Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Melirik Nasib Tenaga Kontrak di Aceh

Melirik Nasib Tenaga Kontrak di Aceh

Minggu, 19 Juni 2022 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Foto: Ilustrasi .-NET


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Kenapa Aceh harus tunduk kepada UU ASN dan PP, padahal Aceh yang lex spesialis sudah mengatur terkait persolan pegawai. Mengapa landasan tersebut tidak dipakai, padahal produk hukum itu diakui konstitusi negara. 

Terlalu mengagungkan UUPA, namun luput dalam mengimplementasikanya. Menyangkut tenaga kontrak, honorer yang kini menjadi pembahasan hangat, apa yang akan dilakukan pemerintah Aceh? Bagaimana nasip dari tenaga kontrak, apakah akan menimbulkan masalah baru?

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo, memastikan pemerintah akan menghapus status tenaga honorer pada 2023 mendatang. Ketentuan ini sudah ditetapkan pada peraturan pemerintah (PP) yang diterbitkan sebelumnya.

Spontan kebijakan ini menimbulkan reaksi. Berbagai kalangan memberikan pendapat. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah misalnya, dia menilai kebijakan tersebut tidak tepat dan ironi.

“Saya kira kebijakan yang tidak tepat dan ironi. Menurut saya kebijakan ini sekedar kebijakan tanpa solusi, saya anggap sebagai langkah yang jangka panjangnya akan menimbulkan masalah baru sehingga pelayanan publik tidak tertangani,” kata Trubus kepada Liputan6.com, akhir Januari 2022 lalu.

Menurutnya, tenaga honorer itu sangat dibutuhkan pada sektor-sektor tertentu bagi lembaga-lembaga swasta yang memiliki keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM).

“Jika pemerintah mengganti honorer dengan PPPK maka tenaga kerja honorer di sektor swasta akan kehilangan tenaga kerjanya. Misalnya untuk sektor pendidikan swasta, banyak guru honorer yang telah dididik menjadi profesional oleh pihak lembaga swasta,” jelasnya.

Itu persoalan yang menjadi masalah nasional, bagaimana perkembanganya di Aceh? Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA), Abdul Qahar mengatakan, tenaga honorer yang tidak lulus menjadi PNS atau ASN PPPK, nanti akan dilakukan outsourcing.

Hal itu disampaikan Abdul Qahar di Kanal Youtube RRI Banda Aceh terkait "Tenaga Honorer Dihapus pada 2023, Bagaimana Tenaga Honor di Aceh?,Senin (6/6/2022).

Ia menyebutkan, kondisi tenaga kontrak di Aceh, selain guru, saat ini capai 10.543 orang. Diantaranya ada tenaga administrasi berjumlah 3016 dan tenaga teknis 5884, semua itu terverifikasi dari jenjang S3 hingga Pendidikan Sekolah Dasar (SD). 

"Sedangkan guru capai 13 ribuan tenaga honorer, namun ada sebagian sudah lulus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) baik tahap 1 dan 2 dari formasi yang diberikan sebanyak 5218 yang lulus 2318 orang, kemudian untuk formasi tahap 3 masih ditunggu tanggal seleksinya nanti," tuturnya.

Abdul Qahar juga menyampaikan, tahun 2021 lalu pemerintah Aceh sudah mengusulkan seluruh honorer ini mendapatkan formasi karena ada banyak yang telah lama mengabdi. 

"Pemerintah Aceh usulkan hal ini pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPanRB), namun sampai saat ini belum diberikan formasi tersebut," ucapnya.

Upaya ini dilakukan jauh hari sebelum penyataan ini (penghapusan honorer) dikeluarkan yakni pada Juli 2021. Tidak hanya itu, pada saat Rapat Koordinasi (rakor), ia bersama Gubernur Aceh hadir dalam rakor tersebut dan hal ini disampaikan lagi namun hingga sekarang belum juga turun formasi yang diusulkan.

"Jauh-jauh hari, kami melakukan upaya untuk pengangkatan honorer yang ada di Aceh bahkan sebelum isu ini keluar," imbuhnya. 

Lanjutnya, terkait tenaga honorer yang sudah direkrut juga tidak lulus maka sesuai dengan amanah dari surat Menpan, tenaga honorer akan diberdayakan sesuai dengan tenaga ahli daya (outsourcing).

"Nanti kalau memang tidak lulus, akan kita lakukan outsourcing pada bagian mana saja. Baik itu sopir, keamanan, atau sejenisnya," pungkasnya.

Sementara itu, masih dari toutube RRI Banda Aceh, tenaga honorer paling bisa ditolerir sampai akhir tahun 2023, kata Kepala Kantor Regional (Kakanreg) XIII Badan Kepegawaian Negara (BKN) Banda Aceh, Ojak Murdani.

Menurutnya, kebijakan tersebut sudah ada sejak lama. Dari sisi penyelenggara manajemen bahwa Indonesia menganut Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Maka tidak ada sebutan lain untuk ASN, bahkan honorer atau pekerja harian lepas. Sejak tahun 2005 memang sudah ditetapkan tidak boleh mengangkat ASN selain dari PNS dan P3K.

Adapun surat yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan) hanya untuk mempertegas saja. Jika memang ada honorer itu bisa mentolerir sampai akhir tahun 2023.

“Kalaupun ada ini akan menjadi temuan pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari mana anggaran tersebut. Sebelumnya kan memang kebijakan dari pemerintah sudah ada makanya ada tenaga honorer tingkat 1,2 dan lainnya,"ucapnya.

Bagaimana Seharusnya di Aceh?

Menjelang berahir masa jabatan, Gubernur Aceh Nova Iriansyah terus berupaya mempertahankan keberadaan tenaga kontrak di lingkungan Pemerintah Aceh. Hal itu disampaikan Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Aceh Muhammad Iswanto.

Menurutnya, Gubernur Nova terkait memperjuangkan keberadaan tenaga kontrak dilakukan saat mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) tahun 2022, yang digelar di Hotel Discovery Kartika Plaza, Kuta Selatan, Bali, Selasa (10/5/2022).

Dalam rapat tersebut, menurut Muhammad Iswanto, Pak Gubernur menyampaikan agar ditemukan solusi lain yang tidak merugikan para tenaga kontrak. Menurut Iswanto, uapaya yang dilakukan Gubernur lantaran jumlah tenaga kontrak di Aceh cukup besar, yaitu sekitar 20 ribu orang. 

Jika keberadaan mereka dihapus dikhawatirkan akan menambah angka pengangguran dan kemiskinan di Aceh. Bukan hanya sampai disana, sebelumnya Gubernur Aceh juga sudah memerintahkan kepada SKPA agar ditemukan solusi terkait nasib tenaga kontrak.

“Pak Gubernur juga telah memerintahkan kepala SKPA terkait, seperti Kepala Badan Kepegawaian Aceh dan Kepala Biro Hukum Setda Aceh agar segera mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk mendukung perpanjangan ini dan terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat di Jakarta,” sebutnya. 

Sebenarya Pemerintah Aceh punya solusi dalam mengatasi persoalan ini, bila pemerintah Aceh “cerdas” dan serius memperjuangkanya. Simaklah pendapat Pengamat Kebijakan Publik Dr. Nasrul Zaman pada kanal YouTube tvriacehofficial yang bertemakan “Nasib Honorer”, Selasa (14/6/2022).

Nasrul Zaman menyebutkan, pemerintah Aceh lambat dalam mengatur solusi atas kebijakan penghapusan honorer. Kebijakan penghapusan tenaga honorer bukan kebijakan yang terburu-buru tetapi antispasinya dari pemerintah daerah yang terburu-buru.

“Ini adalah dua hal yang berbeda. Kebijakan ini sudah dari tahun 2005 dan 2007, tapi pemerintah daerah sekarang baru merasakan,” jelasnya.

Artinya, tidak mengantisipasi sejak puluhan tahun yang lalu. Ia melihat bahwa tenaga honorer ini adalah tenaga kerja yang baik, punya talenta, dan menjadi tulang punggung di pemerintahan. Apalagi upgrading ASN Aceh terbatas, ini menyulitkan. Adaptasi dan teknologi pada mekanisme tata kelola pemerintahan.

“Yang disayangkan sebenarnya kenapa disamakan antara tenaga honorer di sektor pendidikan dan sektor kesehatan dengan sektor administratif. Harusnya ini dibedakan dong, yang ini kita keberatan,” ucapnya.

Pada sektor pendidikan dan sektor kesehatan harusnya dikecualikan, karena justru yang menjadi pusat daripada pelayanan publik itu sendiri. Kalau disamakan dengan sektor administratif, merupakan kebijakan yang kurang tepat.

Lanjutnya, tidak boleh pemerintah pusat berpikir apologinya pada alasan tenaga honorer kecil gajinya. Seharusnya menetapkan aturan tidak boleh menerima honor yang kecil. 

“Menurut saya ini sangat aneh cara berpikirnya, cara berpikirnya sepertinya harus dibenerin dulu,” ujarnya.

Karena perlu diingat bahwasanya pada beberapa sektor ketika negara tidak mampu memenuhi, maka ada partisipasi masyarakat yang terlibat untuk melayani masyarakat. Jadi, jangan dianggap tenaga honorer itu atas dasar kemauannya sendiri.

Hal ini dapat kita lihat, guru di pedalaman tidak ada, tenaga kesehatan di puskesmas tidak ada yang mengisi. Kemudian ia pulang sekolahan dari kota dan ia isi. Dalam hal ini, bagaimanakah penghargaan pemerintah?

"Makanya, kebijakan ini harus dipilah-pilah. Pada sektor administratif, saya setuju karena menurutnya tidak terlalu mengalami kegoncangan. Namun pada sektor pendidikan dan kesehatan akan terjadi goncangan," tuturnya.

Tidak hanya itu, dalam konteks Pemerintahan Aceh misalnya. Sejak Undang-Undang (UU) pemerintah Aceh ditetapkan 2006, kita tidak pernah berpikir berdasarkan UU Pemerintahan Aceh. Kalau dilihat dari Pasal 118 UUPA mempunyai kewenangan untuk mengatur kepegawaian sendiri. 

“Saya tanya apa punya? Ternyata kita tidak punya, 16 tahun berlalu tidak ada solusi apapun, kita samakan dengan provinsi lain, padahal Aceh punya kewenangan sendiri, kenapa kita tidak atur?” tanya pengamat kebijakan publik ini.

“Harusnya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), merencang qanun-qanun apa saja yang dibutuhkan, tapi ini tidak dipikirkan. 10 ribu tenaga kontrak bisa kita tangani, dana otonomi khusus (otsus) banyak. Dana otsus ini dijadikan modal untuk usaha-usaha produktif dan sebagainya,” sebut Nasrul.

“Jangan dana otsus dibagi jadi paving blok, pagar masjid, pagar kuburan, pagar sekolah, ini yang menjadi persoalan sebenarnya. Kita Aceh punya kemampuan lebih, tapi tidak kita gunakan.” jelasnya

Memang harus diakui beban keuangan dengan adanya tenaga honore, kontrak akan mempengaruhi keuangan daerah. Namun sebagai negeri yang punya dana Otsus dan punya kekuatan dengan UUPA, negeri ini bisa mengaturnya dengan bijak.

Cerdaskah dan sigapkah pemerintah Aceh dan DPRA melihat persoalan ini. Walau seharusnya sudah lama ini dilakukan, sudah dibuatkan qanun untuk mengantisipasinya. Namun karena terbuai dengan hal-hal yang lebih kemateri, persoalan manusia di Aceh terabaikan.

Saat akan diberlakukanya ketentuan PP tentang penghapusan tenaga honorer, baru mereka yang mengambil kebijakan di Aceh terkejut. Padahal bila mau jauh-jauh hari seharusnya persoalan ini sudah terselesaikan. 

Kini kembali kepada Pemerintah Aceh, para wakil rakyat yang duduk di kursi terhormat untuk mencari solusi ini. Aceh punya kekuatan untuk itu, berbeda dengan provinsi lainya di Bumi Pertiwi.

Seperti kata pengamat kebijakan publik, Nasrul Rizal, Aceh punya kekuatan, namun kita belum mampu menggunakanya. Cerdaskah Pemerintah Aceh dan wakil rakyat di DPRA dalam melindungi rakyatnya. 

Atau akankah Pemerintah Aceh dan DPRA menambah daftar pengangguran dan membuka gerbang kemiskinan baru? Kita lihat saja kemampuan Pemerintah Aceh dan pihak DPRA dalam menjawab persoalan ini. *** Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda