Pokir DPRD Bukanlah Barang Haram
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Analisis - Pokir atau pokok pikiran dewan (baca: DPRD atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) adalah istilah yang sexy dalam politik di daerah, khususnya berhubungan dengan proses penyusunan, perubahan, dan pertanggungjawaban APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Namun, Pokir sering dipahami keliru oleh banyak orang. Kekeliruan ini terjadi karena tidak membaca aturan secara mendalam dan kecurigaan berlebihan terhadap anggota dewan, yang menyalahgunakan Pokir untuk kepentingan pribadi. Kecurigaan biasanya lahir dari tidak memadainya informasi untuk menganalisis dan mengambil sebuah kesimpulan, terutama yang berkaitan dengan bagaimana peran dan fungsi anggota dewan dalam pengalokasian sumberdaya pada anggaran belanja dalam APBD.
Selain itu, ada fakta bahwa anggota dewan melakukan hal-hal tidak etis yang melanggar aturan yang berlaku terkait dengan Pokir dewan.
Pokir merupakan salah satu cara mengalokasikan sumberdaya ke dalam APBD melalui peran aktif anggota DPRD sebagai penyambung lidah masyarakat pemilih yang diwakilinya. Pernyataan merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen ditegaskan pada saat pembacaan sumpah ketika pelantikan anggota DPRD dilakukan. Bunyi sumpah tersebut adalah (Pasal 104 dan 157 UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah):
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sebagai representasi dari pemilih yang memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, anggota DPRD membuat keputusan politik di pemerintahan daerah. Kewenangan yang dilaksanakan oleh daerah ditetapkan pengaturan dan kedudukannya melalui peraturan daerah (Perda), di Aceh disebut qanun, yang disepakati bersama oleh kepala daerah dan DPRD. Keputusan politik tersebut dilaksanakan dalam tiga fungsi DPRD, yakni fungsi pembentukan Perda, anggaran, dan pengawasan. Semua ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Pasal 161 UU 23/2014 menegaskan bahwa anggota DPRD berkewajiban untuk menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Hal ini senada dengan Pasal 87, 88, dan 129 PP No. 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa reses digunakan oleh DPRD untuk mendalami aspirasi dan pengaduan dari masyarakat, serta menyerap dan menindaklanjuti pengaduan dan aspirasi masyarakat tersebut.
Menindaklanjuti bukanlah sekedar retorika atau janji belaka, tetapi harus dinyatakan dalam bentuk dokumen anggaran yang ditetapkan dengan Perda. Salah satu mekanisme yang digunakan oleh DPRD untuk menyerap Pokir adalah melalui reses DPRD, yang mencakup aktivitas (1) menjaring aspirasi di daerah pemilihan; (2) menyiapkan laporan reses yang di dalamnya ada usulan Pokir; dan (3) penyampaian Pokir hasil reses dalam sidang paripurna DPRD.
Dengan demikian, Pokir DPRD diwujudkan dalam bentuk program dan kegiatan yang dimasukkan ke dalam APBD untuk kemudian dilaksanakan oleh OPD (organisasi perangkat daerah) atau SKPD (satuan kerja perangkat daerah). Dalam hal ini, anggota dewan adalah 'penyambung lidah' masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari pemerintah daerah dan/atau memiliki masalah untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah melalui OPD sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pokir adalah 'klaim' anggota DPRD terhadap program dan kegiatan yang ditetapkan dalam APBD untuk dilaksanakan oleh OPD, terutama yang diusulkan sendiri oleh anggota DPRD. Pencapaian atas suatu target kinerja pada setiap program dan kegiatan merupakan tanggung jawab OPD yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh kepala daerah dalam dokumen rencana tahunan yang disebut RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah). Artinya, Pokir DPRD tercantum dalam peraturan kepala daerah tentang RKPD, sehingga pencapaian atas target yang telah ditetapkan merupakan tanggung jawab OPD sebagai bagian dari eksekutif (bawahan kepala daerah).
Mekanisme Pokir dalam Penganggaran Daerah
Pasal 54 PP No. 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa Badan Anggaran mempunyai tugas dan wewenang memberikan saran dan pendapat berupa pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD sebelum peraturan Kepala Daerah tentang RKPD ditetapkan. Hal ini bermakna bahwa Pokir dewan sudah dibahas dan disepakati secara internal di internal DPRD dan disampaikan secara formal kepada kepala daerah agar dimasukkan ke dalam RKPD.
Pasal 78 Permendagri No. 86/2017 tentang tata cara perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah, tata cara evaluasi rancangan peraturan daerah tentang RPJPD dan RPJMD, serta tata cara perubahan RPJPD, RPJMD, dan RKPD, huruf i menyebutkan bahwa dalam perencanaan awal, pada forum SKPD dilakukan penelaahan terhadap Pokir DPRD. Artinya, sebelum RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah, Pokir DPRD sudah didiskusikan dalam forum SKPD.
Sekretaris Daerah (Sekda) selaku ketua TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) kemudian memasukkan Pokir Dewan ini ke dalam dokumen KUA (Kebijakan Umum APBD) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara), sehingga pada akhirnya muncul dalam rancangan Perda tentang APBD. Sekda dapat membentuk tim kecil sebagai bagian dari TAPD untuk mengurusi Pokir DPRD ke dalam KUA, PPAS, dan APBD, dengan berpedoman pada RKPD.
Mekanisme Pengajuan Pokir
Semestinya setiap penggunaan uang negara memiliki mekanisme yang diatur secara resmi (formal), termasuk mekanisme untuk Pokir Dewan. Jika mekanisme pengelolaan Pokir sudah diatur, maka Pokir bukan lah barang haram atau hal yang tabu untuk didiskusikan. Secara sederhana, Pokir harus direncanakan (masuk dalam dokumen perencanaan dan anggaran), dilaksanakan sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan oleh kepala daerah, diawasi oleh inspektorat, dan diudit oleh auditor eksternal (BPK).
Kepala daerah menyusun aturan tentang mekanisme pengelolaan Pokir dewan karena kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Artinya, semua OPD bekerja sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Beberapa contoh daerah yang mengatur Pokir DPRD ini adalah: pertama, Kota Padang. Walikota Padang menetapkan Peraturan Walikota Padang Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Pokok Pikiran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah.
Perwal ini dimaksudkan menjadi pedoman dalam pemrosesan Pokir DPRD sehingga dapat sejalan dengan prioritas pembangunan daerah dan program unggulan daerah, dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah. Selain itu, proses pengusulan Pokir DPRD harus mengikuti tahapan yang telah diatur, serta OPD dan DPRD memiliki pemahaman yang sama dalam menelaah Pokir DPRD.
Kedua, Kabupaten Bantul. Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Bupati Bantul Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Penerapan SIPD dalam Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Bantul menyebutkan bahwa pendekatan perencanaan bawah-atas (bottom-up planning) dalam SIPD meliputi usulan dari masyarakat/lembaga, usulan Kelurahan, dan usulan Pokir DPRD.
Oleh karena itu, penanggung jawab teknis operasional sesuai dengan tugas dan fungsi OPD pada setiap tahapan sistem aplikasi SIPD, dimana untuk DPRD yang menjadi admin Pokir adalah anggota DPRD sendiri. Artinya, posisi anggota DPRD sebagai admin untuk Pokirnya sendiri menyebabkan tanggungjawab terhadap konsekuensi apa pun yang terjadi nantinya terkait Pokir dewan tersebut berada di tangan anggota DPRD bersangkutan.
Pengaturan tentang Pokir juga dilakukan di pihak legislatif atau DPRD. Sebagai contoh adalah DPRD Kota Yogyakarta yang menetapkan Peraturan DPRD Kota Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyusunan Pokok-Pokok Pikiran DPRD.
Dalam hal ini, Pokir DPRD adalah dokumen yang berisi saran dan pendapat DPRD guna membantu proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD oleh Walikota. Artinya, Pokir DPRD tidak dapat dipisahkan dengan alokasi belanja lain dalam APBD, sehingga pada dasarnya perlu disusun secara sistematis, tepat waktu, dan tepat sasaran.
Dalam mewujudkan fungsi representasi masyarakat dan menjamin terpenuhinya kewajiban anggota DPRD sebagaimana sumpah janji yang telah diucapkan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, maka DPRD mempunyai tugas menyusun dan menyampaikan pokok-pokok pikiran kepada kepala daerah dalam mempersiapkan perumusan rancangan awal RKPD.
Oleh karena itu, perlu untuk membentuk sebuah Pedoman Penyusunan Pokir. Pedoman Penyusunan Pokok-Pokok Pikiran dimaksudkan sebagai acuan dalam mempersiapkan dan menyusun Pokir, agar penyusunan Pokir dapat tepat waktu dan tepat sasaran, serta mengarahkan dan menjamin aspirasi masyarakat melalui DPRD agar terakomodir dalam dokumen RKPD, KUA, PPAS, RKA OPD, dan RAPBD.
Pada bagian menimbang Keputusan DPRD Kabupaten Subang Nomor 07 Tahun 2021 Tentang Pokok-Pokok Pikiran DPRD Kabupaten Subang Murni Tahun 2022 ditegaskan bahwa Pokir DPRD adalah daftar usulan program pembangunan daerah yang didasarkan atas hasil penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh seluruh anggota DPRD pada masa reses yang diajukan kepada Bupati untuk ditindaklanjuti. Penetapan Pokir dengan keputusan DPRD Kab. Subang merupakan implementasi dari Pasal 105 Ayat (6) Peraturan DPRD Kabupaten Subang Nomor 2 Tahun 2018 tentang tata Tertib DPRD yang menyatakan bahwa Pokir ditetapkan dengan Keputusan DPRD.
Permasalahan-Permasalahan dalam Pokir
Jika APBD dilaksanakan oleh OPD sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing, maka kinerja semua program dan kegiatan yang dikerjakan oleh OPD tersebut merupakan tanggung jawab OPD bersangkutan, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan yang diusulkan dalam APBD oleh DPRD melalui Pokir.
Semua kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD telah sesuai dengan prioritas pembangunan daerah yang telah ditentukan dalam RKPD, baik yang bersumber dari usulan OPD sendiri mau pun dari usulan DPRD. OPD sendiri tidak boleh membeda-bedakan antara kegiatan Pokir dan non-Pokir, termasuk di dalam pemrioritasan pelaksanaannya berdasarkan waktu dan anggaran kas.
Dengan demikian, secara normal Pokir dewan tidak berkaitan dengan rendahnya realisasi belanja atau serapan APBD, sebab yang melaksanakan kegiatan adalah OPD sendiri sebagai bagian dari eksekutif. Proses pelelangan, administrasi keuangan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan, serta penyampaian laporan pertanggungjawaban merupakan ranah eksekutif. Oleh karena itu, keterlambatan penyelesaian pekerjaan atau rendahnya kualitas proyek, semuanya menjadi tanggung jawab eksekutif.
Namun, pada kondisi tertentu, ada anggota dewan yang bertindak melampaui kewenangannya. Terjadi konflik kepentingan ketika seorang anggota dewan menjadi pihak ketiga (kontraktor, pemborong, supplier, dll.), yang melaksanakan kegiatan-kegiatan Pokir DPRD. hal ini sering terjadi karena latar belakang seorang anggota dewan yang seorang pengusaha sebelum menjadi wakil rakyat. Namun, jika sudah mengikuti mekanisme yang berlaku, tentunya tidak perlu dipersoalkan.
Beberapa fakta di lapangan terkait pelanggaran etika dan kepatutan yang dilakukan oleh anggota dewan adalah, pertama, anggota dewan menerima 'fee proyek' dari pihak ketiga (kontraktor atau pemborong) sebelum atau saat kegiatan Pokir dilaksanakan. Kedua, anggota dewan 'memotong' dana yang diberikan atau ditransfer ke penerima oleh pemerintah daerah, terutama dalam bentuk bantuan keuangan, bantuan sosial, dan/atau hibah, termasuk dana beasiswa. Ketiga, “menjual” kegiatan Pokir pada saat proses penyusunan APBD sedang berlangsung.
Fenomena yang melibatkan dewan di atas sesungguhnya sudah mentradisi di eksekutif sejak lama. Belakangan ini bahkan muncul kecenderungan adanya Pokir di eksekutif sendiri, di mana seorang kepala daerah/wakil kepala daerah membuat alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang bisa memberikan keuntungan (rent seeking) kepada mereka, terutama dalam bentuk keuntungan finansial (seperti fee proyek) dan pencitraan sebagai seseorang yang dermawan agar bisa terpilih kembali di masa yang akan datang, baik sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah mau pun sebagai anggota legislatif.
Permasalahan utama dalam Pokir DPRD adalah tidak tercapainya fungsi anggota dewan sebagai representasi pemilih atau rakyat. Alokasi belanja daerah untuk membiayai kegiatan Pokir DPRD sering menjadi lahan untuk mencari keuntungan bagi anggota dewan yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan atau aset tetap yang dihasilkan dari dana tersebut.
Kesimpulan
Pokir DPRD bukan lah barang haram, bukan pula sesuatu yang dilarang secara hukum. Pokir adalah hak setiap anggota dewan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, berurutan dari level atas (kebijakan) sampai ke bawah (implementasi di lapangan).
Oleh karena itu, perdebatan tentang boleh tidaknya Pokir dewan dianggarkan dalam APBD sudah seharusnya selesai. Yang perlu didiskusikan adalah bagaimana cara merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan Pokir DPRD tersebut secara transparan dan akuntabel.
Oleh karena itu, kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) dan DPRD sendiri harus membuat peraturan yang lengkap dan jelas (tidak multitafsir) terkait mekanisme pengusulan Pokir DPRD sejak proses perencanaan sampai ke pertanggungjawabannya.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, maka Inspektorat Daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak akan mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan APBD, yang di dalamnya terdapat kegiatan Pokir DPRD.
Dosen FEB Universitas Syiah Kuala, Syukriy Abdullah