Kredit Usaha Yang Mengalir Ke Bukan-Pelaku-Usaha
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Jangan terkecoh dengan nama kredit usaha rakyat (KUR). Jangan bayangkan penerima kredit ini hanya dari kalangan dunia usaha, terutama untuk skala mikro, kecil dan menengah. Faktanya, tak sedikit KUR yang mengalir ke bukan-dunia-usaha.
Hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2020 misalnya, mengungkap ada 21 persen penerima KUR merupakan rumah tangga bukan pelaku usaha. Jumlahnya sekitar 1,3 juta dari 4,7 juta rumah tangga penerima.
Tentu ini merupakan ironi, mengingat semangat KUR adalah mendukung dunia usaha mikro dan kecil yang belum bankable atau tak memenuhi syarat menerima kredit dari bank, terutama tak adanya agunan.
Untuk kepentingan itulah pemerintah merogoh anggaran. Masalahnya, penyaluran kepada bukan-dunia-usaha justru dibenarkan oleh peraturan.
Tak sedikit dana yang dikeluarkan pemerintah untuk KUR. Tahun ini, target penyalurannya Rp253 triliun, sementara yang terserap hingga April 2021 mencapai Rp88 triliun.
Kebijakan yang membolehkan bukan-pelaku-usaha menerima KUR, terutama termuat dalam Peraturan Menko Perekonomian Nomor 11 tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat.
Salah satu pasalnya menyebutkan, selain usaha mikro, kecil dan menengah, individu yang boleh menerima, antara lain pekerja magang di luar negeri dan tenaga kerja Indonesia yang purna bekerja di luar negeri.
Dari sisi kelompok usaha penerima KUR, aliran paling besar ke masuk ke kelompok usaha pertanian, yang mencapai 1,4 juta rumah tangga atau 40,1 persen dari total penerima dari kelompok pelaku usaha yang mencapai 3,4 juta rumah tangga. Kemudian disusul oleh usaha perdagangan dan pengolahan.
Ironi lainnya adalah sebaran rumah tangga penerima KUR. Mengingat tidak ada batasan bagi rumah tangga penerima, sebagian rumah tangga yang tergolong sejahtera ikut menikmati KUR.
Bahkan rumah tangga di desil delapan, yaitu mereka yang termasuk dalam kelompok 30 persen rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi, menjadi penerima terbesar.
Sebaliknya, rumah tangga dalam desil satu atau kelompok 10 persen dengan pengeluaran terendah, justru paling sedikit yang menerima KUR. Indikasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar KUR mengalir ke kelompok rumah tangga yang memiliki kemampuan keuangan lebih baik. Bahkan termasuk yang mapan.
Ironi penyaluran KUR yang telah berlangsung lama ini dapat menurunkan nilai manfaat fasilitas yang dibiayai oleh anggaran negara. Terlalu berlebihan jika berharap KUR akan mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat di lapisan bawah.[Lokadata]