Beranda / Analisis / Tgk Muha dan Politik Zigzag Dua Aras

Tgk Muha dan Politik Zigzag Dua Aras

Jum`at, 30 Juli 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +



Oleh : Aryos Nivada

Sidang Paripurna DPR Aceh tiba-tiba menjadi viral. Ada sedikit terjadi kericuhan dalam penetapan Ketua DPR Aceh yang menjadi porsinya Partai Aceh (PA), selaku partai pemenang pada pemilu 2014.

Kericuhan ini terjadi karena salah seorang anggota DPRA dari Partai Aceh, Ridwan Abu Bakar "Nek Tu" menolak penetapan Tengku Muharuddin yang ditunjuk sebagai Ketua DPRA masa bakti 2014- 2019.

"Nek Tu" menurut pengakuannya, ia telah mengantongi surat dukungan dari ketua KPA dan PA dari beberapa kabupaten atas dirinya untuk menjadi Ketua DPR Aceh. Namun, secara aturan penunjukan ketua DPRA dari partai politik pemenang Pemilu adalah dengan surat sakti pimpinan tertinggi partai, yakni Muzakir Manaf.

Mualem, panggilan akrab Muzakir Manaf telah menunjuk Tengku Muharuddin sebagai Ketua DPRA. Dari vidio kericuhan dalam sidang tersebut, Tengku Muha nampak sebagai sosok muda nan bersahaja, tetap dengan tenang menghadapi protes dari Nek Tu.

Sebagian kalangan memandang Nek Tu memang pantas sebagai Ketua DPRA, beliau merupakan Caleg pavorit dan peraih suara terbanyak di Dapilnya yakni Aceh Timur. Dia juga sudah menjabat sebagai anggota DPRA pada periode sebelumnya.

Lebih ditonjolkan lagi saat itu Nek Tu adalah sosok eks kombatan yang punya jabatan dikalangan pejuang kemerdekaan Aceh pada masa pergolakan konflik Aceh sebelum damai.

Publik kemudian menaruh perhatian pada sosok Tengku Muha, yang ditunjuk Partai Aceh sebagai Ketua DPRA. Publik kemudian mencoba mencari tahu tentang sosok yang kini memimpin parlemen Aceh.

Ternyata Tengku Muha juga hampir sama dengan Nek Tu, ia juga anggota DPRA dari Partai Aceh periode 2009-2014. Tengku Muha juga Caleg pavorit dengan meraih suara terbanyak dari kawasan Aceh Utara.

Kemudian sejumlah cerita dari media sosial juga menggambarkan, bahwa Tengku Muha adalah sosok Tengku Dayah yang turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Aceh kala itu.

foto Tengku Muha dipenjara setelah tertangkap kembali dibagikan di media sosial, termasuk cerita dan pengakuan dari sejumlah orang bagaimana Tengku Muha semasa di camp pelatihan militer GAM dan keterlibatan lainnya dalam pergerakan GAM.

Paska kericuhan pada sidang penetapan ketua DPRA bisa di?atakan tidak ada lagi hal yang menonjol dari sosok Tengku Muha, jika pun ada pemberitaan dan komentarnya di media-media, tidak lebih hanya seputaran tugas-tugas kewenanganya semata. Kepemimpinannya sebagai Ketua DPRA berjalan mulus-mulus saja, mungkin karena yang menjadi Gubernur dan Wakil Gubenur kala itu adalah Dr. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang merupakan petinggi GAM dan PA.

Sementara Nek Tu bersikap memilih hengkang dari Partai Aceh dan kemudian di PAW oleh PA dari anggota DPRA, namun pada Pemilu 2019 Nek Tu kembali terpilih sebagai anggota DPRA dari Partai Daerah Aceh (PDA).

Nama Tengku Muha kembali muncul pada dinamika Pemilu 2019, kali ini beliau mencoba peruntungan nasib dengan maju manjadi Caleg DPR-RI dari Partai Nasdem, Caleg nomor urut 2 di daerah pemilihan Aceh 2.

Menjadi caleg Nasdem, Tengku Muha tidak menjadi sorotan publik, meski partai nasional ini mendukung Jokowi pada pemilihan presiden 2019. Tidak sama dengan dukungan sebagian besar rakyat Aceh termasuk Partai Aceh, bahkan Mualem sendiri adalah pentolan pendukung Prabowo Subianto.

Majunya Tengku Muha dari Nasdem tidak menjadi sorotan mungkin karena Nasdem diyakini sebagai partainya orang Aceh karena dilahirkan dan dipimpin oleh putra Aceh Surya Paloh.

Tengku Muha juga pernah digadang-gadang sebagai Wakil Gubenur Aceh yang hingga kini kosong tak terisi. Namun pergantian Wakil Gubenur Aceh hingga kini tidak jelas ujung dan pangkalnya lagi, cerita Tengku Muha bakal jadi Wakil Gubernur juga hilang dari peredaran.

Beberapa hari kebelakang publik Aceh dikejutkan dengan postingan dan pemberitaan, berupa foto surat keputusan dan ucapan selamat kepada Tengku Muharuddin yang telah ditunjuk dan diangkat oleh Hari Tanusudibjo Ketua Umum Partai Perindo.

Tengku Muha ditunjuk sebagai ketua Perindo Aceh, sementara dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Aceh (DPA) dia didapuk menjabat Wakil Sekjend dan Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi Internal.

Apakah ada yang salah dengan Tengku Muha menjadi Ketua Perindo Aceh?

Meski banyak netijen yang berkomentar seolah Perindo tidak cocok untuk Tengku Muha dengan komentar bernada SARA. Saya rasa ini adalah kekeliruan dan kepicikan berpikir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikultular, kita harus arif dan mengesampingkan ini.

Bagi saya pertama tidak ada halangan bagi Tengku Muha sebagai Ketua Perindo, meskipun namanya masuk dalam pengurus Partai Aceh, namun ada ketentuan bahwa anggota/pengurus partai lokal juga dapat menjadi anggota dan pengurus partai nasional.

Partai-partai nasional masih melirik mantan politisi Partai Aceh atau mantan kombatan dan tokoh GAM untuk menjadi bagian dari partia nasional guna mendongkrak perolehan suaranya di Aceh.

Yang paling mujarab dan sudah terbukti ampuh, manakala Gerindra mengangkat Muzakir Manaf sebagai Ketua Dewan Penasehat Gerindra Aceh. Keberadaan Mualem di Gerindra membuat partai ini lebih mudah masuk kedaerah-daerah Aceh dan berhasil meningkatkan perolehan jumlah kursi dan suaranya di Pemilu 2019 lalu.

Lantas tidak "idiolog" kah Tengku Muha hingga bersedia menjadi Ketua Perindo Aceh? Apakah idiologi politik dan idiologi perjuangan tidak melekat kuat pada sosok Tengku Muha?

Bagi saya Idiologi adalah ruhnya perjuangan namun dalam banyak situasi idiologi harus dikesampingkan, diletakan dibelakang, karena dalam politik ada strategi ada koalisi. Jadi posisi idiologi adalah sebagai sebuah keyakinan dan kepuasan batin, namun tidak selalu diletakan menjadi fhasion disetiap gerak dan langkah seorang politisi.

Pengakuan Tengku Muha bahwa ia telah mendapat restu Mualem menjadi Ketua Perindo Aceh menimbulkan tanda tanya apakah ini bagian dari perjuangan Partai Aceh?

Kita menoleh lagi kebelakang, pada saat Pemilu 2019 sejumlah politisi PA selain Tengku Muha juga ada sederet nama yang maju menjadi caleg DPR-RI dari partai nasional. Semisal Azhari Cage dengan PBB, Kautsar dengan Demokrat, Abdullah Saleh dengan Gerindra, walau belum seorangpun yang berhasil tembus ke senayan.

Meski terkesan antara Perindo kurang matching dengan sosok Tengku Muha, namun kita terima saja ini sebagai sebuah kemungkinan bagian dari strategi, karena dalam politik dewasa ini idiologi bukanlah fatron.

Namun kemudian, saya jadi sangat terkejut dengan sikap yang diambil oleh Partai Aceh dengan memberhentikan Tengku Muharuddin dari anggota dan Kepengurusan Partai Aceh akibat dari dengan bergabungnya Tengku Muha ke Perindo.

Sementara kita semua tahu, sejumlah kader dan pengurus Partai Aceh justru lebih awal lagi telah bergabung dan ada dalam kepengurusan partai nasional, bahkan maju menjadi Caleg partai nasional untuk DPR RI.

Ini adalah hal yang wajar karena dalam sistem Pemilu kita, partai lokal hanya dapat mengajukan calegnya untuk DPR Aceh dan DPR Kabupaten Kota, sementara untuk DPR RI dapat dengan berafiliasi dengan partai nasional.

Mendepak Tengku Muha mengesankan ada perlakuan tidak sama kepadanya jika dibanding dengan perlakuan pada pengurus dan kader Partai Aceh yang lain. Disisi lain ketokohan dan jejaring Tengku Muha di dapilnya masih cukup kuat.

Sekecil apapun sebuah pendepakan tetap saja akan berdampak buruk bagi suatu kelompok, simpati pada Partai Aceh akan menurun terutama dari loyalisnya Tengku Muha, dan ini bisa saja akan menggusur perolehan suara Partai Aceh di Pemilu mendatang yang kita lihat trendnya cenderung menurun dari Pemilu ke Pemilu demikian juga dalam Pilkada.

Hal lain yang perlu kita sayangkan, kondisi partai lokal di Aceh seperti sedang senja kala, hal ini terlihat dengan rentannya terjadi konflik diinternal partainya. Situasi ini kemudian menjadikan eksistensi partai nasional di Aceh semakin menguat. Partai-partai nasional pada pemilu 2019 menunjukan grafik yang meningkat dalam perolehan suara dan jumlah kursinya.

Melihat perkembangan ini, kiranya petinggi partai lokal perlu berbenah, bersikap lebih arif dan tidak latah dengan dinamika yang lazim terjadi dalam sebuah organisasi.

Penulis: Dosen FISIP USK dan Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda