kip lhok
Beranda / Analisis / Membaca Anatomi Pemilu 2024 Mendatang

Membaca Anatomi Pemilu 2024 Mendatang

Minggu, 26 September 2021 07:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: Ist

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dikabarkan kekurangan anggaran dalam pelaksanaan Tahapan Pemilu 2024 direncanakan berlangsung ditahun depan 2022. Walau belum disahkan, karena harus menunggu pada akhir September 2021 ini, Pemerintah melalui Surat Bersama Menteri Keuangan RI Nomor S-634/MK.02/2021 dan Menteri PPN/BAPPENAS Nomor 516/M.PPN/D.8/KU.01.01/ 07/2021 tanggal 23 Juli 2021 perihal Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga dan Penyelesaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2022, telah menegaskan pagu anggaran bagi KPU pada tahun 2022 hanya sebesar Rp2.452.965.805.000,- (dua triliun empat ratus lima puluh dua miliar sembilan ratus enam puluh lima juta delapan ratus lima ribu rupiah).

Anggaran sejumlah itu jauh dari usulan KPU sebelumnya sebesar Rp8.061.085.734.000,- (delapan triliun enam puluh satu milyar delapan puluh lima juta tujuh ratus tiga puluh empat ribu rupiah). Artinya KPU kekurangan anggaran pada tahun 2022 sebesar Rp5.608.119.929.000,- (lima triliun enam ratus delapan milyar seratus sembilan belas juta sembilan ratus dua puluh sembilan ribu rupiah)

Angka 8 triliun lebih itu pun telah mengalami rasionalisasi karena sebelumnya pemerintah tidak menyetujui usulan awal KPU sebesar Rp13.295.842.682.000,- (tiga belas triliun dua ratus sembilan puluh lima milyar delapan ratus empat puluh dua juta enam ratus delapan puluh dua ribu rupiah). Alasannya bisa ditebak oleh publik, kondisi ekonomi nasional sedang tidak baik akibat ekses dampak pandemi Covid-19.

Memang, anggaran 2 triliun yang dianggarkan untuk KPU pada tahun 2022 itu baru berupa anggaran tahapan persiapan awal (pra kondisi) penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Namun bila melihat catatan sejarah alokasi dana bagi pelaksanaan akbar pesta demokrasi di seluruh Indonesia, angka ini jelas terbilang jauh dari kondisi memadai.

Merujuk pada fakta pelaksanaan Pemilu sebelumnya, pada Pemilu 2014 pemerintah menggelontorkan kucuran biaya tidak sedikit untuk melaksanakan perhelatan akbar pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden dengan total biaya sebesar Rp.15,62 triliun. Lantas alokasi anggaran pada perhelatan Pemilu 2019 meningkat 61 persen menjadi sebesar Rp 25,59 triliun.

Sebagian kalangan menduga alokasi anggaran demikian minim bagi KPU merupakan skenario pengkondisian agar tahapan pemilu serentak molor. Dengan molornya tahapan Pemilu, muncul dugaan dan spekluasi mengenai penambahan masa jabatan bagi eksekutif yaitu presiden dan legislatif saat ini yang duduk di Senayan, yaitu DPR RI dan DPD. Benarkah?

Anggaran Minim: Ketidakseriusan Pemerintah?

Minimnya alokasi persiapan awal Pemilu 2024 dikhawatirkan dibaca oleh publik sebagai bentuk ketidaksiapan dan ketidakseriusan pemerintah dalam menggelar pesta demokrasi terbesar yang pernah diselenggarakan oleh Indonesia. Bagaimana tidak, KPU pada Pemilu 2024 mendatang selain menyelenggarakan Pileg dan Pilpres, juga mempersiapkan tahapan Pilkada serentak yang jatuh pada tahun yang sama.

Sejumlah agenda berkaitan dengan tahapan juga mulai berjalan pada tahun 2022, diantaranya pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu yaitu partai politik (diusulkan 04 April 2022 s.d 25 Desember 2022), seleksi Badan Penyelenggara, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, penataan dan penetapan daerah pemilihan (Dapil), hingga pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi Dan DPRD kabupaten/kota serta pencalonan presiden Dan wakil presiden (diusulkan mulai 22 Oktober 2022 s.d 19 Oktober 2023).

Serangkaian kegiatan itu teralokasi anggaran minim dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan Pemilu, sehingga fungsi dan peran penyelenggara nantinya tidak akan optimal. Terlebih KPU sendiri hingga kini masih berkutat terhadap problem saran dan prasarana yang diketahui tidak memadai. Atas hal itulah berpotensi mempengaruhi proses pelaksanaan tahapan Pemilu maupun pemilihan, baik secara teknis maupun administrasi.

Dibenturkan pada fakta, gedung kantor hingga saat ini, belum semua Satker KPU di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki gedung kantor. Masih ada beberapa Satker yang menggunakan gedung kantor melalui sewa maupun pinjam pakai. Terdapat 243 Satker yang menggunakan gedung kantor dengan status pinjam pakai, serta 56 Satker yang masih menyewa gedung kantor.

Kemudian kondisi gudang penyimpanan logistik Pemilu yang juga memprihatinkan. tidak semua Satker KPU di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki gudang. Bahkan, masih terdapat Satker yang tidak memiliki anggaran untuk sewa gudang. Hingga saat ini, sebanyak 272 Satker telah memiliki gudang, 147 Satker menggunakan gudang dengan status pinjam pakai, dan 105 satker yang menyewa Gudang.

Belum lagi berbicara realitas kebutuhan mobilitas penyelenggara pemilu yaitu kendaraan operasional yang sebagian besar sudah tua (sebagian besar tahun 2003 dan 2008) sehingga perlu peremajaan aset. Kendaraan sebagai alat transportasi menjadi kebutuhan yang mendesak. Terutama untuk wilayah yang tidak memiliki sarana transportasi umum yang memadai, serta untuk wilayah yang memiliki kondisi geografis yang khusus seperti perbukitan atau terpencil.

Minimnya alokasi anggaran selain dapat disikapi oleh publik sebagai bentuk ketidaksiapan negara, juga memperlihatkan secara telanjang pemerintah tidak mampu menjamin kebutuhan alokasi anggaran untuk kepentingan keberlanjutan tata kelola negara (pemerintahan). Padahal sudah hal baku dan jelas, bahwa Pemilu sebagai instrumen siklus pergantian kekuasaan merupakan hal vital sekaligus fundamental dalam pengelolaan sistem bernegara/pemerintahan.

Dugaan Skenario Perpanjangan Masa Jabatan.

Lantas ada hal terbaca dan luput dalam perhatian umumnya publik, dimana jika secara logika rasional minimnya kucuran dana pusat ke KPU ini sebagai bagian dari skenario penundaan pemilu dengan alasan keterbatasan anggaran dan kelesuan ekonomi akibat dampak pandemik Covid-19. Artinya ketidaksanggupan keuangan guna memulihkan perekonomian pemerintahan justifikasi yang sangat rasional untuk melakukan menundaan.

Namun jika kita telusuri berdasarkan penelusuran regulasi, skenario perpanjangan jabatan dengan regulasi saat ini sulit dilakukan.

Pertama, konstitusi telah tegas membatasi masa jabatan Presiden hanya 2 periode yakni 5 tahun dan dapat dipilih lagi dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945.

Skenario untuk memolorkan jadwal pemilu mustahil dilakukan dengan regulasi saat ini, sebab Pasal 167 ayat (7) UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) menegaskan "Penetapan Pasangan Calon terpilih paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden". Maka tidak bisa tidak pilpres wajib diselenggarakan pada tahun 2024. Sebab Presiden Jokowi dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019 dan akan berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024.

Selain itu Pasal 169 ayat (14) UU Pemilu juga telah mengunci persyaratan presiden, yaitu belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Kedua, UU Pemilu tidak mengenal penundaan Pemilu. Dalam UU Pemilu hanya lanjutan dan Pemilu susulan. Pemilu lanjutan dimulai dari tahap Penyelenggaraan Pemilu terhenti. Syaratnya apabila sebagian atau seluruh wilayah NKRI terjadi kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan (Pasal 431 UU Pemilu).

Sedangkan Pemilu susulan dilakukan untuk seluruh tahapan pemilu dengan alasan kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan (Pasal 432 UU Pemilu).

Kendati demikian, bukan mustahil presiden dan wakil presiden bisa menjabat tiga periode. Hal itu bisa terjadi asal amandemen UUD 1945 kembali dilakukan.

Merujuk laporan Majalah Tempo edisi 19 Juni 2021, beberapa skenario pun diduga disiapkan untuk mewujudkan rencana ini. Skenario pertama ialah membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilihan umum. Adapun skenario kedua memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun. Perpanjangan itu juga disertai dengan penambahan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Kemungkinan masa jabatan kepala daerah mungkin tidak akan terpengaruh sehingga pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.

Skenario selanjutnya akan ada manuver diset oleh elit tertentu dalam pengkondisian perpanjangan masa jabatan melalui rekayasa regulasi. Akan ada dua pasal dalam konstitusi diubah dengan menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan presiden dalam keadaan darurat di Pasal 7 serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat.

Perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam rangka penyelamatan kepentingan bangsa dan negara, dapat ditemukan landasan hukumnya dalam Pasal 12 UU NRI 1945. Dalam konteks kontitusi, keadaan darurat melalui dua istilah yang dipakai, yakni “keadaan bahaya” (Pasal 12 UUD 1945) dan “kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 UUD1945). Pasal 12 menegaskan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”.

Selain itu dalam peraturan setingkat undang-undang, klausul keadaan darurat dapat ditemukan pula dalam UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dengan istilah (darurat sipil, darurat militer dan darurat perang), UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (darurat bencana), UU Nomor 7 Tahun 2012 Penanganan Konflik Sosial (keadaan konflik sosial), UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (krisis sistem keuangan), dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (kedaruratan kesehatan).

Lantas memunculkan pertanyaan kritisnya yaitu apakah situasi negara saat ini dapat dikatakan sedang dalam bahaya dan darurat?

Bila dicermati ketentuan UUD 1945 maka terdapat 3 (tiga) unsur penting secara bersama-sama (kumulatif) yang membentuk pengertian keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu: pertama, unsur adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); kedua, unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.

Secara logika politik hukum, bila merujuk situasi saat ini, dimana negara sedang mengalami kelesuan ekonomi dan pandemi covid-19 yang belum melandai, kemungkinan untuk penetapan darurat bisa saja dengan menetapkan standar kriteria sebagaimana diatur dalam regulasi. Darurat keuangan dideklarasikan dengan mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan serta pengkondisian darurat kesehatan melalui UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Permusyawaratan Rakyat (MPR) sendiri memang telah berencana untuk melakukan amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar 1945, bahkan sudah menyiapkan jadwal pada agustus 2021 lalu. Agenda rencana amandemen terbatas UUD 1945 dengan tujuan mengembalikan kewenangan MPR menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Meskipun Pasal 37 UUD 1945 memberikan wewenang bagi MPR untuk mengusulkan sesuai tata cara amandemen UUD 1945 namun ada kekhawatiran akan terjadi tarik menarik kepentingan di dalam rapat paripurna yang melibatkan DPR RI dan DPD RI sebagai anggota. Eksesnya hal ini menyebabkan akan munculnya kembali “penumpang gelap” berupa dimasukannya pasal-pasal terkait periodesiasi dan masa jabatan presiden hingga perubahan fungsi dan tugas DPD RI untuk setara dengan DPR RI.

Kendati demikian perlu diingat skenario perpanjangan masa jabatan elit ini kemungkinan besar akan mendapat penolakan keras dari sebagian besar rakyat Indonesia. Hasil survei Fixpoll pada Agustus 2021 menunjukkan bahwa mayoritas publik tidak setuju dengan wacana amandemen UUD 1945 jika untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau membuka peluang presiden menjabat lebih dari dua periode. Sebanyak 53,4 persen responden menyatakan tak setuju dan sangat tidak setuju jika presiden bisa menjabat hingga tiga periode.

Keputusan akhir perlu tidaknya dilakukan amandemen terbatas UUD 1945 untuk mengembalikan kewenangan MPR menetapkan PPHN, sangat tergantung dengan dinamika politik dan para pimpinan partai politik. Tentunya juga komitmen presiden yang sempat menyebut akan setia pada konstitusi. Konstelasi politik elit penguasa sekaligus pengelola negara ini sangat tergantung dimensis kepentingan serta manuver strategi yang dimainkan. Begitulah bacaan mencermati dan memprediksikan potensi langgam politik Indonesia ke depannya dalam konteks Pemilu.

 Penulis: Aryos Nivada (Dosen FISIP USK dan Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda