DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kelangkaan dan lonjakan harga beras di Aceh tak bisa lagi dianggap sebagai fenomena musiman. Bagi Risman Rachman, pengamat sosial dan penulis lepas asal Aceh, situasi ini sudah masuk ke tahap darurat yang menuntut intervensi langsung dan terukur dari pemerintah. Ia pun mengusulkan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Beras sebagai langkah konkret untuk menjawab keresahan publik.
Gagasan ini, menurut Risman, tak berdiri di ruang hampa. Ia mengaitkannya dengan ide lama yang sempat dilontarkan Muzakir Manaf alias Mualem saat menjabat Plt Gubernur Aceh. Kala itu, Mualem menggagas pembentukan Satgas Rumah Layak Huni untuk memastikan bantuan rumah tidak salah sasaran dan terbebas dari praktik penyelewengan.
"Langkah tersebut sangat baik. Rasanya juga relevan jika kita membentuk Satgas khusus untuk mengawasi distribusi dan harga beras," tulisnya di laman Facebook yang dipublikasikan pada Jumat, 8 Agustus 2025. Menurutnya, keberadaan Satgas merupakan kebutuhan mendesak di tengah krisis yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Risman menilai problem kelangkaan beras di Aceh adalah masalah kompleks yang tak cukup diselesaikan dengan operasi pasar atau intervensi harga semata. Ada akar persoalan struktural yang perlu diurai satu per satu. Pertama adalah soal distribusi. Meski pasokan dari luar daerah, seperti Sumatera Utara, disebut - sebut tetap berjalan lancar, namun kenyataan di lapangan menunjukkan beras tak selalu sampai ke konsumen.
"Beras-beras itu seolah lenyap di tengah jalan. Artinya, ada yang tidak beres dalam rantai distribusi lokal. Apakah Bulog, distributor, atau bahkan spekulan semua harus diaudit secara menyeluruh," ujar dia melalui tulisannya.
Ia juga mengkritisi lemahnya pengawasan terhadap jalur logistik dan distribusi. Menurutnya, ketiadaan data yang terbuka dan real-time soal stok serta aliran distribusi membuat pengawasan nyaris mustahil. “Transparansi adalah syarat utama agar masyarakat tahu di mana masalah sebenarnya,” tambahnya.
Faktor lain yang dianggap memperparah situasi adalah praktik penimbunan dan spekulasi harga oleh segelintir oknum. Ketika isu kelangkaan berembus, para penimbun memanfaatkan momen untuk menahan stok dan menciptakan kelangkaan artifisial. Hasilnya harga melambung dan masyarakat menjadi korban.
“Ini bukan lagi pasar yang sehat, tapi pasar yang dimanipulasi. Satgas harus punya mandat untuk menggeledah gudang, menyita stok ilegal, dan memproses hukum para spekulan,” tegas Risman.
Ia menekankan bahwa permasalahan pangan semestinya dilihat sebagai isu strategis nasional, bukan sekadar fluktuasi pasar. "Beras bukan komoditas biasa. Ini soal hajat hidup orang banyak."
Ironisnya, Aceh yang selama ini dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional justru sangat bergantung pada pasokan beras dari luar daerah. Ketika ada gangguan di daerah pemasok, Aceh ikut limbung. “Seharusnya ini tak terjadi. Aceh punya potensi produksi beras yang besar, tinggal dimaksimalkan,” ujar Risman.
Ia menilai pemerintah belum memberikan perhatian serius pada sektor hulu, yakni para petani. Subsidi pupuk, bantuan alat produksi, dan program pendampingan teknis dinilainya masih minim dan tak merata.
Ia juga menyinggung pentingnya revitalisasi sistem irigasi yang sempat diusulkan oleh tokoh perempuan Aceh, Cut Meutia. "Usulan soal irigasi itu mestinya jadi perhatian utama pemerintah. Tanpa air, bagaimana sawah bisa hidup?" katanya retoris.
Untuk menuntaskan masalah ini, Risman menawarkan solusi konkret. Pertama, membentuk Satgas Pengawasan Beras lintas sektor yang melibatkan pemerintah daerah, kepolisian, kejaksaan, Bulog, dan bahkan masyarakat sipil. Satgas ini bertugas mengawasi jalur distribusi, mengaudit gudang, dan memastikan beras sampai ke pasar dengan harga yang wajar.
Kedua, membuka data stok dan distribusi beras secara publik dan berkala. “Bulog dan dinas terkait harus mau membuka dashboard data mereka ke publik. Dengan begitu, masyarakat bisa ikut mengawasi,” ujar Risman.
Ketiga, memaksimalkan produksi beras lokal melalui dukungan langsung kepada petani. "Jangan hanya gembar-gembor soal ketahanan pangan, tapi tidak hadir di sawah," sindirnya.
Terakhir, Risman menekankan pentingnya sinergi antarlembaga. “Pemerintah daerah, Bulog, dinas pertanian, dan semua stakeholder harus duduk rutin membahas data dan strategi. Jangan tunggu masalah baru bergerak,” ujarnya.
Bagi Risman, persoalan beras bukan hanya soal logistik atau ekonomi. Ini menyentuh harkat dan martabat rakyat. "Kita tak bisa terus-menerus menunggu. Saatnya bertindak, bukan hanya bicara," tegasnya.
Ia juga mengajak warga untuk ikut menjadi bagian dari solusi. “Laporkan jika ada penimbunan atau permainan harga di sekitar Anda. Kita semua adalah mata dan telinga Aceh,” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan kalimat yang menggugah,"Jangan biarkan harapan itu padam. Karena setiap butir nasi adalah harapan untuk masa depan yang lebih baik”.