DIALEKSIS.COM | Analisis - Aceh sebagai Serambi Mekah telah mengambil langkah berani dengan menerapkan sistem keuangan berbasis syariah secara menyeluruh melalui Qanun Lembaga Keuangan Syariah Tahun 2018. Hal ini menjadikan Aceh salah satu provinsi di Indonesia yang mewajibkan seluruh lembaga keuangan beroperasi sesuai prinsip syariah. Selang beberapa tahun, upaya pengembangan sistem ekonomi syariah di Aceh terus mengalami kemajuan.
Salah satu strategi yang mendukung hal tersebut adalah pembentukan Jaminan Pembiayaan Syariah di Aceh, sebuah lembaga kredit berbasis syariah yang bertujuan untuk melindungi dan memfasilitasi perjalanan bisnis. Gagasan ini penting dan penuh pertimbangan, bahkan sampai memberi nasihat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk mengkaji rencana qanun (raqan), terutama demi mewujudkannya.
Sebagai sebuah artikel, analisis ini akan menjelaskan mengapa Jaminan Pembiayaan Syariah sangat penting bagi Aceh dan mengapa sistem hukum diperlukan untuk mewujudkannya. Dibahas bagaimana penerapan pembiayaan syariah dapat memperkuat sistem keuangan syariah Aceh, dampaknya terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta sektor produktif serta penggunaan qanun sebagai landasan hukum penerapannya. Dengan data dan dalil dari hukum Islam dan ekonomi syariah, kita akan melihat bahwa inisiatif ini tidak hanya realistis, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai syariah dan kebutuhan ekonomi rakyat Aceh.
Penjaminan Syariah, Penting?
Sejak diterbitkannya Peraturan Daerah Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, seluruh bank di Aceh telah beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Kebijakan ini menyoroti infrastruktur pendukung keuangan yang juga berbasis syariah. Lembaga Penjaminan Pembiayaan Syariah muncul sebagai salah satu elemen kunci yang akan mendukung pengembangan arsitektur syariah.
Dalam forum baru OJK Aceh, Ketua OJK Aceh menyatakan bahwa organisasi tersebut bukanlah organisasi pelengkap, dengan menyebutkan rencana strategis untuk menciptakan ekosistem inklusif bagi perekonomian daerah. Artinya, kehadiran penjaminan syariah akan melengkapi unsur yang masih kurang dalam sistem keuangan Aceh, sehingga bank syariah dan lembaga keuangan lainnya dapat beroperasi lebih optimal dan saling terhubung.
Pada dasarnya konsep penjaminan sangat mirip dengan hukum Islam. Menurut fikih muamalah, disebut juga kafalah (penjaminan) atau dhaman, mengacu pada kemampuan penjamin (kafil) untuk memenuhi kewajiban keuangan individu yang berada di bawah pengawasannya (makful ‘anhu). Landasan syar'i akad kafalah ini teguh: Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72 mengisahkan bagaimana salah satu utusan Nabi Yusuf berkata “...aku menjaminnya (mengembalikan piala raja tersebut)”. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa pengertian suatu kewajiban adalah teks yang terdapat dalam Al-Qur'an.
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda: “Al-za’imu gharimun.” “Seseorang yang memberi jaminan (kafalah) beranggungjawab memenuhinya.” Prinsip tanggung jawab penjamin sesuai syariah dituangkan dalam Hadis riwayat Ibnu Majah. Dengan kata lain, Islam mengharamkan praktik utang/piutang sebagai cara untuk memperpanjang dan melindungi hak-hak pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.
Dalam konteks saat ini, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan Fatwa No. 74/DSN-MUI/I/2009 tentang Penjaminan Syariah. Fatwa ini menjadi landasan bagi organisasi penegakan syariah di Indonesia. Penjaminan Syariah menurut DSN-MUI diartikan sebagai perjanjian para pihak berdasarkan prinsip syariah, dengan imbal jasa yang berfungsi sebagai biaya kafalah (ujrah) atas penggunaan fasilitas penjaminan tersebut di atas.
Fatwa ini juga menyatakan bahwa kepatuhan syariah hanya mensyaratkan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan hukum dan pihak-pihak yang terlibat harus dapat memenuhi kewajibannya tepat waktu. Pada dasarnya, skema penjaminan ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip berikut: hanya bisnis yang sah dan halal yang diperbolehkan, dan penjaminan didasarkan pada biaya layanan yang sesuai syariah (bukan bunga riba).
Dengan hukum dan peraturan agama yang jelas, Aceh mempunyai kemampuan untuk mendirikan organisasi pembiayaan syariah. Keberadaan tempat ini akan memastikan keamanan transaksi dan produk keuangan sesuai prinsip syariah serta menjaga integritas praktik keuangan Islami. Ia melakukan "penjaga keamanan" untuk bank Islam, menawarkan perlindungan dan bantuan kepada bank dan Nasabah.
Akibat kemampuan memitigasi risiko, stabilitas sistem keuangan syariah akan memburuk. Yang penting, kepatuhan syariah akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Masyarakat dan investor semakin yakin bahwa skema penjaminan yang halal dan dapat dipercaya akan melindungi uang mereka dan setiap investasi yang dilakukan.
Singkatnya, Jaminan Pembiayaan Syariah di Aceh bukan semata-mata instrumen finansial, melainkan penopang struktur ekonomi Islam di daerah ini. Ia menjelaskan konsep Islam ta'awun (tolong-menolong), di mana masyarakat umum terus-menerus berada dalam risiko saling menyakiti. Dengan mendukung organisasi-organisasi terkait syariah, Aceh memudahkan mereka untuk mendukung sistem keuangan yang stabil, adil, dan berbasis Islam.
Dampak bagi UMKM dan Sektor Produktif
Kelompok yang paling terkena dampak dari adanya pembiayaan syariah adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta sektor produktif seperti pertanian, perikanan, perkebunan, bahkan pertambangan rakyat. Sektor-sektor tersebut diketahui rentan dan mempunyai risiko tinggi, sehingga akses mereka terhadap pembiayaan menjadi terbatas. Bank sering memberikan kredit atau pembiayaan kepada UMKM kecil yang tidak memiliki kemampuan agunan, atau kepada petani dan nelayan yang pembayarannya tidak memuaskan. Hal ini disebut sebagai kegagalan pasar dalam sistem keuangan. Pasar gagal menjangkau kelompok ini karena risiko terjadinya.
Lembaga penjaminan hadir untuk menyikapi kondisi yang berlaku di pasar. Melalui skema penjaminan syariah, UMKM yang prospektif tetapi kekurangan jaminan bisa mendapatkan akses pembiayaan karena ada pihak penjamin yang akan menanggung risiko gagal bayar sebagian. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, perbankan atau lembaga keuangan akan lebih percaya diri terhadap kemampuannya dalam memberikan kredit kepada calon pemilik usaha jika memiliki Jamkrida (Jaminan Kredit Daerah) Syariah.
Ketika nasabah gagal, terdapat risiko kerugian finansial yang signifikan. Bagi pemilik usaha, skema ini memberikan rasa aman dan perlindungan dalam memajukan usahanya. Jika suatu perusahaan mengalami kendala, mereka dapat tumbuh dengan kepercayaan diri yang lebih besar tanpa harus khawatir akan hilangnya setiap aset.
Data empiris menunjukkan betapa pentingnya lingkungan ini. Menurut OJK, 70% UMKM masih memerlukan akses terhadap sektor keuangan; Artinya, sekitar 30% diantaranya berpendidikan formal. Di Aceh, perbankan syariah seperti Bank Syariah Indonesia (BSI) dan Bank Aceh Syariah sudah menyalurkan triliunan rupiah untuk UMKM, namun jangkauannya masih dapat ditingkatkan.
Hingga Maret 2024, BSI di Aceh telah menyelesaikan pembiayaan UMKM sebesar Rp8,43 juta kepada 108.029 Nasabah. Jumlah ini memang signifikan, namun jika dibandingkan dengan seluruh penduduk bekerja di Aceh, terdapat peningkatan yang signifikan. Menurut data internal BSI Institute, Aceh memiliki sekitar 914 ribu wirausaha muda, namun ada juga beberapa usaha kecil yang terlibat dalam pembiayaan. Hal ini serupa dengan Bank Aceh Syariah yang juga mencakup KUR Syariah dan usaha mikro lainnya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa persentase investasi UMKM baru di Aceh mencapai 27% dari total portofolio untuk kuartal pertama tahun 2025, yang masih di bawah target minimal 40% yang tercantum dalam qanun. Hal ini disebabkan oleh keengganan dan kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit tanpa mengenakan biaya yang signifikan. Lembaga Penjaminan Syariah Aceh akan membantu menurunkan target UMKM menuju 40%.
Menurut skema penjaminan, bank lebih sering mengalihkan dana ke sektor-sektor produktif seperti peternakan, pertanian, UMKM pangan, industri kreatif, dan sektor-sektor lain yang berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi masyarakat umum.Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Departemen Penjaminan OJK Pusat, keberadaan LPPD Syariah Aceh akan mendukung program Kredit Usaha Rakyat (KUR), pembiayaan klaster, hingga pemberdayaan perempuan dan pemuda produktif di pedesaan. Artinya, skema ini tidak hanya menjamin pembiayaan individu usaha, tapi bisa menggerakkan program pembangunan ekonomi yang inklusif.
Contoh konkret peran penjaminan sudah terlihat dalam program KUR Syariah. Selama ini, penjaminan KUR Syariah bagi bank-bank di Aceh ditangani oleh perusahaan penjaminan nasional seperti PT Jamkrindo Syariah atau PT Askrindo Syariah. Misalnya, Askrindo Syariah mencatat bahwa hingga September 2024, nilai kafalah (penjaminan) mereka untuk nasabah Bank Aceh Syariah tumbuh 9,26% (year on year), dengan jumlah UMKM terjamin 2.044 nasabah melonjak dari 798 nasabah di tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ini sebagian besar disumbang oleh penjaminan KUR Syariah dan pembiayaan proyek, menandakan dukungan penjaminan mampu mendorong ekspansi pembiayaan. Dengan adanya lembaga penjaminan daerah, kerjasama semacam ini bisa lebih ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Aceh bisa mengarahkan skema jaminan ke sektor-sektor unggulan daerah (misal perkebunan kopi, perikanan laut, kerajinan, dll) agar lebih banyak UMKM yang tercover.
Pada gilirannya, dampak ekonomi yang diharapkan adalah munculnya lebih banyak wirausaha baru dan berkembangnya usaha-usaha kecil di Aceh. Masyarakat akan lebih mudah mendapatkan modal usaha dengan biaya yang terjangkau. Pertumbuhan UMKM berarti penyerapan tenaga kerja lokal meningkat, pendapatan rumah tangga naik, dan tingkat kemiskinan berkurang. Bahkan, DPRA optimistis bahwa Lembaga Penjaminan Pembiayaan Syariah Aceh nantinya dapat memberikan dividen untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui skema bagi hasil dan keuntungan BUMD penjaminan ini, Aceh bisa mengurangi ketergantungan pada dana transfer pusat. Singkatnya, efek multiplier dari penjaminan syariah akan terasa luas: UMKM tumbuh, sektor produktif bergairah, ekonomi daerah meningkat, dan kesejahteraan rakyat terangkat.
Qanun sebagai Landasan Hukum Implementasi
Bagaimanapun, Gagasan membutuhkan aturan hukum yang kokoh yang dapat diabaikan dan dijalankan. Qanun adalah kata yang tepat untuk itu di Aceh. Qanun tidak hanya berfungsi sebagai regulator daerah tetapi juga sebagai manifestasi semangat Aceh dalam mengintegrasikan hukum Islam ke dalam kebijakan publik. Pendirian, operasional, dan pengawasan lembaga penjaminan tersebut harus ditangani secara khusus oleh Jaminan Pembiayaan Syariah.
DPRA sendiri telah menyatakan situasi mengenai kecepatan pembentukan Lembaga Penjaminan Pembiayaan Daerah (LPPD) Syariah di Aceh. Hal ini dijelaskan dalam forum strategis Juli 2025 yang melibatkan DPRA, OJK, dan pemerintah Aceh, di mana inisiatif berbasis syariah dilakukan bersamaan dengan implementasi Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang LKS.
Menurut badan legislatif Aceh, sudah ada komitmen politik bahwa Qanun LKS harus sesuai dengan undang-undang turunan yang membangun infrastruktur untuk pembangunan, termasuk pembentukan lembaga penjaminan. “Ini merupakan rencana jangka panjang untuk meningkatkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian daerah,” kata Khairil Syahrial, Ketua Komisi II DPRA. Ucapan ini menegaskan visi bahwa qanun penjaminan syariah akan menjadi pijakan bagi Aceh meningkatkan kemandirian finansial dan keberpihakan pada perekonomian rakyat kecil.
Pemerintah Aceh dapat membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus untuk pemenuhan syariah melalui qanun. Qanun akan mencantumkan nama organisasi (dikenal sebagai Jamkrida Syariah Aceh atau nama lain), modalitas dasar dan pemerintah, prosedur pendaftaran, pemantauan syariah, dan koordinasi dengan regulator (OJK) dan DSN-MUI. Tujuan landasan hukum ini adalah untuk menjamin operasional lembaga penjaminan mempunyai legitimasi dan kepastian.
Misalnya, Undang-Undang No.1 Tahun 2016 tentang Penjaminan mengatur bahwa pendirian perusahaan penjaminan wajib mendapat izin OJK dan memenuhi syarat permodalan tertentu. Tentu saja Qanun Aceh harus berpegang teguh pada UU tersebut dengan tetap menghormati adat istiadat setempat dan syariah. Dengan qanun, Aceh dapat menetapkan bahwa seluruh kegiatan penjaminan wajib mengikuti fatwa DSN-MUI (seperti fatwa kafalah bil ujrah) dan berada di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah, sehingga integritas syariahnya terjamin.
Qanun juga akan menjadi landasan untuk mengintegrasikan program ini dengan peraturan daerah. Misalnya, Aceh memiliki Qanun Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengembangan UMKM. Menurut Qanun Penjaminan Syariah lahir, kedua undang-undang tersebut dapat diringkas sebagai berikut: UMKM Aceh tidak hanya dilindungi dan dibatasi, tetapi juga dilarang mengakses layanannya. Demikian pula, qanun tersebut bisa mengatur insentif atau skema khusus, misalnya subsidi imbal jasa kafalah untuk UMKM tertentu, sehingga biaya penjaminan tidak memberatkan pelaku usaha mikro. Tak ayal, terobosan-terobosan seperti ini dilakukan karena belum ada payung hukumnya.
Yang penting, qanun keberadaannya akan menunjukkan profesionalisme dan keandalan perusahaan yang dikontrak. Dengan kata lain, OJK Aceh menekankan pentingnya LPPD syariah ditangani secara profesional, kekeluargaan, dan sesuai prinsip syariah. Hal ini dapat dijelaskan dalam qanun tersebut melalui pasal tentang transparansi, pengelolaan, dan koordinasi dengan TPAKD (Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah) Aceh. Dengan payung hukum yang jelas, semua pemangku kepentingan DPRA, Pemerintah Aceh, OJK, perbankan, hingga ulama memiliki peran dan tanggung jawab dalam mengawali lembaga penjaminan syariah tersebut.
Singkatnya, qanun adalah landasan Jaminan Pembiayaan Syariah Aceh. Ibarat bangunan, qanun ini akan menjadi landasan agar dapat berdirinya organisasi penjaminan yang berdiri tegak dan panjang. Isiatif mulia ini tidak sekedar wacana, artinya akan terlaksana dengan baik dan memberikan kemanfaatan yang jelas. Qanun penjaminan syariah akan memperkuat regulasi keuangan Aceh, mengutip Qanun LKS 2018 yang mengawali transformasi signifikan tersebut. Mengingat hal ini, Aceh sekali lagi menyoroti kemajuan yang dicapai dalam inovasi kebijakan berbasis syariah di Indonesia.
Penutup
Ide pembentukan Jaminan Pembiayaan Syariah di Aceh dan rencana pembentukan qanunnya merupakan langkah progresif yang parutiasi dan didukung oleh semua pihak. Pembiayaan syariah bukanlah sebuah konsep keuangan yang sederhana; melainkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam praktik perekonomian kontemporer: terdapat unsur solidaritas, keadilan, dan tolong-menolong di dalamnya.
Lembaga penjaminan syariah akan menjadi elemen baru yang memperkuat sistem keuangan syariah yang sudah dibangun di Aceh. Dengan begitu, UMKM dan sektor produktif bisa lebih memahami nilai uang. Karena adanya jaminan yang melindungi mereka dan bank, pemilik usaha kecil di Aceh mungkin akan lebih mudah menyelesaikan proyek mereka.
Dari perspektif ekonomi daerah, penjaminan syariah adalah investasi jangka panjang. Tenaga kerja dan PDRB akan mendapatkan manfaat dari UMKM yang berkembang berdasarkan akses terhadap pembiayaan. Dengan lingkungan pembiayaan berskala besar yang memfasilitasi penjaminan, industri pertanian, perikanan, dan halal di Aceh dapat tumbuh lebih cepat. Pemerintah daerah mungkin dapat menjembatani kesenjangan finansial dan sosial dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia bawah dan memperoleh daerah dari BUMD penjaminan. Manfaat utamanya adalah untuk meningkatkan perekonomian sekaligus mengedepankan syariat.
Namun, semua dampak positif tersebut hanya bisa terwujud jika ada pedoman hukum atau qanun yang jelas. Qanun inilah yang akan menjadi kunci membuka gerbang implementasi gagasan tersebut. Oleh karena itu, ketepatan waktu dan kewaspadaan legislatif-eksekutif di Aceh dalam menafsirkan Qanun Jaminan Pembiayaan Syariah menjadi sangat penting. Seperti yang Anda lihat, DPRA bersama OJK dan pemerintah Aceh telah berhasil memperlambat laju pembangunan. Masyarakat perlu memahami proses ini, memberikan kritik yang membangun, dan meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu terkait syariah.
Sebagai penutup, penting diingat bahwa ikhtiar membangun ekonomi syariah Aceh adalah bagian dari ibadah kolektif kita untuk memakmurkan bumi Aceh sesuai tuntunan Allah SWT. Dengan adanya Jaminan Pembiayaan Syariah yang berlandaskan qanun, insya'Allah Aceh lebih dari mampu mengatasi permasalahan perekonomian secara adil, wajar, dan inklusif bagi seluruh kelompok masyarakat. Saat ini, Aceh memiliki Qanun Jaminan Pembiayaan Syariah baru yang menjadi landasan kemakmuran ekonomi daerah yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Wallahua’lam bisshawab.
Penulis: Ratnalia Indriasari.Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif