Membaca Proyeksi Masa Depan PNA
Font: Ukuran: - +
Oleh Aryos Nivada
DIALEKSIS.COM - Proyeksi jika diartikan berdasarkan standar pengertian umum yaitu kondisi/keadaan yang terjadi masa akan datang dengan membaca kondisi saat ini berdasarkan mother information terdiri data, informasi, pengetahuan, dan wisdom.
Dalam melakukan proyeksi harus diingat, bahwa kemampuan membaca tanda-tanda masa depan sangat tergantung informasi dan data serta daya analisis. Namun tidak menutup kemungkinan kalau apa yang diproyeksikan terkadang meleset, dikarenakan dinamika dan variabel X menjadi penyebab perubahan proyeksi. Ketidaklinearan (keanomalian) atas bangunan proyeksi yang dibuat disebabkan karena peran aktor kuat mampu mengubah keadaan, pengaruh sikap pragmatis dan oportunis, dan lain-lain.
Memahami lebih dalam proyeksi akan memudahkan bagi siapa pun melihat apa yang terjadi beberapa tahun yang akan datang. Dimensi dari proyeksi dibatasi pada waktu jangka pendek satu tahun atau dua tahun serta jangka panjang lebih dari dua tahun. Basis membuat skenario proyeksi dibagi ke dalam kondisi buruk (worst case), kondisi normal (normal case), dan kondisi terbaik (best case). Untuk masing-masing kondisi tersebut dibuat kriteria keadaan yang dapat diamati dan terukur.
Objek yang dijadikan fokus dalam tulisan ini memproyeksikan sebuah partai lokal bernamakan Partai Nanggroe Aceh (PNA-red). Sebelumnya partai ini bernama Partai Nasional Aceh, bertransformasi menjadi nama baru dikarenakan tidak lolos electoral threshold. Partai ini lahir dari perpecahan di tubuh inangnya yaitu Partai Aceh. PNA terbentuk pada tanggal 24 April 2012 dengan nama lama, kemudian 2 Mei 2017 berganti menggunakan nama baru.
Kehadiran partai PNA dan partai lokal lainnya, seperti Partai Aceh, Partai Daerah Aceh dalam istilah kerennya bentuk keanomalian politik nasional yang melahirkan terobosan bentuk perpolitikan baru secara nasional, walaupun tidak baru sekali karena dahulu di Pemilu 1955 ada kehadiran partai lokal.
Harus dipahami gempita politik (eforia) telah membawa kalangan elit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kombatan partai baru tersebut. Mereka-mereka yang mendirikan partai jebolan dari Partai Aceh, dimotori oleh Irwandi Yusuf, Teungku Mukhsalmina (alias Irwansyah), Muharram Idris (mantan Ketua KPA Aceh Rayeuk), Ligadinsyah (mantan juru bicara Partai Aceh/mantan Panglima GAM Linge), Amni bin Ahmad Marzuki (mantan juru runding GAM), serta dari kalangan civil society yaitu Tarmizi, Lukman Age dan Thamren Ananda. Jika lihat dari komposisi pendiri partai, bisa disebut mereka "GAM Muda", karena kalangan tua (GAM Tua) berada di Partai Aceh.
Jika mencermati tren perkembangan PNA sebagai sebuah partai lokal menunjukkan positif. Dilihat dari pilihan alternatif masyarakat Aceh, partai ini pun mendapatkan tempat di hati masyarakat Aceh, yang dibuktikan dengan perolehan kursi pada pemilu.
Pada keikutsertaan pertama kali di Pemilu 2014 keterwakilan kader PNA di parlemen Aceh 3 orang (kursi), namun bertambah menjadi 6 orang di DPR Aceh pada Pemilu 2019, meliputi; Dapil 1 (Darwati A Gani), Dapil 2 (M. Falevi Kirani), Dapil 3 (Samsul Bahri dan Tgk. Haidar), Dapil 9 (Safrizal), dan Dapil 12 (Mukhtar Daud). Artinya penerimaan masyarakat Aceh atas keberadaan PNA mendapatkan hati terkhusus yang tidak bisa digantikan oleh partai lain. Terlepas kadernya melakukan tindakan strategi segala macam cara, tetapi pemberian suara salah satu ukurannya.
Menelisik lebih jauh diakui atau tidak diakui jelas pengaruh "Irwandi Effect" tidak memberikan signifikan suara bagi partai yang didirikannya. Ternyata pengaruh kader (caleg) sendirilah yang memperjuangkan agar terpilih pada pesta demokrasi Pemilu.
Logika politik sederhananya, waktu ketika Pemilu keterlibatan Irwandi Yusuf sama sekali tidak ada, hal ini disebabkan Irwandi sedang bermasalah secara hukum. Kilas balik, waktu Irwandi Yusuf masih memegang kekuasaan membentuk partainya serta ikutserta pada Pemilu 2014, faktanya hanya mampu mendapatkan tiga orang perwakilan di parlemen.
Artinya keterlibatan Irwandi pada saat itu tidak memberikan maksimal perolehan kursi PNA, walaupun digaung-gaungkan pengaruh figur (sosok) Irwandi, logistik finansial yang banyak, tim yang masih bersemangat tidak berbanding lurus dengan harapan akan banyaknya kursi yang didapatkan di parlemen (DPRA).
Seiring perkembangan dan dinamika yang terjadi secara kelembagaan partai, kondisi kekinian PNA mengalami turbulensi internal yang kuat. Ditandai terjadinya dualisme kepemimpinan ketua umum PNA yang saling klaim sah di mata hukum, kubu Samsul Bahri (Tiyong) Cs dan kubu Irwandi Yusuf Cs.
Sehingga memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana proyeksi PNA sebagai sebuah partai lokal ke depannya? Apakah berdampak negatif secara kepartaian ataukah mengubah pola pengelolaan partai secara signifikan. Menjabarkan itu semua akan dibagi ke tiga dimensi proyeksi, dimulai dari kondisi terburuk, normal, dan terbaik.
Kondisi Terburuk
Makna terburuk, sudah bisa kita bayangkan di pikiran kita, artinya rusak, kacau, dan tidak bermanfaat. Jika dikaitkan dengan perpecahan di tubuh PNA ketika tidak mampu keluar dari zona konflik, maka bisa dipastikan kondisi terburuknya berpotensi terjadi ke depannya antara lain, pertama; sesama elit PNA akan terjebak pada konflik internal yang menguras energi besar sehingga melupakan visi misi, peran dan fungsi mendasar melayani konsistuennya.
Kedua; PNA akan lupa merawat basis konsistuen dan memperjuangkan kepentingan publik masyarakat Aceh. Kondisi terburuk ketiga adalah PNA akan ditinggali oleh pemilih tetapnya karena mempertontonkan hausnya kekuasaan sesama kader partai PNA.
Tidak tertangani dengan serius konflik di internal PNA akan mempengaruhi seluruh tatanan kelembagaan partai. Perselisihan berujung konflik internal selalu berujung berpekara di pengadilan. Belum lagi lanjutan mekanisme hukumnya ke tingkatan kasasi.
Hal ini sudah terbukti, dimana Irwandi Yusuf menganggap dirinya masih sah selaku ketua umum partai PNA. Konflik internal PNA sama halnya dialami oleh parpol-parpol lainnya seperti PDIP, Golkar, Partai Demokrat, dll.
Kalau kita baca kondisi buruk di kelembagaan PNA sebagai sebuah partai, jika menggunakan pemikiran Anton Djawamaku (2005, hal 126-127) berjudul "Perpecahan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik", perpecahan yang menghasilkan konflik buruk di internal partai dikarenakan faktor kepemimpinan yang tunggal dan tersentralistik, serta manajemen kepartaian yang buruk.
Hal itu terbukti terlalu kuatnya figur Irwandi Yusuf telah mematikan kaderisasi di tubuh partainya sendiri. Sementara itu kader yang memiliki kualifikasi layak memimpin partai PNA tidak pernah disiapkan sebagai calon pengganti dirinya kelak sebagai ketua umum PNA.
Kesimpulan pada kondisi terburuk yaitu kegagalan PNA melakukan tindakan manajemen penyelesaian konflik yang mengakibatkan pengaruh pada tatanan kelembagaan partai. Kegagalan kedua adalah tidak terjadinya revitalisasi dan reformasi sekaligus regenerasi figur petingginya yang menjadi simbol institusi partai PNA.
Ketika konflik buruk mampu dikelola dan diselesai, maka berdampak positif bagi PNA. Ini masuk ke dalam proyeksi kondisi terbaik. Kondisi ini akan dijabarkan penjelasannya secara komprehensif setelah menjelaskan proyeksi kondisi normal terlebih dahulu.
Kondisi Normal
Ada tesis yang mengatakan keadaan bisa tetap normal, jika secara kelembagaan partai menjalankan sistem manajemen dengan mengedepankan penerapan regulasi dan peraturan yang mengatur tata kelola kelembagaan partai politik secara tegas.
Jadi walaupun konflik elit mengguncang internal partai politik, roda kelembagaan partai tetap berjalan on the track karena semua sudah diatur dalam sistem yang baku berdasarkan regulasi dan peraturan yang mengaturnya.
Catatan lainnya lagi kelembagaan partai dapat memisahkan dan memberikan batasan tegas antara sistem manajemen kepartaian dengan konflik elit di semua partai.
Keadaan di internal kelembagaan partai tetap normal, walaupun konflik terjadi, bila manajemen kepartaian berjalan baik peran dan fungsinya. Kondisi ini berat dipraktekan dalam logika politik yang baku, tidak mungkin suatu partai tidak memiliki pengaruh berat, manakala di internalnya terjadi konflik.
Jika membaca konflik internal PNA bukanlah hal yang normal, tetapi abnormal. Kenapa, dikarenakan terjadi ketika bertubi-tubi masalah yang dihadapi PNA selaku partai lokal, mulai dari masalah ketua umumnya terjerat kasus hukum hingga dualisme kepemimpinan. Kesimpulannya, kondisi normal tidaklah terjadi di kelembagaan PNA.
Kondisi Terbaik
Konflik melanda di internal PNA harus dibaca dalam kerangka berpikir positif yaitu perpecahan elit melahirkan dualisme kepemimpinan bagian dari transformasi PNA secara kepartaian. Dari partai berbasis figur menuju ke partai berbasiskan kaderisasi dan modern. Bisa dibilang bagian dari dinamika berdemokratis. Ketika berhasil keluar dari jeratan konflik elit dan mampu meredam, maka bisa dipastikan PNA akan menjadi partai lokal besar.
Partai besar memiliki konsistensi sekaligus mampu menjalankan sistem partai berbasis kaderisasi dan modern, hal ini dibutuhkan dalam tuntutan era ke depannya. Partai berorientasi kepada figur akan cenderung mengalami perpecahan di internal, karena mengusung sosok.
Jika PNA mampu melepaskan bayang-bayang sosok Irwandi Yusuf dan berhasil membangun pondasi baru dengan mengusung dua hal itu, maka berpeluang besar PNA akan menjadi partai lokal yang besar. Kalau serius bekerja untuk memperjuangkan kepentingan kelokalan Aceh serta membangun hubungan harmonis dengan pemerintah pusat.
Berhasil melalui konflik internal yang melanda PNA saat ini, semakin menunjukkan kematangan partai secara kelembagaan dalam menyesuaikan setiap kondisi atas masalah yang dihadapi.
Terpenting setelah berhasil menyelesaikan konflik yang mendera PNA, maka reformasi (pembenahan) wajib menjadi agenda utama menata kembali kelembagaan partai PNA. Penataan partai mulai dari visi dan misi, manajemen, dan strategi meraih hati masyarakat Aceh.
Bila itu semua mampu dilaksanakan, maka eksistensi partai lokal lainnya seperti Partai Aceh mampu digusur PNA. Karena saat ini Partai Aceh masih bertumpuh kepada partai sosok yaitu Muzakir Manaf (Mualem). Jangan sampai kondisi terbaik tidak mampu diraih, dikarenakan kemelut konflik PNA sangat parah, maka tidak jauh berbeda dengan partai-partai lainnya tenggelam dalam eranya.
Catatan penting untuk semua partai lokal, tidak hanya PNA, tetapi partai lainnya seperti Partai Aceh, Partai SIRA, dan Partai Daerah Aceh, harus serius memperjuangkan isu-isu lokal serta kepentingan masyarakat Aceh dalam semua aspek baik pendidikan, kesehatan, pembangunan, kesejahteraan, dll.
Partai lokal harus cekatan merespon setiap masalah di internal agar mampu diselesaikan dengan cepat sehingga tidak berdampak menyeluruh secara kelembagaan partai.
Ada tiga aspek penting dari sebuah partai lokal, aspek soliditas massa, ideologi, kaderisasi (kepemimpinan). Artinya, hanya partai-partai yang kuat dalam tiga basis itulah yang akan unggul dalam setiap era (zaman) dan kekuasaan.()
Penulis adalah Peneliti Jaringan Survei Inisiatif dan Dosen FISIP Unsyiah