Beranda / Analisis / Jalan Tengah Pilkada Aceh

Jalan Tengah Pilkada Aceh

Minggu, 06 Desember 2020 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +



Oleh Aryos Nivada

Meskipun tuntutan agar Aceh menggelar Pilkada pada tahun 2022 semakin kencang, namun hingga kini pemerintah pusat belum menunjukkan ketegasan terkait kepastian jadwal Pilkada Aceh. Hingga tulisan ini ditulis, belum ada sikap maupun kebijakan pusat dalam rangka memperjelas kapan jadwal Pilkada Aceh. Pihak penyelenggara, KIP Aceh dalam hal ini, diketahui juga masih menunggu arahan lebih lanjut dari KPU Pusat.

Sebagaimana diketahui bahwa Pilkada Aceh bila mengikuti mekanisme tahapan menurut UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), jadwal Pilkada Aceh adalah 5 tahun sekali sebagaimana termaktub dalam Pasal 65 ayat (1) UUPA. Aceh yang sebelumnya melakukan pemilihan pada tahun 2017, bila sesuai jadwal selanjutnya semestinya pada tahun 2022.

Namun di sisi lain UU Pilkada yang berlaku secara nasional menegaskan daerah yang akan melangsungkan Pilkada pada tahun 2022 harus diundur sampai tahun 2024. Di sisi lain adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan Pilkada Aceh yang membuat kekosongan legalitas pelaksanaan Pilkada secara lokal di Aceh, apakah benar?

Lantas bagaimana sebenarnya duduk perkara sebenarnya terkait tahapan Pilkada Aceh, terutama bila ditinjau dari kacamata hukum? Apakah memang Pilkada Aceh tahun 2022, 2023 atau 2024?

Pilkada masuk ke dalam Rezim Pemilu?

Jika kita mengikuti alur kerangka legalitas tertera di UUPA, maka jelas Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun harus difahami bahwa tata kelola Pilkada dalam UUPA masih menganut prinsip Pilkada dibawah rezim pemerintahan daerah. Sedangkan pasca diundangkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pilkada bukanlah lagi rezim pemda namun sudah beralih menjadi rezim pemilu. Dengan demikian tata kelola Pilkada di Aceh, mau tidak mau memang harus mengalami penyesuaian.

Namun dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK telah menyatakan bahwa Pilkada Bukanlah rezim pemilu. Oleh karena itu pula UU Pemilu tidak sama sekali mengatur mengenai Pilkada karena Pilkada diatur terpisah di UU lain yakni UU No. 1 Tahun 2015 dengan 2 (dua) kali perubahannya (UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun 2016).

Namun kemudian terdapat anomali pasca MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan ini menegaskan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD secara serentak tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Dalam putusannya itu, MK memberikan enam alternatif model pemilu serentak yang dinilai MK konstitusional, yaitu:

1. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota DPRD.

2. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati/wali kota.

3. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota.

4. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kab/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

5. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi, gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih DPRD kab/kota dan memilih bupati/wali kota.

6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.

MK tidak menentukan pemerintah harus memilih model pemilu serentak bagaimana, hanya saja MK memberikan kebebasan kepada pemerintah untuk menyesuaikan pemilu di Indonesia sebagaimana alternatif tawaran pemilu serentak dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Meski demikian diakui dalam Putusan ini terdapat anomali. Timbul tanda tanya dari mana dasar konstitusi putusan tersebut. Kemudian putusan ini juga mengalami problem dengan sinkroninasi putusan MK sebelumnya.

UUD hasil amandeman Perubahan ke-III, 9 November 2001 disebutkan bahwa Pasal 22E bab tentang pemilu, dalam ayat 2 disebutkan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Namun putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 malah menawarkan alternatif penggabungan Pemilu dan Pilkada. Padahal jelas dalam Pasal 22E UUD 1945 , Pemilu kepala daerah bukanlah bagian dari Bab tentang Pemilu.

Ekses daripada hadirnya putusan MK yang menawarkan model keserentakan pemilu, menjadikan kaburnya rezim Pilkada, apakah termasuk rezim pemilu atau rezim pemerintahan daerah. Sehingga pandangan yang mengatakan bahwa Pilkada telah menjadi bagian dari rezim pemilu sejatinya memang tidak sepenuhnya salah. Karena melalui putusan MK sendiri, MK memberikan ruang Pilkada, Pileg dan Pilpres berjalan secara serentak dan beriringan.

MK membenarkan bahwa sebelumnya MK memang berpadangan bahwa Pilkada bukan rejim pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945, tetapi secara esensial tak seorang pun bisa membantah bahwa Pilkada pada hakikatnya adalah pemilu. Terlebih Pilkada diselenggarakan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang dikoordinasikan secara terpusat oleh KPU. Artinya jelas garis koordinasi, komunikasi, dan pelaksanaan karena alurnya vertikal. Selain itu sengketa hasil Pilkada pun ditangani oleh MK, yang tentu saja mengandung arti bahwa esensi Pilkada pun merupakan suatu pemilu, sehingga selayaknya diselenggarakan sebagai bagian dari skema pemilu serentak lokal.

Dengan demikian Pilkada serentak menjadi bagian dari skema pemilu lokal serentak. Mengenai konstitusionalitas pemilu serentak nasional yang dipisahkan dengan pemilu serentak lokal ini pernah dibahas dengan tuntas dan jelas oleh Prof. Saldi lsra dalam bab yang ditulisnya "Konstitusionalitas Penyelenggaraan Pemilu Nasional Serentak Terpisah dari Pemilu Lokal Serentak".

Dalam buku Pemilu Nasional Serentak 2019 (2016), Menurut Prof. Saldi lsra, terkait penyelenggaraan pemilu di luar jadwal lima tahunan seperti diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, frasa keserentakan pemilu, frasa pemilu nasional secara serentak, dan pemilu lokal secara serentak, pernah muncul dan diperdebatkan oleh PAH I MPR pada 2000, sehingga pemisahan pemilu serentak nasional dan local sebenarnya memenuhi syarat konstitusionalitas, baik dari segi original intent maupun dari pendekatan interpretasi atas konteks yang tidak semata-mata bersifat harfiah, tetapi juga fungsional.

Putusan MK: Pilkada bukan kekhususan Aceh

UUPA mengatur suksesi Pemilihan Kepala daerah di Aceh, baik pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dijadwalkan selama lima tahun sekali sebagaimana amanat pasal 65 UUPA. Pada Pasal 66 ayat (1) UUPA disebutkan Teknis tahapan dan jadwal pemilihan ditetapkan oleh KIP. Pasal 66 ayat (6) menjelaskan tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun. Berikut Pasal 73 UUPA menegaskan penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Namun pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010, menganulir pandangan bahwa Pilkada adalah kekhususan Aceh. MK dengan tegas menyatakan bahwa Pilkada bukanlah bagian dari keistimewaan Aceh. Meskipun mekanisme dan tata cara Pilkada diatur secara umum dalam UUPA (sedangkan khusus dan teknis dalam Qanun Aceh), namun bagi MK kekhususan Aceh hanya tercakup dalam Undang - Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. empat keistimewaan Aceh (yang dalam hal ini adalah termasuk kekhususan) hanya terbatas pada bidang Agama, Adat, Pendidikan, Peran Ulama dalam Kebijakan daerah.

Pada pasal 3 Undang - Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyebutkan :

1) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual. moral, dan kemanusiaan;

2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:

a) penyelenggaraan kehidupan beragama;

b) penyelenggaraan kehidupan adat;

c) penyelenggaraan pendidikan; dan

d) peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah;

Selain hal diatas, menurut MK tidaklah termasuk keistimewaan Aceh. Meskipun mekanisme Pilkada diatur dalam UUPA, namun tidak terdapat hubungan umum atau khusus dengan UU Pilkada yang berlaku secara nasional. Maka pasca putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, politik hukum Pilkada menyesuaikan dengan alur enam model keserentakan Pilkada.

Disisi lain, model pengaturan Pilkada Aceh sebagaimana tersebut dalam UUPA, menganut model rezim Pilkada dibawah pemerintah daerah. Hal ini dapat terlihat dalam konsideran mengingat, dimana UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi konsideran dan rujukan dari UUPA. Paska putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, maka Pilkada dapat dikatakan telah masuk dan menjadi bagian dari rezim pemilu. Sehingga pengaturan keserentakan Pileg dan Pilres juga tidak dapat dilepaskan dari keserentakan Pilkada.

Artinya Aceh di sini harus menyesuaikan model pengaturan Pilkada mengikuti alur model Pilkada serentak yang berlaku secara nasional. Bila mengacu pada siklus lima tahunan Pilkada Aceh. Maka tentu saja jadwal Pilkada Aceh akan berlangsung pada tahun 2022. Namun apabila mengikuti siklus tersebut, terdapat 3 wilayah Aceh yang tidak Pilkada pada tahun 2022, melainkan tahun 2023. Yaitu Pidie Jaya, Aceh selatan, dan Subulussalam. Apabila jadwal ini terus dipertahankan, Aceh kedepan dikhawatirkan akan berjalan sendiri dalam pelaksanaan Pilkada. Padahal daerah khusus yang lain juga mengikuti model alur keserentakan Pilkada dalam UU Pemilu yang kini sedang dibahas di DPR RI.

Jikalau Pelaksanaan 2024

Wacana akan dilaksanakan Pilkada 2024 sudah mengemuka sejak digulirkan keinginan pemerintah untuk efesiensi dan efektivitas dalam memperbaiki tata kelola kepemiluan di Indonesia. Pro dan kontra jelas terlihat antara kubu setuju dan tidak setuju jikalau Pilkada nantinya dilaksanakan 2024. Namun sebelum disahkan pada tahun tersebut, dibutuhkan input dari berbagai kalangan guna mencermati dan mentelaah plus dan minus.

Jika ditilik potensi dampak secara keamanan manakala Pilkada berlangsung di 2024, tidak ada jaminan termasuk negara memastikan tidak ada gonjangan atau stabilitas keamanan terjaga, karena transisi jadwal pelaksanaan Pilkada terbilang lama, karena ada jeda 2 tahun pasca berakhir masa jabatan pimpinan daerah di 2022 nantinya.

Potensi masuk angin karena manuver dari berbagai pihak terbuka lebar sekali karena semua pihak akan bermain di arena perebutan kekuasaan yang sangat lama kepastiannya. Hal lainnya selama 2 tahun kondisi pemerintahan kurang stabil, walau nantinya ditempatkan pejabat sementara (pj) namun statusnya tidak defenitif ataupun sah memegang otoritas penuh pengendali pemerintahan setempat.

Dimungkinkan akan berpotensi protes keras dari kalangan penyelenggara karena sebelumnya penyelenggara di Provinsi Aceh bersama eksekutif maupun legislatif bersepakat mewacanakan pelaksanaan Pilkada tetap 2022. Tetapi hingga saat ini kejelasan itu belum ada karena status legalitasnya masih menjadi debat kusir yang belum jelas.

Dari sisi keuntungan jika dilaksanakan Pilkada 2024, maka bagi kalangan partai penguasa sangat diuntungkan karena dapat menempatkan orang-orangnya pada posisi sebagai pjs di daerah-daerah tertentu.

Hal lain saat berlangsung Pilkada 2023 sudah dipastikan posisi semua partisipan Pilkada dalam keadaan netral, sehingga semua pihak sama-sama berkompetisi dengan fear. Akan tetapi bagi elit penguasa tentunya tidak dalam posisi nol, karena sudah ada modal kekuasaan.

Pertimbangan logis jika Pilkada 2024, maka ada ruang bagi pemerintah untuk menyelesaikan masalah Covid-19 untuk recovery baik secara kondisi keuangan negara, maupun kondisi sosial masyarakat termasuk perekonomiannya. Persiapaan akan lebih matang dikarenakan ada jangka waktu panjang bagi pemerintah maupun penyelenggara untuk memaksimalkan pelaksanaan Pilkada nantinya, ketika jadi 2024.

Resiko Pelaksanaan Pilkada 2022

Berdasarkan analisa penulis, terdapat sejumlah risiko yang patut dipertimbangkan apabila tetap mengagendakan jadwal Pilkada Aceh pada tahun 2022.

Risiko pertama, Pilkada Aceh tahun 2022 rawan dengan gugatan ke MK. Apabila Pilkada Aceh dilangsungkan pada tahun 2022, pihak-pihak berkepentingan dapat mengajukan gugatan terhadap pasal 65 UUPA yang mengatur siklus jadwal lima tahunan Pilkada Aceh. Dasar gugatan kiranya cukup argumentatif, sebab pasal tersebut dapat dibenturkan dengan putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menawarkan enam model pemilu serentak. Tentu saja model Pilkada Aceh yang masih menganut rezim pemerintahan daerah tidak sealur dengan dasar pemikiran MK yang menganut prinsip keserentakan Pilkada lokal maupun nasional.

Risiko kedua, menyangkut legalitas penganggaran Pilkada Aceh tahun 2022. Berdasarkan Peraturan Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 54 tahun 2019, Pada pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Pendanaan Kegiatan Pemilihan adalah penyediaan dana untuk kebutuhan kegiatan pemilihan gubernur dan wakil gubernur bagi provinsi, pemilihan bupati dan wakil bupati bagi kabupaten, serta pemilihan wali kota dan wakil wali kota bagi kota, yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dan dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mekanisme penganggaran dalam Pilkada ini harus merujuk pada ketentuan peraturan perundangan, dimana penganggaran yang diusulkan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berpedoman pada standar kebutuhan Pendanaan Kegiatan Pemilihan yang ditetapkan oleh Ketua KPU setelah berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Apabila pemerintah pusat tidak mengizinkan Aceh menjalankan Pilkada pada tahun 2022, sedangkan anggaran untuk Pilkada Aceh sudah dianggarkan baik melalui pos belanja tidak terduga, dana dari hasil penjadwalan ulang capaian program dan kegiatan lainnya serta pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan; dan/atau memanfaatkan kas yang tersedia -- yang kemudian digunakan, alhasil hal tersebut berkonsekuensi memberi dampak hukum di kemudian hari. Dampak hukum tidak saja akan menimpa pemerintah Aceh, melainkan juga terhadap penyelenggara sebagai pelaksana dan pengguna anggaran Pilkada.

Jalan tengah Aceh: Pilkada Tahun 2023

Konflik lazimnya terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berujung pada benturan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Turbulensi dapat terjadi apabila para pihak saling mengedapankan ego dan kepentingan masing masing, tanpa memberi perhatian terhadap pihak lainnya.

Dalam konteks Pilkada Aceh, masing masing pihak punya kepentingan yang berbeda antara pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Dari persepektif pemerintah Aceh, Pilkada tahun 2022 adalah bentuk dari menjaga butir butir pasal yang terangkum dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dimana UUPA sendiri lahir dari proses negoisasi yang didahului oleh konflik puluhan tahun antara Aceh dan Jakarta. Konflik berkepanjangan ini harus diakui, tidak darah para syuhada yang mengalir. Belum lagi korban konflik seperti janda dan anak yatim yang kemudian menimbulkan trauma berkepanjangan.

 Konsensi dari proses pengakhiran konflik Aceh adalah jalan tengah berupa perdamaian antara Aceh dan Jakarta. Jalan tengah ini yang kemudian menjadi cikal bakal landasan hadirnya UUPA sebagai proses penyelesaian konflik Aceh secara bermartabat. Di satu sisi Aceh memiliki kewenangan lebih dalam menjalankan pemerintahan secara lebih mandiri (self government) melalui instrumen UUPA. Disisi lain, keinginan pusat agar Aceh menghentikan perjuangan bersenjata dan beralih ke perjuangan politik terealisasi. Aceh tetap “merdeka” namun dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia.

Pemikiran solusi jalan tengah inilah yang kemudian harus dihadirkan sebagai upaya menjembatani antara kepentingan politik Aceh dan pusat dalam konteks Pilkada Aceh. Disatu sisi kekhususan dan marwah Aceh dalam UUPA harus tetap dijaga. Disisi lain kepentingan politik pusat agar Aceh dapat mengikuti mekanisme pilkada serentak sebagaimana amanah putusan MK juga harus teralisasi.

Terdapat tawaran menarik bagian dari jalan tengah dalam upaya menjaga kekhususan Aceh disatu sisi, namun disisi lain rezim Pilkada Aceh tetap mengikuti mekanisme keserentakan Pilkada sebagaimana berlaku secara nasional. Aceh tetap mengikuti alur Pilkada serentak sebagaimana berlaku secara nasional. Namun keserentakan ini tidak persis sama dengan serentak nasional, namun lebih kepada serentak secara daerah. Ada sejumlah keuntungan apabila Aceh melaksanakan Pilkada tahun 2023 dibandingkan tahun 2024.

Pertama, meminimalisir terjadinya perpanjangan kekosongan pemerintahan dibandingkan 2024. Bila Pilkada Aceh tahun 2024, maka otomatis roda pemerintahan dan birokrasi dijabat oleh Penjabat Pemerintah (PJ). Kewenangan PJ yang terbatas dikhawatirkan dapat menghambat jalannya laju pembangunan di Aceh. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Permendagri 1/2018, Kewenangan PJ kepala daerah dalam memimpin proses penyelenggaraan pemerintahan daerah mempunyai tugas dan wewenang:

a. memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

c. memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota yang definitif serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil; dan

d. melakukan pembahasan rancangan Peraturan Daerah dan dapat menandatangani Peraturan Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri; dan

e. melakukan pengisian pejabat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Kedua,untuk memastikan bahwa keserentakan itu terjadi menyeluruh bagi seluruh kab/kota di Aceh. Bila Pilkada dilaksanakan tahun 2023, maka otomatis Aceh dapat melaksanakan Pilkada disemua wilayahnya, tanpa harus mengurangi masa jabatan dari kepala daerah di kabupaten/kota Aceh. Terpenting yang paling esensial dari tahapan Pilkada Aceh justru terletak pada masa jabatan dari kepala daerah. Masa jabatan tetap harus 5 tahun sebagaimana ditegaskan dalam pasal 65 ayat 2 UUPA.

Ketiga, Pilkada tahun 2023 adalah solusi dalam menjaga titik keseimbangan antara keinginan Aceh tahun 2022 berdasarkan UUPA dengan keinginan Pusat tahun 2024 berdasarkan UU Pilkada.

Keempat, Tahun 2023 diprediksi wabah pandemi covid 19 akan mereda. Proses vaksinasi yang diagendakan mulai berlangsung tahun 2021 diperkirakan akan mereda pada tahun 2023. Dengan melihat proses recovery pandemi, maka kondisi pemerintah daerah dan pusat lebih stabil, terutama dalam hal anggaran. Tahun 2023 diprediksi bukan hanya telah selesainya agenda pemulihan pandemi, namun juga proses pemulihan keuangan negara juga diperkirakan akan terjadi.

Strategi Kelancaran Pilkada Aceh

Ada beberapa hal penting telah saya catat sebagai strategi agar pelaksanaan Pilkada di Aceh dapat terlaksana dengan lancar. Pertama; dibutuhkan harmonisasi regulasi dan peraturan terkait kekhususan Aceh dengan pemerintah pusat terkait pelaksanaan Pilkada Serentak di Aceh, ketika berlangsung 2022, 2023 atau 2024.

Kedua; mendorong pemerintah Aceh mempersiapkan pelaksanaan Pilkada 2022 maupun 2024 dalam hal penyediaan anggaran maupun kegiatan yang muaranya pada persiapan pelaksanaan Pilkada.

Ketiga; melakukan komunikasi secara intensif dengan pemerintah pusat, sehingga menemukan titik kesempakatan bersama. Mengapa karena membangun ruang komunikasi kunci menemukan formula yang disepakati untuk pelaksanaan Pilkada serentak di Aceh.

Keempat; sangat penting bagi pihak eksternal atau bahasa lainnya membangun gerakan bersama dari masyarakat sipil untuk memantau dan menjaga kerja-kerja penyelenggara agar independent baik Komisi Independent Aceh maupun Panwaslih Aceh. Kita fahami bersama labelisasi dari publik bahwa ada nuansa politis ketika proses rekrutmen penyelenggara di KIP maupun Panwaslihnya.

Pada akhirnya, menurut penulis bahwa keikutsertaan Aceh dalam siklus keserentakan Pilkada tidak bisa tidak adalah sebuah keniscayaan, karena hal ini merupakan amanat Putusan MK. Sebagaimana dibahas dimuka, yang paling realistis Pilkada Aceh dijadwalkan pada tahun 2023 (serentak lokal Aceh) atau pada tahun 2024 (serentak nasional).

Kemudian berdasarkan pertimbangan faktor-faktor sebagaimana dibahas sebelumnya, Pemerintah Aceh dan DPRA perlu kembali membahas kepastian jadwal Pilkada Aceh.

Hal ini tentunya agar Pilkada Aceh tidak justru menjadi bencana politik baru bagi Aceh yang saat ini sedang berkalung dan berselemak masalah. Tentu saja, solusi jalan tengah sebagaimana dibahas dimuka, harus terus dilakukan melalui dialog intensif antara Aceh dan pusat.

Aryos Nivada, Dosen FISIP Unsyiah dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda