Beranda / Berita / MK Terima Dua Gugatan Soal Nikah Beda Agama

MK Terima Dua Gugatan Soal Nikah Beda Agama

Minggu, 03 Juli 2022 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: ist/net


DIALEKSIS.COM | Nasional - Dalam satu waktu, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima dua gugatan soal pernikahan beda agama. Penggugat pertama meminta pernikahan beda agama di UU Perkawinan dibolehkan. Sedangkan penggugat kedua meminta nikah beda agama di UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) dibatalkan dan dilarang.

Berdasarkan catatan dilansir detikcom, Minggu (3/7/2022), pemohon pertama diajukan oleh warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, Ramos Petege. Ia mengaku gagal menikahi kekasihnya yang Muslim karena terhambat UU Perkawinan.

"Pemohon adalah warga negara perseorangan yang memeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Akan tetapi, setelah menjalin hubungan selama 3 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut haruslah dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda," demikian bunyi permohonan Ramos Petage.

Mengetahui permohonan itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan dengan tegas pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan dalam uji materi UU Perkawinan yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) Undang‘Undang Dasar Tahun 1945," kata Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, Syaeful Anwar.

Adapun pemohon menghadirkan Direktur Amnesty Indonesia, Usman Hamid di persidangan. Menurut Usman Hamid, sudah saatnya Indonesia membolehkan pernikahan beda agama.

"Lembaga‐lembaga HAM dunia, termasuk organisasi non-pemerintah seperti Amnesty International menganggap hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini adalah bagian dari hak asasi manusia. Berbagai komentar umum Komite HAM PBB, putusan-putusan Komite HAM Umum PBB ketika memeriksa kasus-kasus perselisihan antara warga negara dengan negara anggota PBB terkait pernikahan menyatakan 'Tidak boleh ada keraguan untuk membolehkan pernikahan beda agama di dalam berbagai kasus negara‐negara tersebut'," beber Usman Hamid.

Saat persidangan di MK masih berlangsung, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membolehkan pernikahan beda agama di wilayah hukumnya, antara Muslim dan Kristen dan memerintahkan Kantor Catatan Sipil mencatatnya. PN Surabaya mendasarkan ke UU Administrasi Kependudukan (Adminduk).

Sontak publik kaget. Penolakan pun berdatangan, termasuk dari Wapres Ma'ruf Amin. Akhirnya Tiga warga negara Indonesia (WNI) menggugat aturan nikah beda agama di Adminduk itu ke MK. Ketiga penggugat itu adalah Emir Dhia Isad, Syukrian Rahmatul'ula dan Rahmat Rahmadi. Aturan itu tertuang dalam Penjelasan Pasal 35 huruf UU Adminduk. Penjelasan Pasal itu berbunyi:

Yang dimaksud dengan 'perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan' adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Pemohon menilai aturan tersebut bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU Perkawinan.

"Menyatakan Penjelasan Pasal 35 huruf UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945," demikian bunyi permohonan Emir Dhia Isad, Syukrian Rahmatul'ula dan Rahmat Rahmadi.

Emir Dhia Isad, Syukrian Rahmatul'ula dan Rahmat Rahmadi menilai negara berkewajiban untuk membuat segala bentuk peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan terwujudnya rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. UUD 1945 tidak memisahkan agama dengan negara dan agama kebebasannya dijamin oleh negara. Nilai-nilai agama merupakan sumber dari kebijakan-kebijakan negara.

"Maka segala kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama bertentangan dengan konstitusi," papar Emir Dhia Isad, Syukrian Rahmatul'ula dan Rahmat Rahmadi.

Permohonan ini didaftarkan di MK secara online pada 1 Juli 2022 siang. Saat ini, masih diproses di kepaniteraan MK.

Mengapa muncul pasal di UU Adminduk itu? Dalam risalah pembentukan UU Adminduk, Mendagri M Ma'roef menyatakan seharusnya pernikahan beda agama direvisi di UU Perkawinan, bukan dimasukkan di UU Adminduk. Berikut ini keterangan Mendagri:

Perkawinan Warga Negara Indonesia di luar wilayah Republik Indonesia wajib dicatat pada instansi penyelenggara perkawinan setempat. Tentunya kalau perkawinan-perkawinan bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri di sini dicatat oleh instansi penyelenggara catatan sipil di negara setempat.

Kalau kita punya misalnya ditugaskan di perwakilan ya di situ, tapi kalau ini yang dipersoalkan oleh PKS bagaimana perkawinan berbeda agama yang dilakukan di luar negeri mengikuti hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan dilakukan.

Ini saya kira persoalan ini barangkali lebih cook kalau dibicarakan di Undang-Undang Perkawinan mengenai perkawinan campur di Undang-Undang Perkawinan itu diatur juga mengenai perkawinan campur.

Adapun anggota Fraksi PDIP, Tumbu Saraswati, menyatakan ada kekosongan hukum dalam kasus pernikahan beda agama. Berikut ini pernyataan Tumbu:

Di tingkat peradilan itu mengapa diajukan satu permohonan untuk disahkan, misalnya sistem poligami kemudian untuk menikah lagi kemudian yang kedua adalah izin untuk menikah karena beda agama. Itu ada satu surat Keputusan Mahkamah Agung pada waktu zamannya Pak Ali Said, itu timbul karena adanya instruksi Presiden mengenai beda agama kemudian dijabarkan di dalam kompilasi hukum Islam bahwa perempuan, laki-laki Islam tidak boleh menikah dengan perempuan non Muslim, itu ada di kompilasi hukum Islam.

Sebetulnya kompilasi hukum Islam itu memang secara politis tetapi itu sudah merupakan hukum Islam sehingga ini menimbulkan suatu kerancuan yang harus dikukuhkan di pengadilan untuk mendapatkan izin.

Misalnya karena perkawinan beda agama itu sudah begitu lama sehingga ada anak dan sebagainya sehingga mereka mengajukan supaya perkawinan ini bisa dicatatkan di catatan sipil.

Demikian juga pada waktu perkawinan tetapi tidak di, catatan sipil tidak mau mencatatkan itu diajukan di permohonan di pengadilan. Itulah sebetulnya apa namanya gunanya satu peradilan itu.

Adapun anggota Fraksi Partai Demokrat, Ignatius Mulyono mengingatkan agar UU Adminduk tidak bertentangan dengan UU Perkawinan. Terutama soal pernikahan beda agama. Berikut ini sikap lengkap Ignatius Mulyono:

Jadi menurut saya hal ini cobalah mari di dalam nanti kita merumuskan jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang ada tapi ini perlu diwadahi dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang yang kita susun ini karena ini sesuatu yang beliau-beliau sangat manusiawi, sangat dimintakan untuk pemahaman kita situasi itu pak.

Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya UU Adminduk disahkan DPR dan diundangkan Presiden SBY pada 29 Desember 2006 [detik.com].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda