Utang Indonesia Dapat Outlook Negatif dari S&P
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta -Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Lucky Alfirman memberikan respon terhadap outlook utang jangka pemerintah oleh Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) mempertahankan Sovereign Credit Rating pada outlook negatif.
Luky menjelaskan bahwa saat ini memang dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 akan sangat tergantung dari bagaimana negara mengendalikan pandemi Covid-19.
Upaya pemerintah saat ini, kata Lucky adalah fokus melakukan upaya preventif terhadap percepatan vaksinasi, melakukan restriksi dan PPKM Level 4. Serta upaya kuratif seperti penyembuhan pasien positif Covid-19 dan juga pemulihan di sektor yang terkendala dampak pandemi.
"Alhamdulillah sudah menunjukkan hasil, ada penurunan kasus Covid. Kita berharap semakin terkendalinya covid, maka perekonomian akan terus didorong sambil mengupayakan koordinasi. Mudah-mudahan ini akan terus kita lakukan," ujar Lucky dalam konferensi APBNKita, Rabu (21/7/2021).
Dengan cara itu, pemerintah berharap ketahanan fiskal akan terjaga dan pemerintah pun telah menyampaikan bahwa defisit APBN tahun ini akan tetap ditargetkan sebesar 5,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), artinya tidak akan melebar seperti yang diramalkan oleh S&P Rating.
Seperti diketahui, bahwa S&P Rating memberikan BBB/Outlook negatif pada 22 April 2021. S&P sempat mengubah outlook dari Stabil menjadi negatif pada 17 April 2020. Dan kini mempertahankannya.
S&P dalam sebuah webinar yang berlangsung Jumat (16/7/2021) mengungkapkan bahwa melihat adanya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, memperkirakan PDB Indonesia pada 2021 menjadi hanya 3,4%, dari sebelumnya memperkirakan 4,5%.Sehingga defisit APBN akan naik hingga 6% dari PDB, lebih tinggi dari target pemerintah yang hanya sebesar 5,7%.
Di tengah S&P Rating masih mempertahankan peringkat utang jangka panjang dalam outlook negatif, maka akan berimbas terhadap adanya beban utang bunga Indonesia.
Meskipun secara makro ekonomi, terutama dari pertumbuhan ekspor bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, namun hal itu tidak banyak membantu perusahaan yang bergantung pada penjualan domestik.
"Sektor-sektor yang sensitif terhadap mobilitas seperti ritel, transportasi siklis dan pariwisata dapat melihat masalah yang semakin parah, dan bahwa kondisi pembiayaan kembali akan tetap ketat di tengah bank-bank yang selektif dalam memberikan kredit," jelas Sovereign & International Public Finance Ratings Asia-Pacific S&P, Andrew Wood dalam webinar, Jumat (16/7/2021).
"Ini dan pemulihan yang lebih lambat dapat memperlebar perbedaan kualitas kredit di antara perusahaan-perusahaan Indonesia," kata Andrew melanjutkan.[CNBC Indonesia]