kip lhok
Beranda / Analisis / Membaca 'Politik Likok' Aceh Selatan

Membaca 'Politik Likok' Aceh Selatan

Sabtu, 13 Januari 2018 23:57 WIB

Font: Ukuran: - +


Aceh satu satunya provinsi yang tidak terputus pesta demokrasinya. Sudah melalui Pilkada 2017, tahun ini 2018 kembali melangsungkan Pilkada untuk tiga kabupaten/kota, yaitu Aceh Selatan, Pidie Jaya, dan Subulussalam. Pilkada di tiga kabupaten ini sebagai sisa karena saat pilkada lalu, masa periode pemerintahan belum finis. Pernak-pernik pilkada di Aceh Selatan itu, kami sajikan secara khusus. Aryos Nivada, pemerhati Politik dan Keamanan Aceh menulis "Membaca Politik Likok" yang dirangkum dalam tulisan analisis berikut.

 ====================

Menelisik politik lokal khususnya Pilkada di Aceh Selatan, memilki keunikan dan karakter tersendiri. Maka strategi politik yang dimainkan haruslah mampu beradaptasi dan simetris dengan dinamika masyarakat. 

Ciri unik gaya politik di Aceh Selatan, terutama prilaku elit politik yang sulit untuk diraba itu tergambar dalam pitutur rakyat, "likok pulo pusing plumat, haba mangat di sama dua." Pribahasa ini secara sederhana dapat dimaknai sebagai strategi "jurus melingkar" dalam berpolitik.  

Sebuah isyarat bahwa tujuan akhir politik bagi masyarakat Aceh Selatan tidak mesti melalui garis lurus, karena gampang dideteksi, dihadang dan dipatahkan. Politik justru memerlukan strategi mengecohkan. Yang penting tujuan tercapai, dan hasilnya untuk kemakmuran rakyat. Bila dianalogi dalam seni tari, seperti tarian salsa yang berkelebat, gemulai, melengkung, melingkar yang buat penonton tersihir menyaksikannya. 

Dari hasil penelurusan dan berbagai informasi, menunjukkan dinamika politik masyarakat di kota Naga itu, sangat dipengaruhi beberapa factor. Di antaranya, faktor wilayah (teritoria), pengaruh ulama, dan strategi yang dimainkan para kandidat untuk mendapatkan dukungan. 

Pengaruh wilayah, dapat diamati sepanjang perjalanan proses demokrasi dalam setiap moment (baik pilkada maupun pemilihan legislative). Seorang kandidat yang memiliki modal social (kaum) yang besar, sangat berpeluang untuk mendapatkan dukungan dan menang. Karenanya, sentiment wilayah selalu digunakan para eliet politik "kandidat bupati/wakil bupati" dalam strategi menjaring pendukung. Gilirannya, hampir sepanjang pesta politik berlangsung di daerah itu selalu muncul fragmentasi kapling-kapling politik wilayah. Seperti munculnya Kluet Raya Bersatu, Labuhan Haji Raya Bersatu, dan Meukek dan Sawang Bersatu, dan lain-lain.

Tidak soal apakah kandidat itu berkualitas atau tidak, sekolah atau tidak. Yang penting, ia banyak kaum maka dialah berpeluang menang. Sehingga aspek-aspek kualifikasi seperti tingkat pendidikan, integritas, bermoral, merakyat dan lainnya bukan menjadi jaminan untuk dapat terpilih.

Masih terjebak pada sistem politik kapling itu, telah ‘menafikan" aspek-aspek kualitas dan rekam jejak pilihan atas seseorang pemimpin. Justru perrtimbangan logisnya adalah berapa jumlah penduduk dan ego sentris kewilayahan yang bisa dimainkan.

Pengaruh politik wilayah telah berdampak pada kandidat yang punya kualifikasi personal lebih baik, harus berpikir turun untuk bertarung. Padahal, sejatinya dalam demokrasi, politik bukan hanya sekadar meraih kekuasaan, akan tetapi dapat memberikan pendidikan dan pencerdasan politik rakyat untuk tujuan bersama.

Value Political movement (gerakan politik nilai) seharusnya dapat menjadi gerak politik para kandidat yang bertarung. Karena di sinilah tanggungjawab politik yang penting dipraktikan. Dan gerakan politik "wilayah" yang terlalu dominan telah berdampaknya terpecah dan terseraknya kekuatan rakyat, karena hanya dengan melihat pada populasi penduduk semata.


Penduduk Tetap Aceh Selatan

Jika merujuk pada data jumlah pemilih tetap di Aceh selatan berdasarkan DPT terakhir pada Pilgub Aceh 2017, adalah sebanyak 153.073 orang. Terdiri dari 74.516 orang pemilih laki-laki, dan sebanyak 78.557 orang pemilih perempuan yang tersebar di 260 Gampong dalam 18 kecamatan dengan jumlah TPS sebanyak 381 unit.

Bila dibagi DPT 2017 berdasarkan gugus daerah dengan istilah wilayah Kluet Raya Bersatu, dapat diperoleh jumlah DPT per wilayah, masing-masing Kluet Selatan 9.659 DPT, Kluet Tengah 4.801, Kluet Timur 6.864, Kluet Utara 16.719, dan Pasie Raja (pemekaran Kluet Utara) 11.06. Jumlah keseluruhan untuk wilayah Kluet Bersatu sebanyak 39.149 pemilih. Sementara akumulasi DPT Labuhan Haji Raya Bersatu -- lepas dari adanya pengakuan atau tidak, total 28.706 DPT -- Jumlah tersebut suatu potensi yang sangat diperhitungkan.

Strategi politik jurus "sentiment kaum" sebenarnya sering mengalami multiefek social masyarakat. Misal, adanya beberapa kandidat yang diusung berasal dari satu gugus wilayah (misalkan Kluet Raya Bersatu), sehingga membuat pilihan menjadi terpecah. Ini juga berimbas terseraknya relasi social masyarakat akibat beda pilihannya. Tentu saja kondisi itu menjadi cela yang menguntungkan pihak lawan -- sebenarnya secara potensi jumlah penduduk wilayah yang mendukungnya sedikit -- dapat menimbah suara pemilih yang bersatu.

Dari pengalaman beberapa moment Pilkada di Aceh Selatan, banyak kandidat yang muncul yang didasarkan pada politik wilayah. Dari Kluet Raya Bersatu, antara lain Karman, Darman, Harmaini, Tgk Husin Yusuf, dan lain-lain. Di wilayah Labuhan Haji Raya Bersatu memunculkan sosok Zulkarnaini, Mirwan, dll. Sementara dari wilayah Meukek dan Sawang menjadi terpecah karena muncul dua kandidat, yaitu Teuku Sama Indra dan Azwir. 

Dari realitas obyektif itu, dapat disimpulkan, dalam logika politik rational, sebenarnya pengaruh wilayah tidak memberikan efek signifikan untuk bias memenangkan pertarungan. Pengaruh interaksi langsung membangun ikatan emosional dan menggugah simpatik dan empatik masyarakat, peluang para kandidat meraih kemenangan terbuka lebar.

Faktor segregasi di dalam kewilayahan juga mempengaruhi, seperti adanya kesamaan aliran dalam organisasi keagamanan, khususnya antara Perti dan Muhamadiyah. Bahkan interaksi lingkungan mampu membuat friksi didalam semakin menguak. Misal, antara Labuhan Haji Timur dengan Labuhan Haji Barat dan Tengah kurang begitu melekat secara relasi emosional dan kedekatan. 

Lazimnya , bacaan politiknya Kluet Raya Bersatu melawan Meukek dan Sawang, akan tetapi bacaan kekinian tidak begitu lagi. Representatif wilayah memunculkan sosok yang membuat suara pemilih menjadi pecah. Diasumsikan jikalau sosok dari Labuhan Haji Bersatu tidak kuat, maka sangat menguntungkan bagi calon di luar wilayah tersebut untuk menjaring suara pemilih. ***


Politik "Tengku" 

Ulama menjadi salah satu pilar yang menentukan arah politik dalam kontek politik siasah. Ini juga berlangsung dalam proses pilkada, termasuk Pilkada di Aceh Selatan. Bahwa pengaruh ulama masih sangat menentukan, untuk menggiring rakyat menentukan pilihan mereka. 

Kepahaman dan ketakziman atas predikat ulama masih begitu kuat dan kental dalam ranah social masyarakat di Aceh, khususnya di Aceh Selatan. Inilah kemudian selalu dimanfaatkan para kandidat yang bertarung dalam setiap Pilkada. Strategi politik "teungku" agar bisa digiring sehingga memberi dukungan terhadap kandidat bersangkutan. Konon lagi bila ulama yang berhasil digaet itu memiliki charisma dan pengikut yang besar. Maka semakin besar pula peluang bagi kandidat mendapatkan suara pemilih. 

Itulah yang diingatkan seorang ulama Aceh, Nuruzzahri "Politik Ulama dan Ulama Berpolitik (Serambi, 30 Mei 2016)". Menurutnya, ulama berpolitik berarti para ulama atau tokoh-tokoh agama terjun langsung dalam politik praktis dengan menjadikan agama sebagai mesin politiknya. Di engah-tengah proses itu, para ulama tidak lagi menjadi pihak yang memiliki pengaruh penting. Ulama pun tidak mau terlalu jauh melibatkan diri ke dalam proses pemilihan karena ada anggapan luas bahwa ulama yang berpolitik tidak lagi bisa dikatakan ulama. (Willy Purna Samadhi, http://politiklokal.fisipol.ugm.ac.id/, 29 OKTOBER 2017). 

Selain pengaruh ulama, dalam dinamika politik Pilkada di Aceh Selatan, adalah keberadaan basis konsistuen dari masing-masing partai politik hasil Pileg 2014. Hitung-hitung di atas kertas jelas paket pasangan T. Sama Indra dan Harmaini unggul basis suara sebesar 60 persen konsistuen dari gabungan partai pengusung sebanyak 15 kursi dari 7 partai pengusung (Demokrat 5 kursi, PPP 3, PAN 3, Golkar 1, Gerindra 1, Nasdem 2, PKS).

Di posisi kedua, pasangan Mirwan dan Zirhan diusung tiga partai pengusung terdiri dari; Partai Aceh (5), PKPI (4), dan PBB (1) di persentasekan 40 persen akumulasi suara pemilih partai pengusung. Paket kandidat terakhir yang diusung oleh partai politik PNA (1), Hanura (2), PDIP (1), PKB (1), dan PDA adalah pasangan Azwir dan Tgk Amran sebesar 20 persen akumulasi suara konsistuen partai. 

Menjadi catatan, dalam pesta demokarasi, bahwa konsistuen partai tidak linear terhadap pilihan pemilih. Ini bila merujuk dari perjalanan pesta demokrasi Pilkada beberapa waktu lalu yang lebih dominan melihat sosok kandidat, bukan pada dukungan partai.  

Meskipun pengaruh partai tidak dinafikan, namun tidaklah menentukan apalagi menjamin, kandidat yang disusung partai tersebut dapat meraih suara mutlak dari pemilih. Boleh jadi juga akibat melunturnya kepercayaan rakyat selama ini kepada politik partai.

Suara partai semakin tidak berpengaruh signifikan ketika hadir calon independent di Pilkada Aceh Selatan. Karena tidak boleh dipandang sebelah mata dengan calon dari jalur perseorangan/independen. Untuk kandidat independen dalam Pilkada 2018 Aceh Selatan, muncul empat pasangan calon. Masing-masing pasangan H. Karman/ H. Afdhal Yasin, Drs. H. Zulkarnaini/ M Jasa, dan Darman/ Baital Makmur. ***

Siapa yang menang dia yang lebih piawai. Yang jelas pendekatan politik "sentiment wilayah" tidak lagi pendekatan yang relevan dengan kondisi obyektif masyarakat saat ini di Aceh Selatan. 

Mungkin strategi "dari pintu ke pintu" atau gampong to gampong masih dianggap mangkus bisa mendapatkan dukungan, minimal simpati, sehingga tidak akan mengganggu kandidat tersebut, bila dia sudah memiliki pilihan lain. Apalagi kandidat bersangkutan lihai memainkan branding-branding politik, merekrut tokoh atau personal yang berpengaruh. Tentu saja cost politik menjadi factor untuk memuluskan semua usaha tersebut. 

Sekali lagi, siapa yang menang, dialah yang lebih piawai. Maka mempelajari kelemahan lawan adalah satu cara bias memenangkan pertarungan. Tak peduli, lawan itu pernah juara ring. Setidaknya ada enam cara menghempang incumbent. Pertama, cari kelemahan selama memerintah, bangun jaringan sebanyak mungkin, finansial yang besar, propaganda dan kontra, mesin partai bergerak maksimal, dan dukungan pusat.

Sebaliknya para lawan politik incumbent di Aceh Selatan juga dapat dicari kelemahan. Meskipun relatif tidak terbuka, akan tetapi track record kelemahan dapat ditelusuri. Misal, terdapat beberapa kandidat pernah menjabat di posisi birokrat seperti camat, guru, dan lain-lain.

Bila dilihat dari arus dinamika politik masyarakat head to head dalam Pilkada 2018 Aceh Selatan, terutama kandidat yang estabilitasnya lebih menonjol, maka Teuku Sama Indra versus Azwir menjadi rival. Tentu saja, tidak menutup peluang bagi Mirwan sebagai "kuda hitam’ yang meraih keuntungan.

Politik adalah cara dan Siyasah, bagaimana mengatur, memimpin, dan memerintah agar mengikutinya. Politik berputar dalam makna mengatur rakyat, memberi pendidikan (politik yang baik) untuk satu tujuan kebaikan bersama. Seluruhnya adalah makna positif dan mulia. Ini telah didefinisikan secara brilian oleh Imam Ibnu Aqil Al Hambali, bahwa "As Siyaasah (politik) adalah aktifitas yang memang melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad)". Karenanya berpolitik harus sesuai kaidah agama, moral dan budaya demi tercapainya maslahat. Semoga!!




Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda