Beranda / Berita / Nelayan Tak Kunjung Sejahtera, Pemerintah Diminta Serius Cari Solusi

Nelayan Tak Kunjung Sejahtera, Pemerintah Diminta Serius Cari Solusi

Senin, 11 Desember 2023 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Nasib nelayan menjadi salah satu permasalahan serius di Tanah Air. Mengingat, masih banyak nelayan di Indonesia belum merasakan kesejahteraan. 

Bahkan, 70 persen kemiskinan ekstrem tercatat di kawasan pesisir pantai. Angka tersebut cukup menggambarkan kondisi kehidupan nelayan di Indonesia. 

Mengingat, mayoritas masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir memiliki profesi nelayan

Banyak permasalahan juga masih harus dihadapi para nelayan di Indonesia. Mulai dari kesulitan mendapatkan bantuan kapal, bahan bakar solar, mengurus Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), mendapatkan akses permodalan, hingga keterbatasan informasi cuaca, kebutuhan ikan di pasar dan stabilitas harga ikan.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Dani Setiawan prihatin melihat kondisi kesejahteraan nelayan di Indonesia. Ia menilai ketidaksejahteraan yang dialami para nelayan ironi lantaran Indonesia memiliki slogan negara maritim dan kepulauan terbesar. 

"Memang ini kan sebuah ironi. Dari bangsa maritim, negara kepulauan terbesar di dunia. Mengapa nelayan yang menjadi aktor penting di dalam negara maritim justru mereka menjadi miskin? Bahkan, dalam kajian tertentu nelayan itu the poorest of the poor. Orang yang paling miskin di antara yang miskin di Indonesia," ujar Dani.

Dani menilai pemerintah harus serius menyelesaikan permasalahan nelayan di Indonesia. Terutama dalam mengimplementasikan kebijakan untuk kesejahteraan nelayan.

"Saya kira enggak ada cara yang instan. Tetapi yang ingin saya katakan sebagai negara kepulauan dan negara maritim, iktikad baik pemerintah, political will pemerintah itu menjadi kunci. Karena amanat undang-undangnya sudah mengatakan kita harus membangun sektor maritim ini secara lebih baik ke depan. Itu menjadi satu masa depan bagi pembangunan nasional kita, bagi peningkatan kesejahteraan nasional kita," sambungnya. 

"Itu yang harus diperkuat lewat kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini saya kira Undang Undangnya tadi disampaikan oleh Mas Riono, Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudaya Ikan dan Tambak Garam. Nah sekarang adalah waktunya bagaimana mengimplementasikan Undang Undang itu?" papar Dani.

Rasa prihatin juga diungkapkan Ketua Umum Aliansi Nelayan Indonesia Riyono terhadap kondisi kesejahteraan nelayan di Indonesia. Ia pun mengungkapkan beberapa problem yang dialami nelayan hingga saat ini. 

"Jadi pertama, problem nelayan itu ada dua. Yang pertama adalah problem secara struktural. Yang kedua adalah problem secara kultural. Problem struktural adalah problem yang terjadi karena adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Kalau problem kultural adalah problem yang hadir dari kondisi teman-teman nelayanan sendiri," kata Riyono.

Sebagai contoh, dalam hal struktural, Riyono mengatakan Indonesia tertinggal jauh dalam pengelolaan perikanan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Menurutnya, hal tersebut sangat miris karena Indonesia memiliki slogatn sebagai negara maritim terbesar. 

"Problem struktural ini mengakibatkan, misalkan undang-undang perlindungan nelayan yang baru disahkan di tahun 2016. Ini kan terlambat jauh sekali. Kita kalah dari Filipina dari sisi ocean plan," tutur Riyono.

Stafsus Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi turut angkat bicara mengenai permasalahan kesejahteraan nelayan di Indonesia. Sebagai perwakilan dari pemerintah, ia mengakui kesejahteraan nelayan memang masih menjadi tugas besar untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Nelayan kita ini jumlahnya dalam catatan kami itu ada 1,3 juta jiwa. Memang umumnya masih banyak yang belum sejahtera, walaupun nilai tukang nelayan itu 106 sekarang ini," kata Wahyu. 

"Jadi memang ya mau tidak mau kita harus tugasnya pemerintah dalam hal ini, Kementerian Kelautan perikanan yang punya konstituen utama. Konstituen paling penting bagi kami adalah nelayan," lanjutnya. 

Meski demikian, pemerintah masih terus menggodok kebijakan-kebijakan yang terbaik untuk bisa menyelesaikan isu kesejahteraan nelayan tersebut. Salah satunya mengenai klasifikasi nelayan.

"Cuma nelayan harus diklasifikasikan supaya fair. Nelayan yang seperti apa? Nah dalam konteks yang perlu kita bantu utamanya adalah nelayan kecil, nelayan lokal, dan nelayan tradisional. Yang ukuran kapalnya itu di bawah 5 gros ton. Lain kalau kita ngomong nelayan-nelayan yang punya kapal, juragan nelayan. Yang punya kapal begitu banyak. Seorang punya kapal misalnya 50 sampai 100 kapal. Apakah itu nelayan? Itu nelayan industri namanya," ujarnya. 

"Yang paling penting nelayan kecil. Nah untuk bisa mengatasi problem nelayan kecil, tidak henti-hentinya Kementerian Kelautan Perikanan tiap hari itu kita bikin rapat-rapat koordinasi dan cari solusi terbaik," jelas Wahyu. 

Lebih lanjut, Wahyu memastikan pihaknya juga sedang mengatur kebijakan mengenai sinergi antara beberapa pihak untuk membantu para nelayan dalam hal subsidi bahan bakar. 

"Misalnya soal ketersediaan solar subsidi yang jumlahnya masih sedikit. Itu memang betul. Tapi apa ya itu mampu dilakukan KKP? Enggak. Itu kita harus kerja sama juga dengan Pertamina. Itu namanya SPBN, Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk nelayan. Kemudian juga ternyata dari Pertamina mengatakan hanya Pertamina enggak cukup. Ini harus ngomong juga dengan BPH Migas. Karena menyangkut pengaturan dari hilirisasi dari pasokan atau kuota solar yang subsidi," kata Wahyu. 

Menurut Wahyu, pemerintah juga sedang fokus dalam hal anggaran. "Kalau enggak ada fulusnya ya bagaimana? Fulus itu apa? Ya anggaran APBN. APBN Kementerian Kelautan Perikanan itu Rp6,2 triliun," kata Wahyu. 

"Belum lagi nanti itu terserap dibagi-bagi di masing-masing eselon satu di Dirjen-Dirjen. Bisa ratusan miliar. Sementara kita harus ngurus 11 ribu, sepertiga nelayan laut kita yang begitu luas. Termasuk nusantara itu laut," paparnya.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda