kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Kopi, Berjaya di Tangan Paman Sam

Kopi, Berjaya di Tangan Paman Sam

Kamis, 21 Februari 2019 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Hendra Syah
Salah satu pemandangan menarik yang terlihat di halaman rumah penduduk. Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah melakukan proses pengolahan kopi di rumah mereka sendiri. Foto : Hendra Syah

Bagian kedua dari dua tulisan

Warga Eropa membuktikan kopi bisa tumbuh di wilayah baru. Kesuksesan ini mendorong penyebaran kopi hingga ke Amerika. Belanda-lah yang pertama kali memulai penyebaran tanaman kopi di Amerika Tengah dan Selatan.

Brazil muncul sebagai negara pertama di Amerika yang berhasil dengan budidaya kopi. Negara Samba ini membuka lahan kopi pada abad 17 dan 18. Perkebunan tebu yang luas atau fazendas yang dimiliki elit negara itu disulap menjadi ladang kopi. Ketika itu, 1820, harga gula melemah, sedangkan modal dan tenaga kerja bermigrasi ke tenggara dalam menanggapi perluasan penanaman kopi di Paraiba Valley, yang telah diperkenalkan tahun 1774.

Pada awal tahun 1830-an Brasil tumbuh menjadi produsen kopi terbesar di dunia dengan jumlah sekitar 600.000 kantong per tahun, diikuti Kuba, Jawa-Indonesia, dan Haiti, masing-masing dengan produksi tahunan dari 350 sampai 450.000 tas. Dunia produksi sebesar sekitar 2,5 juta kantong per tahun.

Ekspansi yang cepat dari produksi di Brazil dan Jawa, antara lain, menyebabkan penurunan signifikan dalam harga dunia. Ini terjadi pada akhir 1840-an dan menjadi titik pergerakan yang kuat dan mencapai puncaknya pada tahun 1890-an. Selama periode terakhir tersebut, terutama karena kurangnya transportasi darat dan tenaga kerja, perluasan Brasil melambat jauh. Sementara itu, pergerakan kenaikan harga mendorong pertumbuhan budidaya kopi di daerah penghasil lainnya di Amerika seperti Guatemala, Meksiko, El Salvador dan Kolombia.

Di Kolombia, kopi diperkenalkan Yesuit di awal 1723. Namun saat itu terjadi perselisihan di sana. Menyebabkan para pengusaha kopi tak dapat mengakses kopi terbaik di daerah perkebunan kopi dan telah menghambat pertumbuhan industri kopi. Setelah "Thousand Days War" dari 1899-1903, perdamaian baru terjadi dan dimulai.

Kolombia kemudian beralih ke kopi sebagai jalan keselamatan ekonomi mereka. Sementara perkebunan yang lebih besar, atau haciendas, didominasi atas wilayah sungai Magdalena dari Cundinamarca dan Tolima. Para petani di sana bertekad mempertaruhkan klaim baru di daerah pegunungan di barat, di Antioquia dan Caldas. Pertumbuhan transportasi pun dimulai di Kolombia. Kehadiran kereta api menjadikan komoditi kopi sebagai keuntungan, merasa dalam setiap perjalanan telah mengilhami petani untuk lebih banyak menanam kopi.

Pembukaan Terusan Panama pada 1914 memberikan izin ekspor dari Pantai Pasifik yang sebelumnya tak terjangkau Kolombia ke Pelabuhan Buenaventura dengan asumsi semakin penting. Pada 1905 Kolombia mengekspor lima ratus ribu kantong kopi. Tahun 1915 ekspor meningkat dua kali lipat. Sementara Brasil berusaha keras mengendalikan kelebihannya, kopi Kolombia justru semakin populer dengan konsumen Amerika dan Eropa.

Pada 1914 Brazil mendapat kesempatan dengan disediakan tigaperempat dari impor AS dengan 5,6 juta kantong, tetapi tahun 1919 angka itu telah jatuh ke 4,3 juta, sedangkan pangsa Kolombia telah meningkat dari 687.000 hingga 915.000 kantong. Selama periode yang sama ekspor Amerika Tengah ke AS meningkat dari 302.000 menjadi 1,2 juta kantong.

Permintaan kopi terus meningkat pada abad ke-20 terlepas dari kekacauan politik, gejolak sosial dan kemalangan ekonomi. Konsumsi AS terus tumbuh mencapai puncaknya pada tahun 1946 ketika konsumsi per kapita per tahun mencapai 19,8 pound, dua kali angka tahun 1900. Terutama selama periode harga global yang tinggi, permintaan kopi terus meningkat sehingga menyebabkan ekspansi produksi di seluruh daerah penghasil kopi di dunia.

Adanya proses dekolonisasi yang dimulai pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, mendorong sejumlah negara yang baru merdeka di Afrika, terutama Uganda, Kenya, Rwanda dan Burundi, kembali memulai kiprah di budidaya kopi. Negara-negara ini pun tumbuh dan menemukan diri mereka bergantung pada pendapatan ekspor kopi.

Seattle adalah kota di Amerika Serikat dengan jumlah peminum kopi tertinggi. Kota itu pun identik dengan budaya kafe sejak 1970-an. Kualitas umum minuman meningkat drastis. Perkembangan dan ketergantungan pada kopi merebak secara masif dan menyebar ke seluruh dunia, bahkan ke negara-negara dengan tradisi kopi besar dari mereka sendiri, seperti Italia, Jerman, dan Skandinavia. Kini kopi dengan kualitas baik hampir ditemukan di setiap kota besar di dunia seperti London, Sydney dan Tokyo.

Pentingnya kopi bagi perekonomian dunia tidak dilebih-lebihkan. Ini adalah salah satu produk utama paling berharga dalam perdagangan dunia, mengungguli perdagangan minyak yang bertahun-tahun sumber devisa bagi negara-negara produsen. Perlakuan kopi pun makin panjang, dimulai dari budidaya, pengolahan, perdagangan, pengangkutan dan pemasaran yang menyediakan lapangan kerja bagi ratusan juta orang di seluruh dunia.

Kopi sangat penting untuk ekonomi dan politik dari negara-negara berkembang. Ekspor kopi mengisi 50 persen rekening dari pendapatan devisa mereka. Kopi adalah komoditi yang diperdagangkan di berjangka utama dan bursa komoditi, yang paling penting di London dan New York.

***

Saya masih larut menatap indahnya panorama dari Puncak Burni Telong. Namun saya segera teringat secangkir kopi arabika yang saya minum langsung di daerah produksinya. Tidak hanya di belahan dunia, kopi juga mengisi "kantong-kantong" penduduk Tanah Gayo.

Aceh Tengah memiliki luas kebun kopi 44 ribu hektar sedangkan Bener Meriah memiliki 39 ribu hektar. Dari luas kebun tersebut, 85 persennya menghasilkan kopi arabika dan 15 persen robusta. Sebanyak 33 ribu kepala keluarga (KK) di Aceh Tengah dan 29 ribu KK di Bener Meriah menyandarkan penghasilan mereka dari komoditi kopi.

Pada 2006-2007 ekspor kopi arabika dari pelabuhan Belawan Medan mencapai 48.637 ton dengan nilai US$ 150,4 juta. Kopi Gayo menyumbang lebih dari 50 persen total ekspor kopi arabika dengan nilai Rp 690 miliar, dengan nama Gayo Mountain Coffee, Mandheling Gayo, Sumatera Gayo, Sumatera Mandheling dan lain-lain.

Di tingkat dunia, kopi merupakan salah satu komoditi yang paling diperdagangkan di dunia dengan nilai penjualan 9 miliar dolar Amerika antara 1999 dan 2015 (International Coffee Organization – ICO, 2015). Industri kopi mempekerjakan sekitar 25 juta orang setiap hari, mengisi 400 miliar cangkir setiap tahun.

Sebanyak 40 persen dari populasi dunia mengkonsumsi kopi secara teratur (Kaplinsky, 2005), dan tinggal di negara berkembang (Potts, 2008). Produksi dan perdagangan kopi di dunia berperan penting dalam kehidupan masyarakatnya, tumbuh pesat, dan berkembang dengan baik (ICO, 2015), terutama di sepuluh negara penghasil kopi terbesar di dunia—salah satunya Indonesia.

Fikar W Eda, seorang penyair nasional dan jurnalis asal Takengon, Aceh Tengah, dalam catatanya mengatakan, "Dari biji kopi, orang  Gayo  hidup dan menyambung hidup. Dari  kopi pula mereka menyekolahkan  anak sampai perguruan tinggi. Dari hasil kebun kopi, orang Gayo  kawin dan naik haji. Kopi adalah harta karun, zamrud khatulistiwa, dirawat dengan segenap jiwa."[]


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda