Beranda / Analisis / Sejarah Pemerkosaan Perempuan di Timur Aceh: 1986-2020

Sejarah Pemerkosaan Perempuan di Timur Aceh: 1986-2020

Senin, 02 November 2020 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra

Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti. Tinggal di Banda Aceh (Foto: Doc Bisma)


Dari arsip kasus pemerkosaan di wilayah timur Aceh (Langsa dan Aceh Timur) yang saya simpan, paling tidak ada lima kejadian yang menggegerkan banyak orang serta ramai dikutuk. Dua kejadian titimangsa 1980-an yang pernah dilaporkan majalah Tempo akan diceritakan ulang di sini.

Sejarah pemerkosaan di wilayah ini sebetulnya tidak berisi tok lima kasus. Jumlahnya melacak. Ada yang bikin geger (dibicarakan banyak orang serta menyulut emosi kolektif), juga ada yang sunyi dari perhatian publik.

Sebelum Kasus Birem Bayeun (pemerkosaan seorang ibu dan anaknya dibunuh pelaku) pada 10 Oktober kemarin, tahun 2014 pernah terjadi pemerkosaan perempuan di Kota Langsa yang membingungkan banyak orang.

Seorang perempuan, waktu itu usianya 28 tahun, membawa teman laki-lakinya ke rumah pada malam 1 Mei. Rupanya aksi diam-diam itu ketahuan oleh delapan pemuda desa. Mereka mengepung rumah lalu menangkap pasangan tersebut. Laki-laki tadi ditemukan sembunyi di dalam lemari. Kawanan yang datang untuk menindak perzinaan itu pun membagi tugas: 1 orang mengawasi si laki-laki yang sudah diikat di sebuah kamar, 7 lainnya memeriksa kemaluan si perempuan (ini sudah termasuk pelecehan seksual) di kamar sebelah untuk melihat tanda-tanda keduanya sudah bersetubuh atau belum. Tetapi tujuh pemeriksa tersebut kemudian memerkosa perempuan ini; 3 orang melakukan penetrasi alat seksual, 4 orang lainnya mencabuli dalam bentuk lain. Otoritas hukum di Kota Langsa kemudian menangkap ada dua perkara: pemerkosaan dan perzinaan. Yang memerkosa dibawa ke Pengadilan Negeri Langsa, dua orang yang dituduh berzina ditindak di Mahkamah Syariah Langsa (“Delapan Cambuk Pembangkit Trauma”, Tempo, 1 Desember 2014).

Kasus Langsa 2014 ini ternyata memunculkan komentar (sikap) yang tidak seragam. Sebagian mencela perempuan tersebut karena dianggap suka berzina. Ada juga yang bersimpati karena setelah diperkosa (menjadi korban) dia malah dijadikan terhukum pula. Sebagian orang yang mencela menganggap pemerkosaan itu akibat ulah atau salah si perempuan sendiri, dan dengan demikian dia wajib dicambuk demi syariat Islam. Perempuan ini akhirnya dinaikkan ke panggung cambuk, tetapi hukuman diurungkan karena dia duduk perut lima bulan.

Empat tahun sebelumnya, warga Kota Langsa juga pernah terkejut dengan peristiwa pemerkosaan seorang perempuan. Yang mengejutkan karena itu terjadi dalam tahanan Wilayatul Hisbah Langsa. Kasus Langsa 2010 ini cukup menyakitkan hati banyak orang karena pelakunya adalah tiga pemuda yang bekerja di lembaga penegak hukum Islam tersebut. Setelah kejadian itu, para aktivis properempuan memunculkan lagi catatan peristiwa-peristiwa sebelumnya untuk menunjukkan betapa sukarnya menemukan tempat yang aman bagi perempuan; pemerkosaan terhadap perempuan terjadi di rumah hingga kantor lembaga negara; dilakukan orang terdekat hingga penegak hukum.

Menurut cerita beberapa warga Kota Langsa, setelah kejadian tahun 2010 dan 2014 itu bertambah banyak yang berani menongkah Wilayatul Hisbah. Dalam kejadian tahun 2014 memang tak ada orang dari lembaga ini yang terlibat pemerkosaan. Namun tetap diseretnya korban ke pengadilan dan dijatuhi vonis turut menyulut ketaksukaan baru. Dalam beberapa operasi penertiban, misalnya terhadap pegelaran organ tunggal, warga mengusir, memaki, bahkan melempari petugas Wilayatul Hisbah. Di kemudian hari lembaga ini operasinya baru bisa berjalan lancar kalau didampingi beberapa anggota TNI dan polisi.

Terhadap kasus pemerkosaan tahun 2020, 2014, dan 2010, rada banyak orang berkeinginan diberi kesempatan menghajar pelaku dengan tangannya sendiri. Kasus Birem Bayeun lebih-lebih, karena tersangka ikut membunuh anak kandung perempuan yang diperkosanya. Ada yang berharap polisi menghajar habis-habisan pelaku selama pemeriksaan, juga ada yang mendorong para tahanan yang satu sel dengan pelaku menyiksa dia sejera-jeranya. Pelaku pemerkosaan dalam tiga kasus tersebut tidak pernah jatuh ke tangan massa. Walaupun warga tidak sempat menguasai pelaku Kasus Birem Bayeum, kematiannya di dalam tahanan pada 18 Oktober tampak lumayan memuaskan banyak orang.

Hukuman langsung oleh massa terhadap pelaku pemerkosaan pernah terjadi di Aceh Timur tahun 1988. Kejadian ini dilaporkan Tempo edisi 23 Juli 1988. Tajuk laporannya: “Hatta, Tamatlah Riwayatnya”.

Juli tahun itu seorang perempuan di Gampong Seuneubok Aceh diseret tentangganya yang bernama Hatta ke semak-semak. Mulanya Hatta coba mengelabui dengan mengajak korban ke rumahnya untuk bertemu seorang jejaka yang ingin berkenalan. Tetapi korban tak percaya. Di dalam semak-semak Hatta berusaha melucuti pakaian korban. Karena melawan, perut perempuan muda tersebut kemudian disayat pakai pisau. Untungnya Maimunah berhasil melarikan diri kemudian melaporkan kepada imam desa, Teungku Syama’un. 

Sepanjang jalan menuju rumah kepala desa, Teungku Syama’un terus ditanyai orang-orang mengapa berjalan terburu-buru. Begitu khalayak mengetahui ihwalnya, mereka ikut ke rumah Keuchik Usman Husen untuk melihat apa tindakan yang akan diambil. Keuchik Usman mulanya memanggil Hatta untuk meminta penjelasan. Dan Hatta membantah sudah melecehkan tetangganya. Tetapi setelah Maimunah menceritakan kejadian sebenarnya, yang berkumpul di depan rumah Keuchik Usman untuk mengeroyok Hatta semakin banyak.

Agar Hatta tak diamuk, Keuchik Usman menyuruh anaknya, Asnawi, segera menjemput Danramil setempat, Letnan Satu Nurdin. Tetapi Nurdin menjelaskan polisi lebih berwenang untuk menangani masalah tersebut. Asnawi pun berangkat ke Polsek Darul Aman di Idi Cut. Rupanya kantor polisi itu kosong. Lantaran tiada polisi yang bisa dijumpai, Nurdin membantu Asnawi menuju ke Polsek Idi yang jaraknya sekitar sembilan kilometer dari Idi Cut. Di Polsek Idi ada Sersan Dua Ramlan. Serda ini kemudian mencari teman untuk ke Idi Cut. Dia akhirnya bisa menemukan tiga polisi lainnya lalu bergerak ke lokasi.

Sewaktu Nurdin dan Asnawi lagi sibuk mencari polisi, ternyata di tempat kejadian Hatta mulai berancang-ancang menerobos kerumuman massa dengan satu tangan menghunus pisau, satu lainnya menggandeng Tihawiyah, istrinya. Keuchik Usman sudah memperingatkan supaya keduanya bertahan dulu sampai petugas pengamanan datang. Merasa bisa lolos, Hatta malah berhasil disergap lalu dikeroyok. Tihawiyah juga dihajar. Keduanya lari kembali ke rumah Keuchik Usman untuk menyelamatkan diri.

Setelah Lettu Nurdin dan empat polisi tiba di lokasi, penahanan Hatta mulai dilakukan. Massa meminta Nurdin agar jangan menyerahkan Hatta kepada polisi. Namun Hatta tetap dibawa masuk ke mobil petugas. Masalahnya, warga tak mau lagi kehilangan kesempatan untuk menggebukinya sampai mampu. Tiba-tiba kerumunan itu menyerbu mobil polisi. Keempat petugas itu kewalahan. Hatta pun berhasil dikuasai massa lagi. Pengeroyokan kedua ini membuat Hatta tewas dalam lima menit.

Hatta memang tidak sempat memerkosa korban (dalam artian memerkosa sebagai tindakan melakukan penetrasi alat vital). Tetapi kebencian penduduk bukan hanya soal itu. Pengeroyokan terjadi akibat meledaknya tumpukan amarah warga atas ulah buruk Hatta berulangkali. Mulai mencuri, memalak, membakar tempat usaha orang, memerkosa, dan kelicikan lainnya. Tahun 1984, dia diadili atas tuduhan membunuh seorang pengusaha sepeda di Idi. Divonis bebas karena ketiadaan bukti. Rupanya dia memang tidak membunuh. Hatta menyerahkan diri dan mengaku telah membunuh pengusaha tersebut agar para pengusaha Tionghoa atau Cina lainnya di Aceh Timur takut sehingga akan mudah baginya untuk mengompas mereka. Kira-kira 400 kepala keluarga di Gampong Seuneubok Aceh mengaku ikut membuat Hatta hilang hayat.

Kasus 1988 dan 2020 memiliki sedikit kesamaan: pelakunya residivis. Pelaku dalam Kasus Birem Bayeun pernah dipenjara belasan tahun karena pembunuhan. Dan kalau kejadian tahun 1988 yang massal adalah pengeroyok pelakunya, pemerkosaan tahun 1986 yang massal adalah korbannya. Menurut laporan Tempo, jumlah perempuan yang diperkosa sedikitnya tiga belas orang (“Ilmu Pengasihan di Tebing Sungai”, 6 Desember 1986).

Kejadiannya di Gampong Pantai Balai (sekarang dalam wilayah Kabupaten Aceh Tamiang). Pelakunya seorang guru agama bernama Syahruddin (Udin), yang oleh penduduk desa kemudian dicap “ustaz cabul”. Semua korban berusia belasan, antara 14-17 tahun. Majelis taklim yang dikelola Udin turut mengajarkan “ilmu pengasih”. Pada suatu malam dekat akhir November 1986, warga desa tiba-tiba mendengar teriakan perempuan. Asal suara di sekitar rumah Udin. Maka, ramai-ramailah orang datang ke situ. Setibanya di lokasi mereka mendapati Guru Udin tengah menyetubuhi seorang perempuan. Udin lantas ditangkap karena dituduh memerkosa muridnya. Sekitar lima puluh orang akan berhasil membantai dia sekiranya polisi terlambat tiba. Pada interogator, Udin mengaku sudah meniduri sedikitnya tiga gadis dalam satu minggu.

Korban-korban tersebut dijanjikan akan mendapatkan ilmu pengasih. Udin meyakini anak-anak didiknya bahwa ilmu ini membuat siapa pun yang menguasainya bakal mudah memperoleh perhatian, bantuan, simpati. Permintaan apa pun akan dituruti orang lain. Kalau minta hal-hal pada pejabat pasti dikabulkan. Ikut lomba atau sayembara akan menang. Pemuda yang disukai seketika jatuh hati; mengejar-ngejar perempuan penguasa ilmu pengasih.

Gadis-gadis murid Udin ingin sekali punya kemudahan demikian. Langkah awalnya mereka wajib menghafal sebuah mantra yang ditulis di sepotong kertas. Mantranya bukan bahasa Arab. Bunyinya begini: “Hee… Iko daing, kepala daing, tiga dengan kepala ketuka, banyak-banyak suara orang lain, kepada suara aku hatimu suka…”

Waktu untuk menghafal mantra cuma seminggu.

Kalau hafalan sudah lancar barulah masuk ke tahap berikutnya, yakni pemantapan jasmani dan rohani. Ritual pemantapan ini dilakukan ketika matahari sudah terbenam. Setelah Magrib, murid yang sudah hafal diperintahkan datang ke tebing sungai dengan membawa selembar tikar. Tempat itu begitu sepi. Sang guru selalu datang lebih awal. Di sana, ia menunggu anak didiknya dalam keadaan cuma memakai kolor. Kemenyan dibakar. Tahapan terakhir menguasai ilmu pengasih rupanya “harus mengadakan persebadanan dengan guru”. Gadis-gadis itu ditelanjangi Udin di atas tikar yang mereka bawa. Setelah melecehkan muridnya, Udin selalu mengancam bila memberitahu ritual seks itu ke orang lain mereka akan kena kutukan mulut jadi miring, bahkan bisa mati tiba-tiba. Visum Puskesmas Kecamatan Seruway menunjukkan selaput dara sebagian besar korban rusak. 

Sebenarnya, jumlah 13 tadi masih bisa dipertanyakan karena perempuan yang pernah menimba ilmu di tempat tengku cabul tersebut mencapai 40 orang. Dari sekian banyak korban, tidak ada laporan yang menyebutkan terjadinya kehamilan. Untuk mencegah kehamilan, Udin memakai kondom yang dibuat dari kain hitam. 

Apakah kita benar-benar benci pemerkosaan?

Di muka tadi sudah disebutkan bahwa tidak semua kasus pemerkosaan di wilayah timur Aceh diketahui banyak orang atau menggegerkan publik. Hanya sedikit kasus yang dikomentari meluas. Yang lainnya “gagal” heboh. Mengapa hal demikian bisa terjadi?

Setelah mencermati reaksi publik atas Kasus Birem Bayeun dan pemerkosaan lain pada waktu dekat sebelumnya, belakangan saya mulai ragu kalau kemarahan khalayak disebabkan oleh kejadian pemerkosaannya. Pada malam tersebut ada dua peristiwa: pemerkosaan dan pembunuhan. Yang cenderung ditunjukkan publik adalah amarah atas pembunuhan anak korban.

Jangan-jangan, kasus ini jadi ramai memang bukan karena keprihatinan sosial atas kejahatan seksual terhadap perempuan serta pembunuhan anak korban, tetapi karena semata ada aksi heroik Rangga”yang dibunuh saat melindungi maknya”serta hasrat membalas pelakunya. Jangan-jangan, khalayak sebenarnya tak begitu peduli dengan pemerkosaan malam itu.

Komentar demikian memang tidak enak didengar. Pasti yang tidak setuju akan menyangkal bahwa mereka menaruh perhatian dan marah pada kedua kejahatan dalam satu malam tersebut. Tetapi saya punya alasan mengapa berkomentar seperti itu. 

Tiga bulan sebelum Kasus Birem Bayeun, terjadi Kasus Idi. Juli 2020, seorang perempuan 18 tahun diperkosa dalam lingkungan sebuah sekolah di Idi. Tidak ada yang dibunuh dalam kejadian ini. Korban “cuma” diperkosa. Dan kenyataannya, Kasus Idi tidak jadi perhatian khalayak. Sebagian dari Anda bahkan mungkin baru tahu kejadiannya setelah membaca kalimat di atas. Pemerkosaan di sekolah ini tidak melahirkan makian massal atau desakan untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap pelakunya, seorang laki-laki yang usianya lebih tua, juga tidak diberitakan berulang-ulang oleh media. Kasus ini berakhir dengan pemberitaan yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Karena itulah dalam Kasus Birem Bayeun saya bertanya-tanya sebenarnya kita marah pada aksi pelaku yang mana: pembunuhannya anaknya, pemerkosaan perempuannya, atau pada keduanya?

Saya tak merasa harus menanyakannya ke masing-masing orang yang banyak mengomentari kasus tersebut. Biarlah kita masing-masing merasa-rasa pada diri sendiri. Dan kalau ternyata fokus orang-orang cuma pada pelaku dan pembunuhan itu, tetapi luput menaruh simpati pada ibu almarhum dan ayahnya (keluarga Rangga), jelas ada satu masalah serius pada masyarakat.

Masalah itu adalah bagaimana kita menilai suatu kejadian pemerkosaan perempuan baru menarik dibicarakan dan pantas dikutuk kalau ada yang mati di dalamnya. Sementara pemerkosaan sebenarnya mematikan banyak hal pada diri seseorang yang belum mati.

*: penulis; Esais dan peneliti, tinggal di Banda Aceh.


Baca selengkapnya: https://dialeksis.com/analisis/sejarah-pemerkosaan-perempuan-di-timur-aceh-1986-2020/

Copyright © dialeksis.com

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda