Rabu, 01 Oktober 2025
Beranda / Celoteh Warga / Muslahuddin Daud: Aceh Perlu Revolusi Paradigma

Muslahuddin Daud: Aceh Perlu Revolusi Paradigma

Rabu, 01 Oktober 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Muslahuddin Daud

Muslahuddin Daud, warga Banda Aceh. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Dua puluh tahun pasca-damai dan tsunami, Aceh masih bergulat dengan kenyataan pahit. Dana rehabilitasi, reintegrasi, hingga otonomi khusus yang mengalir triliunan rupiah ternyata belum sepenuhnya mengangkat rakyat dari kemiskinan.

Muslahuddin Daud, warga Banda Aceh, menilai masalah Aceh bukan sekadar soal korupsi atau uang yang tak sampai, melainkan kegagalan membangun paradigma kolektif.

“Apa yang harus diubah di Aceh? Bukan sekadar retorika, melainkan paradigma kolektif dari elit sampai ke basis rakyat. Gelombang dana besar seharusnya membawa kesejahteraan, tapi yang tersisa justru kesenjangan, pengangguran, dan harapan yang terkubur,” ujarnya kepada Dialeksis melalui tulisan diterima redaksi, Rabu 1 Oktober 2025. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin Aceh pada Maret 2025 berada di angka 12,33 persen, turun tipis dari 12,64 persen pada September 2024. Meski begitu, Aceh masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pun mengkhawatirkan. Per Februari 2025, tercatat 5,50 persen atau sekitar 149 ribu orang. Angka ini naik 4.000 orang dibanding periode sebelumnya. Ironisnya, TPT lulusan perguruan tinggi mencapai 7,05 persen.

“Dengan dana otsus dan berbagai skema khusus, seharusnya kemiskinan berkurang drastis. Nyatanya, problem struktural tetap membekas,” kata Muslahuddin.

Ia menyebut ada tiga aspek krusial yang harus dibenahi jika Aceh ingin keluar dari keterpurukan:

Menurut Muslahuddin, pembangunan Aceh tak boleh sekadar dihitung dari proyek dan APBA. “Jika pejabat terus dipandang sebagai pemberi sedekah, bukan pelayan rakyat, maka pola memberi“meminta akan terus berulang meski anggaran melimpah,” ujarnya.

Banyak proyek fisik memang selesai tepat waktu, tapi manfaatnya minim. “Berapa lapangan kerja tercipta? Seberapa mandiri desa? Audit harus mengukur dampak, bukan sekadar tanda ceklis proyek,” katanya.

Muslahuddin menilai pola pikir masyarakat turut menentukan arah pembangunan. “Jika warga tenggelam dalam pesimisme, kritik tanpa solusi, dan keluhan berkepanjangan, maka stagnasi akan terus mereproduksi diri,” ujarnya.

Ia mengusulkan perubahan dimulai dari hal sederhana dalam tindakan revolusi Pikiran lewat refleksi produktif di ruang publik dan pelatihan kepemimpinan lokal.

Reformasi Tata Kelola dengan anggaran berbasis kesejahteraan rakyat serta audit sosial yang melibatkan masyarakat.

Gerakan Mikro ke Makro lewat komunitas kecil, festival budaya, hingga kampanye publik “Ubah Energi, Ubah Aceh.”

Muslahuddin menutup dengan seruan agar rakyat Aceh keluar dari jebakan narasi negatif.

“Dana otsus, partai lokal, dan anggaran triliunan hanyalah alat. Jika energi kolektif rakyat tidak berubah, semua itu tak berguna. Masa depan Aceh ditentukan oleh cara berpikir, merasa, dan bertindak kita bersama. Aceh bukan tanah kutukan, tapi tanah bersemangat yang bisa menemukan jalannya sendiri,” tegasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid