Lanskap Politik PKS Aceh di Bumi Serambi Mekkah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arniv
DIALEKSIS.COM | Analisis - Lanskap politik Indonesia pasca reformasi tidak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan satu partai berbasis Islam ini, yakni Partai Keadialan Sejahtera (PKS). Terbentuk PKS cikal bakal dari Partai Keadilan (PK) saat itu tidak lolos ke parlemen dan parliamentary threshold. Selanjutnya disahkan berdirinya PKS pada tanggal 20 April 2002, kepiawaian partai berplatform berbasis islam ini membuktikan lolos parliamentary threshold saat Pemilu 2004 berlangsung kala itu.
Lantas disinilah menariknya bagi penulis selaku Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala fokus mencermati eksistensi PKS pada lokus tersendiri mensorot perwakilan PKS wilayah Aceh pasca konflik. Artinya basis pencermatannya pada perhelatan Pemilu 2009, 2014, 2019, dan 2024.
Selanjutnya mempelajari 4 kali Pemilu dilalui PKS Aceh dalam dinamika politik lokal Aceh di analisis melalui pendekatan diskriptif berlandaskan data – data guna membedah objek tulisan yakni PKS. Sehingga menunjukan gambaran mengenai eksitensi PKS di aren parlemen Aceh “DPRA”.
Data Berbicara
Memulai menelusuri dari hasil Pemilu 2009, saat itu parlemen Aceh “DPRA” memiliki jumlah kursi 64 total keseluruhan. Dari jumlah itu PKS Aceh hanya mendapatkan 4 kursi dimiliki kadernya yakni Gufran Zainal Abidin (Dapil Aceh 1), Moharriadi Syafari (Dapil 10), Fuadi Sulaiman (Dapil 5), dan Tgk Makhyaruddin Yusuf (Dapil 6). Khusus untuk perlakuan distribusi zona daerah pemilihan (Dapil) di Pemilu 2009 belum dipecah.
Masuk di era Pemilu 2014 fakta sejarah mencatat PKS Aceh hanya mampu meraih 4 kursi. Kadernya yang duduk di DPR masa periode 2014 - 2019 meliputi Ghufran Zainal Ali (Dapil 1), Bardan Sahidi ( Dapil 4), Tgk. Mahkyaruddin Yusuf (Dapil 7), dan Zainal Abidin (Dapil 10).
Pemilu berikutnya tahun 2019 PKS Aceh berhasil menaikan jumlah keterwakilan kadernya di DPRA sebanyak 6 kursi. Sosok kader PKS yang masuk ke gedung berjalan Daud Beureueh yakni: Tgk. H. Irawan Abdullah (Dapil 1), dr. Purnama Setia Budi (Dapil 3), Bardan Sahidi (Dapil 4), Armiyadi (Dapil 5), dan Suryani “wafat’ digantikan dengan Nova Zahara (Dapil 7), dan Zainal Abidin (Dapil 10).
Bagaimana komposisi keterwakilan kursi PKS Aceh dan siapa sosok yang mengisinya hasil di Pemilu 2024 yang lalu?. Ternyata hampir semua wajah baru, hanya satu orang wajah lama. Mereka itu adalah; Tati Meutia Asmara (Dapil 1), Armiyadi (Dapil 5) wajah lama, Usman IA (Dapil 9), dan Ihya Ulumuddin (Dapil 10).
Tafsir Data
Kalau telisik secara territorial kewilayahan “Zona dapil”, PKS Aceh mampu menjaga basis dari pengalaman Pemilu hingga saat ini hasil Pemilu 2024 meliputi Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Dibuktikan dari eksitensi kader PKS mampu meraih kursi di Dapil 1 tanpa tergantikan atau bergeser dengan partai lain. Dapil selanjutnya yang mampu dijaga secara pengaruh kekuasaan PKS Aceh yakni Dapil 10 terdiri dari daerah Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Simelue. Daerah tersebut mulai dari Pemilu 2009 hingga Pemilu 2024 selalu berhasil mengirimkan kadernya, walaupun pergantian kader terjadi.
Masih mencermati data eksistensi PKS Aceh di empat kali Pemilu ternyata, Dapil 5 mengalami pasang surut. Awalnya di Pemilu 2009 memiliki kursi namun 2014 tidak mampu bertahan hingga hilang, akan tetapi bangkit kembali dan terbukti berhasil meraih kursi di Pemilu 2019 dan 2024 dengan kader PKS yang sama yakni Armiyadi.
Wilayah lain mampu meraih kursi di dapatkan dari Dapil 7 Aceh Tamiang dan Langsa untuk hasil Pemilu 2009, 2014 dan 2019 namun di Pemilu 2024 hilang kursi dari Dapil tersebut. Sekilan info dahulu Aceh Tamiang masuk di Dapil 6 sebelum di mekarkan jadi dapil tersendiri yakni dapil 7. Artinya PKS Aceh mampu bertarung menunjukan taring di tiga kali Pemilu.
Selebihnya mengalami fluktuasi kursi PKS Aceh di beberapa dapil seperti; dapil 4 dan 9. Dari data menunjukan pengusaan kursi wilayah Bener Meriah dan Aceh Tengah hanya mampu bertahan untuk dua kali Pemilu saja yaitu 2014 dan 2019. Sedangkan dapil 9 daerah baru dikuasi PKS Aceh meliputi Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam dan Aceh Barat Daya. Dapil ini melahirkan kader PKS Aceh Usman IA yang mampu membuktikan duduk di DPRA bersama kader PKS lainnya.
Catatan Kesimpulan
Dari gelar fakta berdasarkan data hasil Pemilu diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan PKS Aceh hanya mampu terbukti berhasil menjaga basis konsistuen lamanya tanpa mengepak sayap ekspansi ke dapil lain. Disini sangat terlihat sekali kader kader PKS di luar dapil belum berhasil melahirkan kader yang membumi di daerahnya sendiri. Catatan lain PKS Aceh jika merujuk dari data diatas terkotak di luar basis pemilih yang dominan, artinya PKS Aceh belum mampu meraih dan menggerus suara pemilih di wilayah yang jumlah pemilihnya besar, seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie, Pidie Jaya, dll.
Diakui atau tidak PKS Aceh mampu berselancar dalam dinamika politik lokal yang dominasi dari partai lokal. Bukan hanya sebatas bertarung sesama partai nasional namun harus bertarung juga dengan partai lokal. Apalagi keberadaan partai lokal menjadi identitas ke-Aceh-an yang susah untuk menjadi mayoritas di parlemen Aceh.
Kesimpulan lainnya, PKS Aceh telah menjadi salah satu kekuatan politik utama di Indonesia maupun kelokalan Aceh. Meskipun menghadapi kritik dan kontroversi, partai ini terus berupaya untuk memperjuangkan agenda Islam dan keadilan sosial dalam kerangka demokrasi. Keberadaan PKS mencerminkan dinamika politik dan sosial di Indonesia serta peran penting Islam dalam politik negara.
Tak luput sebagai suatu kesimpulan juga PKS Aceh mampu membentuk identitas keagamaan, walaupun kata Francis Fukuyama partai berbasis identitas sering kali memiliki basis yang kuat tetapi juga dapat memperdalam polarisasi dalam politik. Hal itu menjadi tantangan yang perlu dijawab bahwa pemikiran Francis Fukuyama tidak berlaku untuk PKS.
Jika dikaitkan sedikit dengan teori pertumbuhan dan stabilitas partai politik dapat memberikan wawasan tentang bagaimana PKS berhasil mempertahankan basisnya di Aceh. Sistem kepartaian yang kuat dan kaderisasi yang efektif bisa menjadi faktor penting dalam memastikan stabilitas partai dalam jangka panjang. Satu lagi PKS Aceh mampu bersinergi dan berharmoni dengan keberadaan partai lokal lainnya dalam mewarnai khasanah perpolitikan di bumi serambi mekah ini.
Penulis: Aryos Nivada, Dosen FISIP Universita Syiah Kuala dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif