Beranda / Berita / Budayawan Aceh: Pembangunan Bioskop Bukan Urusan Menteri Kebudayaan

Budayawan Aceh: Pembangunan Bioskop Bukan Urusan Menteri Kebudayaan

Sabtu, 18 Januari 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Budayawan Aceh, Davi Abdullah M.Sn. Foto: dok pribadi  


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, terkait persepsi bioskop di Arab dan Aceh kembali menuai kritik tajam dari budayawan Aceh, Davi Abdullah M.Sn. 

Ia menilai pandangan Fadli Zon tentang kebudayaan Aceh terlalu sempit dan kurang menghargai identitas lokal yang sudah lama ada. 

Davi mengungkapkan keprihatinannya terhadap rencana pembangunan bioskop di Aceh dan mempertanyakan relevansinya dengan nilai-nilai budaya setempat yang erat kaitannya dengan syariat Islam.

"Fadli Zon perlu menjawab beberapa pertanyaan penting, seperti siapa yang akan berinvestasi dalam pembangunan bioskop di Aceh? Apakah Kementerian Kebudayaan akan mendukungnya? Dan apakah benar bioskop merupakan kebutuhan mendesak di Aceh, mengingat masih banyak isu kebudayaan lain yang perlu diurus?" ujar Davi Abdullah, yang juga aktif dalam kebudayaan POP Aceh.

Davi mengingatkan bahwa kebudayaan Aceh tidak hanya berkisar pada fasilitas hiburan modern seperti bioskop, melainkan lebih kepada penghayatan terhadap nilai-nilai Islam dan kearifan lokal yang sudah ada sejak lama. 

"Kebudayaan Aceh adalah perpaduan antara nilai Islam dan kearifan lokal yang telah membentuk identitas masyarakat Aceh. Menteri Kebudayaan harus paham bahwa dalam konteks sosial dan budaya Aceh, ada UU Pemerintahan Aceh No 11 Tahun 2006 yang mengatur banyak aspek kehidupan, termasuk penerapan syariat Islam," tambahnya. 

Menurut Davi, jika Fadli Zon ingin membangun bioskop di Aceh, seharusnya ia mengusulkan revisi Qanun No. 22 tahun 2002 tentang Pembinaan dan Pengawasan Usaha Perfilman sebagai langkah pemerintah Aceh untuk menyaring produk film yang sesuai dengan norma-norma daerah.

Davi juga mengkritik pandangan sempit yang menganggap kebudayaan Aceh hanya dapat dinilai melalui media hiburan modern. 

"Banyak aspek kebudayaan Aceh yang lebih penting untuk diurus oleh Menteri Kebudayaan, daripada sekadar berbicara tentang bioskop. Jika ingin berbicara kebudayaan Aceh, harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas dan komprehensif," tegas Davi.

Ia menekankan pentingnya setiap kebijakan yang diterapkan di Aceh untuk menghormati hukum dan regulasi yang berlaku, termasuk qanun yang ada. 

"Jika Fadli Zon serius ingin membangun bioskop di Aceh, ia harus memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menguntungkan kepentingan politik atau ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan identitas masyarakat Aceh," pungkas Davi.

Sebagai solusi, Davi mengusulkan bioskop alternatif yang lebih berbasis komunitas, seperti yang telah dilakukan oleh sejumlah kelompok, untuk menyediakan ruang bagi penonton tanpa mengorbankan identitas budaya dan agama. Ia merujuk pada contoh dari komunitas film independen, seperti Philippine Independent Filmmakers’ Multipurpose Cooperative (IFC), yang berhasil mendirikan ruang layar alternatif bagi film-film independen.

"Bioskop alternatif berbasis komunitas, seperti bioskop kampus atau bioskop komunitas, bisa menjadi jalan tengah untuk menikmati film berkualitas tanpa harus bertentangan dengan nilai budaya Aceh," ujar Davi.

Davi Abdullah juga menambahkan, dalam penelitian yang berjudul Makna Film bagi Masyarakat Aceh oleh Permana dkk (2019), pemaknaan film di Aceh sering kali negatif dan dianggap dapat merusak kebudayaan Islam. Hal ini disebabkan oleh banyaknya film komersial yang dianggap tidak memenuhi norma keislaman dan tidak sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat Aceh.

"Fadli Zon harus mencari jalan tengah dalam merespons kebutuhan akan bioskop di Aceh, atau menciptakan regulasi yang tidak memaksakan konflik dengan penerapan syariat Islam. Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon seharusnya fokus pada kebijakan kebudayaan yang lebih luas, bukan hanya mengurus pembangunan bioskop. Yang mengurus bioskop itu seharusnya pembisnis bioskop, bukan Menteri," tutup Davi Abdullah.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI