Selasa, 12 Agustus 2025
Beranda / Berita / Murizal Hamzah: Dari Dentum Senjata ke Tinta Perdamaian

Murizal Hamzah: Dari Dentum Senjata ke Tinta Perdamaian

Minggu, 10 Agustus 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Murizal Hamzah bersama Hasan Tiro di Malaysia, 2010. Foto: doc pribadi MH/Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Suara derap sepatu tentara pernah menjadi latar sehari - hari di jalanan Aceh. Pos pemeriksaan berlapis, wajah - wajah tegang, dan malam yang sunyi di tengah kota. Di masa itu, seorang jurnalis bernama Murizal Hamzah (sapaan akrab MH) mengarungi medan liputan yang nyaris tak memberi ruang untuk keliru.

Kariernya menanjak justru di tengah prahara. Dari awal penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1990 - an hingga bergeser menjadi Darurat Sipil, MH terus menulis dan memotret dengan kamera dari yang menggunakan roll film hingga flash disk untuk dikirim ke kantor berita asing agar derita rakyat Aceh bisa bergema ke sigom donja.

Kadang di bawah bayang - bayang todongan senjata, kadang dengan ancaman samar yang datang dari berbagai arah. 

“Saat itu, meliput seperti berjalan di atas garis tipis antara hidup dan mati,” kenangnya yang pernah ditendang oleh prajurit TNI di Aceh Timur dan tangan diborgol oleh gerilyawan GAM di Samalanga, Aceh Utara.

Alumni pelatihan jurnalistik Investigative Reporting, Massachusetts, Amerika Serikat pada 2001 tahu betul, di tengah konflik, setiap kata punya harga. Pilihan diksi bukan hanya soal estetika, tapi juga soal keselamatan. Naluri jurnalistik dan rasa tanggung jawab membuatnya tetap berada di garis depan peristiwa. 

“Pada akhirnya hati nurani yang berbicara. Tidak semua fakta harus ditulis dan disebarluaskan. Kadangkala kita keep sebentar dulu,” jelasnya yang meneliti dampak tsunami selama 40 hari di Phuket Thailand yang diadakan oleh SEAPA (South East Asia Press Alliance) 2005.

Perjanjian Damai Helsinki pada 15 Agustus 2005 mengubah lanskap Aceh. Dentum senjata mereda, tapi bagi MH, pekerjaan belum selesai. Sosok mentor untuk Media Cetak di Kota Dili Timor Leste pada 2009 beralih dari berita harian yang memburu waktu, ke tulisan panjang yang memburu kedalaman buku.

Beberapa karya tulis yang lahir dari periode ini. Pertama, buku biografi Hasan di Tiro deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dirintis sejak era DOM. Bukan sekadar biografi, melainkan potret lengkap perjalanan politik dan ideologinya, dari pengasingan di luar negeri hingga kembali ke tanah kelahiran di ujung barat Indonesia. Buku ini menjadi rujukan penting bagi peneliti, jurnalis, dan siapa pun yang ingin memahami akar sejarah konflik Aceh.

“Sejak zaman DOM, saya penasaran siapa itu Hasan Tiro. Saya mulai mengumpulkan bahan - bahan yang berkaitan dengan dia. Saya ke Timor Leste bertemu Al-Katiri eks petinggi di sana, atau Malaysia untuk wawancara GAM dan lain-lain. Alhamdulillah dengan izin Allah SWT buku Hasan Tiro, Jalan Panjang Menuju Damai Aceh itu lolos seleksi ke Ubud Festival di Bali," ungkapnya yang pernah sebagai narasumber Pelatihan Jurnalisme Sadar Konflik di Kediri Jawa Timur pada 2007.

"Dari sekitar 900 peserta karya tulis fiksi dan non fiksi, nah buku setebal 680 halaman itu masuk 16 penulis yang diundang ke Ubud untuk presentasi isi buku. Ini persembahan kepada rakyat Aceh yang telah mengalami perihnya duka dan manisnya perdamaian,” jelasnya lagi. 

Karya berikutnya bersama Teuku Dadek dan Miswar Fuady menulis buku biografi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Mantan Gubernur Aceh ini punya alur hidup yang nyaris sinematik dari tahanan politik, peran kunci dalam proses perdamaian, hingga memimpin provinsi. Murizal menulisnya dengan pendekatan humanis membongkar sisi-sisi personal yang jarang tersorot, dan menyulamnya dengan narasi politik yang tajam.

“Menulis adalah cara merawat ingatan kolektif. Sejarah bisa kabur bahkan dihilangkan kalau tidak didokumentasikan serta disebarluaskan. Di daerah lain, dongeng ditulis yang bagi anak-anak itu dianggap fakta. Di Aceh, fakta tidak ditulis. Lama-lama nanti bisa dianggap sebagai dongeng,” sebutnya yang menulis buku Mengapa Muslim Rohingya Ditolak di Indonesia?

Kini, hampir dua dekade setelah tembakan terakhir di Aceh berhenti, MH tetap hadir di ruang - ruang diskusi dan pelatihan jurnalisme termasuk menjadi tim asistensi penulisan Laporan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, tiga kasus ada di Aceh yakni Rumoh Geudong, Sp KKA dan Jambo Keupok. Berbicara tentang keberanian, integritas, dan risiko yang tak bisa dihindari dalam peliputan konflik. Para jurnalis muda mendengarkan, banyak yang tak percaya bahwa di tempat yang sama mereka meliput hari ini dulu pernah menjadi wilayah paling berbahaya di negeri ini.

Bagi banyak orang, MH adalah jurnalis senior. Bagi Aceh, pria kelahiran 17 Oktober adalah saksi hidup. Dari garis depan konflik hingga halaman - halaman buku. Menulis dengan tinta keakuratan dengan sumber yang shahih seperti yang diajarkan di media memastikan narasi Aceh tidak memudar di ingatan zaman.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI