Kerusakan Lingkungan Aceh Sebabkan Kemiskinan dan Bencana Berkelanjutan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Sekretaris Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Badrul Irfan. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh, wilayah yang tak asing dengan bencana alam, kini menghadapi tantangan baru yang semakin kompleks, kerusakan lingkungan yang mengarah pada kehancuran ekonomi dan kemiskinan yang mendera banyak komunitas.
Menurut Sekretaris Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Badrul Irfan, fenomena ini bukan sekadar bencana alam, melainkan dampak berantai dari pengelolaan sumber daya alam yang buruk.
“Kerusakan lingkungan selalu berujung pada bencana, dan bencana menimbulkan kerugian ekonomi yang tak terelakkan,” ujar Badrul kepada Dialeksis.com, Senin, 7 Oktober 2024.
Ia menjelaskan bahwa bencana alam seperti banjir tidak hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga memutus mata rantai penghidupan masyarakat, khususnya para petani yang menjadi korban utama.
“Contoh sederhananya, banjir yang terjadi di suatu daerah menghancurkan sawah-sawah petani. Ketika mereka harus memperbaiki sawahnya dengan dana yang tersisa, banjir kembali datang dalam waktu yang singkat. Ini membuat mereka kehabisan tabungan, sehingga terpaksa menjual aset-aset yang tersisa untuk bertahan hidup,” tambah Badrul.
Kehilangan aset ini, lanjutnya, memaksa masyarakat memasuki lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
“Tak hanya kehilangan penghasilan, mereka juga kehilangan kemampuan untuk berproduksi lagi. Ini ujungnya pasti pada kemiskinan yang semakin mendalam,” jelasnya.
Tak hanya ekonomi, Badrul juga menyoroti dampak kerusakan lingkungan terhadap pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Ia menekankan bagaimana lingkungan yang tercemar turut mempengaruhi kualitas generasi masa depan.
“Kita mengharapkan generasi yang kuat dan sehat, tapi bagaimana mungkin jika lingkungan mereka tidak sehat? Anak-anak terpapar bahan kimia berbahaya seperti arsenik, dan ini meningkatkan risiko stunting. Dampak lingkungan terhadap kesehatan sangat nyata dan tak bisa diabaikan,” tegas Badrul.
Badrul juga membagikan pengalaman pribadinya saat berdiskusi dengan seorang ibu di Nagan Raya. Ibu tersebut, yang dahulu memiliki lahan pertanian sendiri, kini bekerja sebagai buruh di perkebunan setelah menjual tanahnya kepada perusahaan.
"Dulu saya tak perlu membeli beras atau ikan karena saya bisa memproduksinya sendiri. Tapi sekarang, dengan gaji 3-4 juta rupiah per bulan, semuanya harus dibeli,” cerita ibu tersebut kepada Badrul.
Kisah ini, menurut Badrul, adalah bukti bahwa jasa lingkungan yang dulu diandalkan masyarakat memiliki nilai ekonomi yang tak terlihat, namun sangat penting.
"Jasa lingkungan itu tidak semata-mata dihitung dengan uang. Meski sekarang mereka memegang uang, tapi semuanya harus dibeli. Padahal dulu mereka punya segalanya dari tanah mereka,” tambahnya.
Untuk mengatasi kerusakan lingkungan ini, Badrul menekankan pentingnya penyadaran sejak dini di masyarakat, terutama di daerah sekitar kawasan hutan.
Ia mengingatkan bahwa pengelolaan sumber daya yang berlebihan tanpa memperhatikan keberlanjutannya akan membawa dampak jangka panjang yang merugikan.
“Kita harus bijak dalam mengelola alam. Jika kita memanfaatkannya dengan cara yang berlebihan, cepat atau lambat, alam akan ‘membalas’ kita,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya penegakan aturan yang sudah ada agar masyarakat dan pihak-pihak terkait bisa merasakan manfaat dari hutan yang terjaga.
Badrul menyebutkan beberapa program yang dilakukan HAkA, termasuk penyadaran masyarakat melalui diskusi bersama kelompok-kelompok perempuan.
“Perempuan punya peran besar dalam menjaga lingkungan. Mereka punya pendekatan yang berbeda dan lebih efektif dalam menyampaikan pentingnya menjaga alam,” katanya.
Badrul juga menekankan bahwa perempuan seringkali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan.
“Jika air tak sampai ke rumah, siapa yang paling merasakan dampaknya? Ibu-ibu. Mereka harus mencuci di sungai, membawa air ke rumah, dan ini sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka,” jelasnya.
Dalam upaya penyadaran, HAkA juga bekerja sama dengan beberapa sekolah menengah di Aceh melalui program pendidikan lingkungan.
"Kami bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk memasukkan materi lingkungan dalam pelajaran biologi, kimia, dan geografi. Jadi, generasi muda kita paham sejak dini akan pentingnya menjaga lingkungan,” ujarnya.
Badrul juga mengingatkan tentang dampak perubahan iklim yang sudah mulai dirasakan di Aceh. Salah satu dampak paling nyata adalah krisis air yang semakin sering terjadi.
"Dulu rasanya mustahil dataran tinggi seperti Aceh akan menghadapi krisis air, tapi sekarang itu sudah mulai terjadi. Musim kemarau panjang membuat kita kekurangan air, sementara saat musim hujan, air yang turun terlalu banyak menyebabkan banjir besar,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa perubahan iklim ini memperburuk kondisi lingkungan yang sudah rusak.
“Kehilangan tutupan hutan, penggalian karst, dan berbagai aktivitas yang merusak fungsi hidrologi alam telah membuat siklus air terganggu. Kita sering banjir saat musim hujan, tapi saat kemarau, kita kekurangan air,” katanya.
Mengakhiri pembicaraannya, Badrul menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak untuk menjaga lingkungan dan mencegah bencana lebih lanjut.
Ia berharap, dengan semakin banyaknya penyadaran di masyarakat, Aceh bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
“Lingkungan yang sehat adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Tanpa itu, kita hanya akan terus terjebak dalam siklus bencana dan kemiskinan yang berkepanjangan,” pungkasnya.