Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Derita SILPA di Tanah Rencong

Derita SILPA di Tanah Rencong

Jum`at, 25 Juni 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : ASYRAF

Ilustrasi SIlpa APBD. [Foto: riautrust]



DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Aceh pada tahun 2020 menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, dari total APBA 2020 sebesar Rp14,4 triliun, SILPA Aceh mencapai Rp3,96 triliun.  

Masyarakat menyebut SILPA ini adalah SILPA tertinggi sepanjang sejarah di Bumi Serambi Mekkah. Berdasarkan data dari Litbang Dialeksis.com, SILPA cenderung mengalami kenaikan tiap tahunnya.

SILPA pada tahun 2017 misalnya hampir mencapai Rp1 triliun, tepatnya Rp908 miliar. Tahun 2018, SILPA Aceh naik menjadi Rp2,95 triliun. Tahun berikutnya, SILPA turun sekitar Rp1 miliar sehingga menjadi Rp2,85 triliun. Tahun 2020, SILPA naik sekitar Rp1,1 triliun sehingga mencapai Rp3,96 triliun.

Mencermati tren meningkatnya nilai SILPA Aceh setiap tahun menjadi cermin amburadulnya tata kelola pembangunan Aceh. Terlihat mulai dari perencanaan dan penganggaran yang kurang baik, kurang presisi, hingga pada aspek pelaksanaan program kegiatan pembangunan.

Apa itu SILPA (dengan huruf I besar/kapital)? SILPA adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran tahun berkenaan, yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Karena kebijakan keuangan publik menekankan pada kebijakan berimbang (asas berimbang). Artinya pemerintah daerah membagi habis sumber pendapatan dan pembiayaannya demi kemajuan daerah dalam satu periode tertentu.

Dalam penyusunan APBD, angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Misalnya dalam APBD terdapat defisit anggaran sebesar Rp100 miliar, ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp100 miliar, maka SILPA-nya adalah Rp0.

Namun, jika terdapat defisit anggaran sebesar Rp100 miliar, dan ditutup dengan penerimaan pembiayaan (pembiayaan netto) sebesar Rp120 miliar, maka SILPA-nya sebesar Rp20 miliar (SILPA positif). Ini berarti bahwa secara anggaran masih terdapat dana dari penerimaan pembiayaan yang Rp20 miliar yang belum dimanfaatkan untuk membiayai Belanja Daerah dan/atau Pengeluaran Pembiayaan Daerah. SILPA positif ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah.

Bagaimana jika SILPA angkanya negatif? Berarti pembiayaan netto belum dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Untuk itu perlu dicari jalan keluarnya. Misalnya dengan mengusahakan sumber-sumber penerimaan pembiayaan yang lain, seperti utang dan lain sebagainya. Atau dengan mengurangi belanja dan atau pengeluaran pembiayaan sehingga angka SILPA ini sama dengan nol.

Dalam tataran praktis, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Syukriy Abdullah menerangkan, pada prinsipnya kebijakan ini untuk mendorong Pemda kabupaten/kota untuk lebih bertanggung jawab terhadap penggunaan uang publik. Sehingga sejalan dengan konsep value for money, yang mencakup ekonomi, efisiensi, dan efektifitas.

“Namun pada praktiknya tidak mudah menghabiskan sisa anggaran ini. Akibatnya tiap tahun SILPA membengkak, seperti yang dialami Aceh saat ini,” kata Dr Syukriy.

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Bardan Sahidi kepada Dialeksis.com, Senin (21/6/2021), mengungkapkan, bahwa penyebab tingginya angka SILPA Aceh tiap tahun tidak lain karena Pemerintah Aceh tidak mampu memahami postur belanja APBA. 

Bardan Sahidi merindukan Aceh itu anggarannya defisit. Sehingga pemerintah terus mengembangkan kreativitasnya dalam membangun Aceh dan memenuhi kebutuhan belanja. Jika melihat kondisi saat ini bisa dikatakan Pemerintah Aceh ‘malas’.

Serupa dengan Bardan, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTa), Alfian kepada Dialeksis.com, Selasa (22/06/2021), menyebutkan, Angka SILPA tinggi karena bermasalah dari sisi manajemen penganggaran. Terutama proses perencanan awal. 

“Jika berbicara di proses perencanaan, contoh ketika terjadi pembangunan jalan, maka harus ada yang namanya masterplan dari pembangunan jalan tersebut. Nah, disini diketahui masterplannya tidak dibuat duluan, namun langsung dibuat alokasi anggarannya,” keluh Alfian.

Selain itu problem pemerintahan tunggal dimana gubernur tidak didampingi wakil dalam menjalankan pemerintahan, menyebabkan lambatnya proses koordinasi antardinas dan kepala SKPA dalam proses sinkronisasi pembangunan. 

Problem utamanya adalah pada top manajemen. Bila hal ini tidak dibenahi maka tidak tertutup kemungkinan tahun depan SILPA Aceh kembali membengkak.

Dr. Syukriy Abdullah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK mengatakan, memang lazimnya SILPA tetap akan ada setiap akhir tahun anggaran karena tidak mungkin pemerintah akurat 100 persen memprediksi realisasi akhir. Namun, lazimnya jangan sampai terlalu banyak. 

Ia mengungkapkan bahwa SILPA kerap membengkak di akhir tahun dan tidak mampu dihabiskan oleh Pemerintah Aceh, tidak hanya karena perencanaan yang buruk dan asal-asalan, tapi juga ditenggarai biang kerok utamanya adalah niat merampok dan memperkaya diri dan kelompok. 

Pangkalnya kembali bermuara dari kepemimpinan di Aceh saat ini yang dinilai amat lemah. Terutama dalam tata kelola anggaran.

“Kepemimpinan di Aceh lemah. Orang pintar dan cakap banyak di Aceh, tapi yang jujur jarang,” pungkas Dr. Syukriy Abdullah kepada Dialeksis.com, Rabu (23/6/2021). [ASY/BY]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda