Karya Tiga Ahli Hukum: Memaparkan Kelemahan Demokrasi Melalui 'Dirty Vote'
Font: Ukuran: - +
Flaayer sosialisasi film Dirty Vote, Foto: Net
DIALEKSIS.COM | Nasional - Film dokumenter "Dirty Vote", karya tiga pakar hukum tata negara, mengungkapkan kecurangan yang terjadi dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Dalam dokumenter ini, pandangan dari Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar disampaikan dengan jelas. Film ini mulai tayang di akun YouTube Dirty Vote pada hari Minggu (11/2/2024).
Menurut keterangan resmi terkait peluncuran film ini, ketiganya menjelaskan bagaimana berbagai instrumen kekuasaan telah dimanfaatkan untuk mencapai kemenangan dalam pemilu, bahkan dengan mengorbankan tatanan demokrasi.
Mereka menyoroti bahwa Pemilu tidak hanya tentang hasil penghitungan suara, tetapi juga tentang keadilan dan nilai-nilai konstitusi yang harus dijunjung tinggi.
Bivitri menjelaskan bahwa "Dirty Vote" bukan hanya sekadar dokumenter biasa, melainkan juga sebuah rekaman sejarah yang menggambarkan betapa rapuhnya demokrasi di Indonesia.
Film ini membahas dua hal pokok: pertama, tentang pentingnya pemahaman bahwa demokrasi tidak hanya terwujud dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi juga dalam integritas seluruh prosesnya.
Kedua, tentang penyalahgunaan kekuasaan dan pentingnya respons publik terhadap praktik-praktik kecurangan yang terjadi dalam pemilu 2024.
Feri Amsari menambahkan bahwa membiarkan kecurangan dalam pemilu sama saja dengan merusak masa depan bangsa Indonesia. Dia menyoroti bahwa kekuasaan memiliki batas, dan rezim yang lupa akan batasan ini berpotensi merugikan rakyat.
Menurutnya, kekuasaan yang baik adalah yang bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperpanjang masa kekuasaan dan memenuhi kepentingan pribadi.
"Ditry Vote" disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, yang berharap film ini dapat menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat, terutama di tengah masa tenang pemilu. Ia mengajak setiap warga negara untuk menonton film ini sebagai bentuk partisipasi dalam memperkuat demokrasi.
Selain itu, pembuatan film ini melibatkan 20 lembaga, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, dan LBH Pers, yang turut berkontribusi dalam menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga integritas dalam sistem demokrasi.