kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Detik-detik Ekonomi Aceh Dihantam Corona, Pejabat Bisa Apa?

Detik-detik Ekonomi Aceh Dihantam Corona, Pejabat Bisa Apa?

Kamis, 26 Maret 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi. [dok Detikfinance]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tengah berdarah-darah. Sejak kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi bersama Menteri Kesehatan Terawan pada Minggu (1/3/2020) lalu, situasi perekonomian Indonesia langsung tergoncang.

Kurs dolar terhadap rupiah tertinggi selama penyebaran kasus COVID-19 tembus di angka Rp 16.977,50 pada Selasa (24/3/2020) lalu. Mengutip Kumparan, Jum'at (20/3/2020) Kondisi ini disebut-sebut mirip dengan krisis 1998 di mana waktu itu rupiah berada di titik terendahnya yakni Rp 16.950.

Babak belurnya rupiah tidak cukup sampai di situ. Bahkan di beberapa bank besar, kurs jual dolar AS tembus di level Rp 17 ribu. Melansir Kata Data, Senin (23/3/2020), BNI menetapkan kurs jual dolar AS sebesar Rp 17.204 pada pukul 10.50 WIB. CIMB Niaga menetapkan kurs jual dolar AS sebesar Rp 17.000.

Kondisi ini membuat panik. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara. Menurutnya, kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami kontraksi (ketidaknyamanan) akibat pandemi COVID-19. Namun kondisi bukan hanya dialami Indonesia, melainkan hampir seluruh negara di dunia.

"Ekonomi mengalami kontraksi tapi bukan berarti krisis. Pencegahan sedang dilakukan. Agar krisis ini tidak menimbulkan spill over ke krisis ekonomi dan sosial, seperti krisis keuangan global yang terjadi di 2008, dimana bank-bank dan lembaga keuangan banyak yang bangkrut," jelasnya melansir SINDOnews, Selasa (24/3/2020).

Pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 diproyeksi negatif. Sri Mulyani dalam pertemuan virtual dengan gubernur bank sentral negara G20 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi hanya di atas 3 persen saja.

Bukan hanya Menteri Keuangan yang sakit kepala, Gubernur Bank (BI) Indonesia juga. Sebabnya karena dana asing Rp 125 triliun kabur gara-gara virus corona. Mengutip CNN Indonesia, Selasa (23/3/2020), BI mencatat aliran modal asing yang keluar sebanyak itu dipicu kekhawatiran investor atas penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan sekitar Rp104,7 triliun atau 83,62 persen dari total capital outflow merupakan dana investor yang keluar pada bulan ini saja. Sisanya sebanyak Rp20,5 triliun keluar pada Januari dan Februari 2020.

Lebih lanjut, capital outflow terjadi akibat investor melepas kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) dan saham. "Capital outflow SBN Rp112 triliun dan saham Rp9,2 triliun," ujar Perry melansir CNN Indonesia, Selasa (24/3/2020).

Aceh ikut babak belur

Dampak pandemi COVID-19, harga sembako di Aceh juga ikut melonjak. Harga gula pasir misalnya, kini dipasaran dihargai Rp 19 ribu per kilogramnya.

"Ada kawan sekarang tidak jual gula lagi mereka. Karena selain harganya yang sudah mahal dan juga gilannya sendiri yang kini mulai langka," ungkap Nurdin, salah seorang pedagang saat ditemui Dialeksis.com, Selasa (24/3/2020).

Tidak hanya itu, pusat perbelanjaan menjadi sepi. Misalnya di Pasar Aceh, kini sudah tidak terlihat lalu lalang pembeli di pusat perbelanjaan tersebut karena khawatir penyebaran COVID-19 sekaligus menaati imbauan Gubernur Aceh tentang menghindari pusat keramaian.

"Biasa setiap hari ada laku. Apalagi mau bulan puasa. Biasanya pengunjung ramai. Namun semenjak ada virus corona ini, pengunjung sudah tidak berani datang ke sini," kata Husna, salah seorang pedagang di Pasar Aceh saat ditemui Dialeksis.com, Rabu (25/3/2020).

Husna melanjutkan, pendapatannya berkurang dari yang dulunya mencapai Rp 500 ribu per hari, hingga terancam tutup toko.

"Ini semua pedagang lagi rapat. Besar kemungkinan pasar Aceh juga akan ditutup sementara karena ini kan ruang publik," ungkapnya.

"Semoga virus corona ini dapat selesai dan kita pedagang mendapat solusi terbaik. Karena kita harus membayar biaya operasional Rp 450 ribu per bulan," tambahnya.

Pedagang lainnya mengalami hal yang sama. Salah satunya Sabri, penjual Mie Aceh di kawasan Ulee Kareng. Selama ini, dia harus menyiapkan kurang lebih dana Rp 4 juta per bulan untuk mencicil pinjamannnya (kredit) dari salah satu bank konvensional, untuk menghidupi usahanya.

"Penurunannya drastis sekali. Sebelum corona ini, saya bisa menghabiskan 15 kilogram mie sehari. Sekarang, sampai detik ini pun belum ada sepiring pun yang laku," ucap Sabri saat ditemui Dialeksis.com, Selasa (24/3/2020).

Pengamat Ekonomi dan Akademisi Universitas Syiah Kuala, Rustam Effendi menjelaskan, rendahnya kurs dolar AS terhadap rupiah dikarenakan lockdown-nya negara-negara yang menjadi pusat ekspor Indonesia.

"Perekonomian global bermasalah, mengganggu demand. Di mana sebelumnya yang dia minta atau beli, kini tidak jadi dibeli. Sehingga kemampuan kita mengumpulkan uang asing menjadi terbatas. Terhenti devisa kita via ekspor. Sedangkan kita dapat uang asing cuma dari sana," jelas Rustam Effendi.

"Di satu sisi stok uang kita terbatas karena tidak ada pemasukan lewat ekspor. Di sisi lain, kita butuh impor. Kalau kondisi ini tidak terhenti, menjadi jangka menengah dan panjang, kelak akan jadi masalah. Sebab kita tidak bisa memenuhi kebutuhan oleh kemampuan domestik kita. Sedangkan populasi kita sangat banyak, 270 jutaan," tambahnya.

Ia melanjutkan, Plt Gubernur Aceh harus segera menghambat penjualan bahan-bahan pangan yang melintasi Aceh. Hal ini untuk menjaga keterbatasan kebutuhan pokok saat terjadi kondisi kegentingan Aceh nantinya.

"Amankan stok lokal dulu. Contoh beras, ikan. Ini harus dilakukan pemerintah Aceh. Kemudian dana yang bersifat emergency (darurat), itu pakai saja untuk menyangga masyarakat kita yang kondisi ekonominya menengah ke bawah ini," ungkap pengamat ekonomi itu.

Pejabat bisa apa?

Pengamat ekonomi Rustam Effendi berujar, untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, utamanya masyarakat ekonomi ke bawah yang terdampak karena COVID-19 agar menjadi bahan perhitungan Pemerintah Aceh.

"Salah seorang anggota DPRA kita (T Irwan Djohan) sudah mencontohkan. Ia mengalihkan dana Pokir sebesar Rp 6 miliar untuk penanganan COVID-19 di Aceh. Andai semua dewan kita berpikiran yang sama, selamatlah masyarakat kita yang ekonominya ke bawah tadi," jelas Rustam Effendi.

Ia melanjutkan, ada 81 anggota DPRA di Provinsi Aceh. Jika dikalikan Rp 5 miliar saja dari dana Pokir masing-masing dewan, maka sudah meringankan beban Aceh menghadapi COVID-19.

'Kemudian TPK-TPK para pejabat, tolonglah dikasih setengah dulu. Misalnya Kadis sebesar Rp 12 jutaan, bisa tidak kalau dia sisihkan Rp 5 juta. Potong dan sisihkan. Pak Plt Gubernur bisa buat surat edarannya itu. Sedikit saja disisihkan, jangan semuanya. Bisa jadi menambah uang talangan untuk pencegahan COVID-19. Kan cantik Aceh. Bisa jadi contoh bagi daerah lain.

"Lewat institusi itu, gunakan KK untuk membagikan, misal beri beras 10 kilogram, gula 3 kilogram, minyak makan 1 kilogram, ikan kayu. Dan itu semua tidak banyak. Tetapi dampaknya sangat besar, bisa menenangkan keadaan sosial kita. Tidak makin panik. Dan citra-citra politisi pun semakin bagus di Aceh, tambahnya. 

Ia menyebutkan, kondisi saat ini kebanyakan anggota dewan dan para pejabat diam. "Yang kena cuma Plt Gubernur selalu. Padahal dalam kondisi seperti ini semua elemen harus bersatu," ungkapnya.

"Kalau kita buat begini, ajak pak Kapolda, Pangdam dan eksekutif dan legislatif, bersama-sama kita. Kalau bisa bawa sembako itu masing-masing dari pejabat semua. Tapi tolong pakai KK saat pembagiannya. Paling tidak sebulan bisa tertalang perekonomian kita di Aceh," tambahnya.

"Maksud saya harus ada jalan pintas, jangan hanya imbauan tapi harus ada aksi nyata membantu mengatasi kepanikan ini. Dan yang terpenting, kita harus jaga kepanikan ini dari semua sisi. Itu dulu tugas besar Pemerintah Aceh," tutupnya.

Selanjutnya Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, Zainal Arifin Lubis mengatakan, terkait ekspor impor Aceh langsung dengan China dan negara yang terdampak COVID-19, relatif kecil. Negara yang banyak berhubungan dengan Aceh yakni Malaysia (kegiatan tourism) dan India (ekspor batu bara).

"Kita menunggu dari pemerintah pusat mengenai perkembangan COVID-19 ini di Indonesia. Namun demikian, Aceh harus inisiatif dan proaktif. Untuk mitigasi resiko penularan yang lebih besar. Dan saya lihat Pemda sudah cukup tanggap terhadap mitigasi," ungkap Kepala Kantor Perwakilan BI Provinsi Aceh itu.

"Aceh sudah bertindak sesuai dengan yang dibutuhkan dan harus intensif lagi menertibkan imbauan pemerintah untuk tetap di rumah," tambah Zainal.

Kemudian, lanjutnya, pemerintah dan instansi terkait lainnya perlu menjaga kecukupan bahan pasokan khususnya bahan pangan. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan harga.

"Perlu koordinasi yang baik antara pemerintah, BI dan instansi terkait dalam rangka memperlancar distribusi dan menghindari adanya penimbunan penumpukan bahan pangan ini," jelas Zainal.

Ia juga menyarankan agar masyarakat tetap tenang dan waspada, tidak menyikapi kondisi ini dengan berlebihan, tidak membeli bahan pokok secara berlebihan sehingga membuat panik dan situasi pasar tidak kondusif.

"Kemudian bagi para pedagang agar tidak menaikan barang secara berlebihan dan mengambil keuntungan dalam situasi seperti ini," ujarnya.

"Khususnya kepada perbankan di Aceh. Kita sudah buat edaran imbauan untuk mengambil langkah-langkah penting dalam pencegahan COVID-19, di antaranya dengan menyediakan hand sanitizer, melengkapi petugas bank dengan perlengkapan yang memadai untuk mencegah virus ini dan menjaga ketersediaan suplai uang di ATM-ATM," tambahnya.

"Kita tidak bisa prediksi kapan situasi ini berlalu. Soalnya ini sudah pandemi. WHO sudah turun tangan, kita serahkan semuanya pada yang Mahakuasa dengan senantiasa berusaha, tetap waspada dan selalu berdoa," pungkasnya.

Jalan panjang menghadapi kondisi perekonomian yang diterjang amukan COVID-19. Akankah Aceh bertahan karena kekuatan persatuan dan saling peduli antar sesamanya. Atau malah saling sikut dengan memanfaatkan kegentingan yang ada? Jawabannya ada pada masyarakat, pemerintah dan kita semua. (AHN/SM)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda