UU ITE, Kapolri Ingin Kedepankan Mediasi Tak Perlu Penahanan
Font: Ukuran: - +
[Dok. Humas Polri]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, penyelesaian perkara yang menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus mengedepankan mediasi antara pelapor dan terlapor.
Sigit berpendapat, tidak perlu ada penahanan jika perkara yang dilaporkan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
"Bila perlu kalau memang tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal ya tidak perlu ditahan. Jadi proses mediasi. Mediasi tidak bisa, ya tidak usah ditahan. Kecuali yang memang berpotensi menimbulkan konflik horizontal," kata Sigit dalam Rapim Polri, Selasa (16/2/2021).
Karena itu, dia memberikan instruksi kepada jajarannya untuk membuat semacam panduan tentang penyelesaian kasus-kasus yang menggunakan UU ITE. Dengan demikian, para penyidik Polri memiliki pemahaman yang sama.
Hal ini menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan agar tidak ada lagi penggunaan pasal-pasal karet UU ITE untuk mengkriminalisasi pihak tertentu.
"Tolong dibuat semacam STR atau petunjuk agar bisa dijadikan pegangan bagi para penyidik saat menerima laporan," ujarnya.
"Bila perlu, jika ada pelaporan tertentu yang bersifat delik aduan, yang lapor harus korbannya. Jangan diwakil-wakili lagi. Ini supaya tidak ada asal lapor, nanti kita yang kerepotan," tambah Sigit.
Selain itu, Sigit juga menginstruksikan agar virtual police segera diaktifkan. Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat di media sosial soal perkara yang bisa dijerat dengan UU ITE.
"Virtual police menegur dan menjelaskan potensi pelanggaran pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian. Lalu diberikan apa yang sebaiknya dia lakukan.
Tolong ini dikerjasamakan dengan Kominfo, sehingga kalau ada konten-konten seperti itu, virtual police muncul sebelum cyber police yang turun," tuturnya.
Menurutnya, dalam hal ini Polri juga bisa bekerja sama dengan para pegiat media sosial atau influencer. Dengan begitu, edukasi tentang UU ITE benar-benar dipahami masyarakat.
"Saya kira ini bisa dengan melibatkan influencer yang disukai masyarakat, sehingga proses edukasi dirasakan nyaman, tidak hanya menakut-nakuti, tapi membuat masyarakat tertarik dan sadar serta memahami apa yang boleh dan tidak boleh," kata Sigit. [Kompas]