus dijadikan pondasi membangun keharmonisan dan keselarasan dalam kerukunan umat beragama. [RED]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda