Ekonomi RI Terancam Luar Dalam
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Perekonomian Indonesia saat ini perlahan mulai pulih. Tercermin dari beberapa sektor utama yang mulai tumbuh positif meskipun belum cukup signifikan.
Namun, di tengah upaya pemulihan, ekonomi Indonesia kembali terancam baik dari faktor domestik maupun global. Dari domestik, adanya lonjakan kasus positif Covid-19 yang kembali naik tajam pasca libur Idul Fitri.
Diketahui, angka terinfeksi Covid-19 di Indonesia kembali naik secara signifikan hampir menyentuh angka 10 ribu. Per 13 Juni 2021 angka positif tercatat bertambah 9.868 kasus. Ini adalah angka tertinggi sejak awal tahun ini.
Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan, jika angka positif terus naik maka ini tidak akan baik bagi perekonomian. Sebab, pembatasan mobilitas bisa terjadi lagi.
Oleh karenanya, Piter menilai saat ini pemerintah harus mempercepat proses vaksinasi sehingga tidak perlu kembali memperketat PPKM mikro di berbagai daerah.
"Yang dibutuhkan saat ini lebih kepada percepatan vaksinasi dan peningkatan disiplin protokol kesehatan," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Ancaman yang berasal dari global bagi stabilitas ekonomi Indonesia salah satunya taper tantrum yang terjadi di Amerika Serikat. Diketahui belakangan ini isu tapering terus mempengaruhi pasar keuangan global, terutama setelah AS merislis data tenaga kerja dan inflasinya. Dua data tersebut menjadi kunci bagi bank sentral AS (The Fed) untuk melakukan tapering.
Tapering merupakan kebijakan The Fed mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 120 miliar per bulan.
Meski pasar tenaga kerja menunjukkan pemulihan dan inflasi sudah tinggi di AS, tetapi banyak yang berpendapat hal tersebut belum akan cukup bagi The Fed untuk melakukan tapering dalam waktu dekat.
CNBC International melaporkan The Fed kemungkinan sudah mulai mendiskusikan tapering di bulan ini atau bulan depan.
Meski demikian, pengumuman kapan tapering akan dilakukan baru akan dilakukan pada bulan September atau November. Dan tapering pertama akan dilakukan pada Desember tahun ini atau Januari tahun depan.
Sebagai informasi, pengumuman tapering yang terjadi di pertengahan 2013 lalu memicu taper tantrum yakni yield obligasi (Treasury) melesat naik, aliran modal kembali ke Negeri Paman Sam, dolar AS menjadi sangat perkasa. Alhasil, terjadi gejolak di pasar finansial global.
Oleh karenanya, saat ini The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell akan berusaha menghindari taper tantrum. Salah satu pemicu taper tantrum pada 2013 adalah pengumuman tapering yang mengejutkan pasar. Artinya pasar belum mengantisipasi hal tersebut.
Kali ini, The Fed akan berusaha terus memberikan update mengenai kebijakan moneter yang akan diambil, sehingga pasar lebih siap menghadapi tapering.
Ancaman dari global lainnya adalah bubble properti di China. Harga aset properti di China yang terus merangkak naik menimbulkan kekhawatiran bahwa real estate buble bakal meletus dan memicu krisis. Sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia tentu saja dampak krisis di China jika terjadi akan dirasakan oleh negara-negara lain termasuk Indopnesia.
Pertumbuhan ekonomi China boleh saja mentereng. Namun sekali lagi ini menjadi bukti bahwa pertumbuhan tidak selalu disertai dengan stabilitas. Economic boom di China justru membuat spekulasi di sektor properti berkembang.
Harga rumah di Negeri Panda konsisten tumbuh terus dan tak pernah turun terutama sejak tahun 2015. Rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di China mencapai 133 kali. Bayangkan betapa mahalnya harga sepetak rumah di China.
Ancaman dari global lainnya adalah bubble properti di China. Harga aset properti di China yang terus merangkak naik menimbulkan kekhawatiran bahwa real estate buble bakal meletus dan memicu krisis. Sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia tentu saja dampak krisis di China jika terjadi akan dirasakan oleh negara-negara lain termasuk Indopnesia.
Pertumbuhan ekonomi China boleh saja mentereng. Namun sekali lagi ini menjadi bukti bahwa pertumbuhan tidak selalu disertai dengan stabilitas. Economic boom di China justru membuat spekulasi di sektor properti berkembang.
Harga rumah di Negeri Panda konsisten tumbuh terus dan tak pernah turun terutama sejak tahun 2015. Rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di China mencapai 133 kali. Bayangkan betapa mahalnya harga sepetak rumah di China.[CNBC Indonesia]