Fase dua Pilkada Provinsi Aceh
Font: Ukuran: - +
Pengantar
Pilkada serentak 2018 ini di Provinsi Aceh sebagai fase kedua yang hanya dilaksanakan di tiga wilayah (Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Pidie Jaya, dan Kota Subulussalam). Sebelumnya di tahun 2017 Aceh telah melangsungkan pilkada serentak untuk 20 kabupaten/kota. Walaupun hanya di tiga lokasi berlangsungnya pilkada, tidak kalah menariknya untuk dicermati, karena wilayah-wilayah tersebut memiliki keunikan dan dinamis dalam pertarungan perpolitikan.
Ketiga wilayah itu memiliki karakter politik yang berbeda. Tentu hal itu karena kultur masyarakatnya, geografis kewilayahan, dan karakteristik elitnya. Belum lagi faktor X lainnya yang sangat mempenagaruhi dan menentukan. Faktor "x" dimaksudkan adalah strategi politik, politik uang, pemberian barang (sembako), dan lain-lain.
Sebagaimana dikemukakan Prof. Ikrar Nusabhakti yang mendefinisikan politik anomali. Ini akibat tindakan abnormal elit politik dan regulasi yang dibuatnya pertentangan dengan regulasi lainnya. Perolaku seperti itu, kata C.P. Chaplin (1989) sebagai akibat dari terjadinya penyimpangan sikap secara individu maupun sosial.
Nah, merujuk pada pendapat pakar politik tersebut, kita bisa membaca politik kelokalan di tiga wilayah yang akan dilaksanakan pilkada serentak 2018. Seperti Aceh Selatan yang terkenal "Politik Likok", Subulussalam dikenal berkarakter "Politik Kekerabatan", dan Pidie Jaya sering disebut dengan istilah "Politik Basis".
Suatu hal yang menarik pada pilkada serentak di tiga wilayah tersebut dinamika politiknya berbeda dengan pilkada serentak 2017 lalu. Perbedaan dinamika politik pilkada 2018 ini karena waktu yang sangat berdekatan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang juga digelar serentak.
Dalam perspektif strategi, pola umum dari kesinambungan Pileg 2019 dan perubahan politik sangat dipengaruh kondisi tahun 2018. Seperti kerja-kerja politik berkait erat dengan kepentingan Pileg 2019 nantinya di ketiga daerah tersebut. Ibarat kata pepatah, "sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui", para aktor politik menjadikan moment pilkada 2018 sebagai sarana awal menuju pileg dan pilpres.
Jadi, siapa pun partai pengusung yang menang di Pilkada 2018 secara logica rational sangat berpeluang memperoleh kursi yang besar. Secara sederhana, adanya sumberdaya di eksekutif dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kerja-kerja politik di Pileg 2019 nantinya.
Berdasarkan data dan informasi berkait pelaksanan pilkada serentak 2018 di tiga lokasi Aceh Selatan, Pidie Jaya, dan Subulussalam, saya mencoba melakukan analisis, terutama dinamika politik yang berada secara kelokalan di masing-masing daerah.
=================================================================
Kabupaten Aceh Selatan
Bila dilihat dengan pendekatan kewilayahan, secara obyektif sudah tidak paduh atau sudah terpecah belah. Misal, wilayah Meukek dan Sawang, yang selama ini menjadi lumbung kuat untuk perolehan suara namun dengan muncul kandidat Teuku Sama Indra dan Azwir, menjadi terpecah. Begitu juga, wilayah Labuhan Haji Raya dengan memunculkan dua orang yang bertarung yaitu Mirwan Amir dan Zulkarnaini. Sedangkan dari wilayah Kluet Raya, pilkada 2018 ini banyak yang berpartisipasi maju. Yaitu Karman, Darman, Harmaini, Tgk Husin Yusuf.
Jadi, dapat disimpulkan banyaknya tokoh yang muncul, untuk bisa meraih dukungan dan dapat memenangkan pertarungan sangat dipengaruhi oleh faktor perimordial kesukuan. Sebagaimana pernah saya paparkan dalam analisis tentang "Politik Likok" (dialeksis.com/13Januari 2018).
Intinya, segregasi di dalam kewilayahan itu sendiri masih dipengaruhi unsur singgungan organisasi keagamanan, khususnya antara Perti dan Muhamadiyah. Bahkan interaksi lingkungan mampu membuat friksi didalam semakin menguak, dll.
Tercermin antara Labuhan Haji Timur dengan Labuhan Haji Barat dan Tengah kurang begitu melekat secara relasi emosional dan kedekatan.
Kalau dilihat dari hasil lapangan jelas head to head T. Sama Indra melawan Azwir. Sementara, Mirwan Amir dan Karman, menjadi kuda hitamnya.
Untuk mampu meraih pemilih dan memenangkan pilkada 2018 di Aceh Selatan, ada beberapa faktor utama harus dilakukan. Pertama, menyusun strategi politik, seperti adanya tokoh kunci yang berpengaruh. Kedua, membuat sistem terukur dalam kerja-kerja politik. Ketiga; memetakan kekuatan dan kelemahan melalui proses survei. Keempat, kualitas "mesin" partai pengusung yang harus bergerak, termasuk tim sipil di luar partai bergerak.
Pengaruh basis konsistuen partai pengusung menguntungkan bagi kandidat yang maju dari jalur partai politik. Dalam konteks pilkada Aceh Selatan, dukungan dan usungan partai ke pasangan T. Sama Indra dan Harmaini unggul basis suara sebesar 60 persen konsistuen, dengan tujuh partai pengusung yang memiliki 15 kursi (Demokrat 5 kursi, PPP 3, PAN 3, Golkar 1, Gerindra 1, Nasdem 2, PKS).
Pada posisi kedua ditempati Mirwan dan Zirhan, yang diusung tiga partai ( Partai Aceh sebanyak 5 kurisi, PKPI memiliki 4 kursi, dan satu kursi PBB) dengan persentase 40 persen akumulasi suara pemilih. Sementara, kandidat Azwir dan Tgk Amran, berada pada posisi ketiga yang diusung oleh partai politik PNA (1 kursi), Hanura (2 kursi), PDIP (1 kursi), PKB (1 kursi), dan PDA, dengan akumulasi suara konstituen partai sebesar 20 persen.
Dalam politik, suara konsistuen partai tidaklah linear 100 persen mendukung kandidat yang diusung. Karenanya, kompetensi personal kandidat sangat menentukan untuk bisa meraih pemilih. Sedangkan partai, meskipun tetap berpengaruh namun tidak selalu signifikan. Apalagi jalur perorangan atau independent membuat semakin tidak linear suara pemilih di Aceh Selatan.
Pengaruh ketokohan, terutama ulama tidak bisa diabaikan untuk meraih kemenangan politik di Aceh Selatan. Bila seorang kandidat sudah mendapat restu dan dukungan dari ulama, peluang untuk keterpilihan semakin terbuka.
Pidie Jaya
Lain padang lain belalang. Lain di Aceh Selatan, lain pula di Pidie Jaya (Pijay). Dari aspek wilayah, PijaY memiliki empat wilayah sebagai basis terbesar pemilih. Merujuk pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada tahun 2017 Komisi Independent Pemilihan Aceh, meliputi Bandar Baru (36.562), Bandar Dua (25.848), Meureudu (20.850), Tringgadeng (21.526), Meurah Dua (12.504), dan Ulim (15.186). Tinggal lagi bagaimana kepiawaian para kandidat untuk melakukan pendekatan dan bisa mendapat simpati dari masyarakat di empat basis suara terbanyak itu.
Dari analisis karakter politik masyarakat di Pidie Jaya dapat secara umum dikatagorikan sebagai pemilih cerdas. Begitu pun ada beberapa hal yang sangat berpengaruh, yaitu faktor kedekatan kandidat dengan rakyat, berpengalaman di pemerintahan, memiliki rekam jejak yang baik, komitmen terhadap perekonomian, visi misi serta program kerja yang bagus, dan taat dalam beragama. Jadi siapa pun yang masuk ke dalam indikator itu kemungkinan besar kandidat tersebut akan menang di pilkada Pidie jaya.
Pengaruh kesukuan tidak berdampak di Pidie Jaya, karena 99 persen warga Pijay adalah suku Aceh atau homogen karakteristik kesukuannya. Begitu juga keyakinan, 100 persen adalah Islam dengan jumlah 155.521 jiwa (sumber: BPS Pidie Jaya tahun 2015).
Kekuatan kontrol yang mayoritas di parlemen Pidie Jaya adalah Partai Aceh (9 kursi) diikuti Partai Amanat Nasional (4 kursi), Partai Nasdem (4 kursi), PPP (2 kursi), dan sisanya 1 kursi semua yaitu PNA, PKS, PKB, Gerindra, PDA, dan PBB. Membaca data tersebut dapat disimpulkan, bahwa Partai Aceh di Pidie Jaya memiliki basis konsistuen yang banyak.
Para kandidat bupati/ wakil bupati yang akan bertarung dalam pilkada serentak 2018 di Pijay, sesuai nomor urut, yaitu pasangan Yusri Yusuf-Saifullah meraih nomor urut satu yang diusung partai NasDem (7.988), PDA (2957), Golkar (3206), PKB (2146), PNA (2803) dan PBB (4.039). Bila ditotalkan suara basis konsistuen partai pengusung pasangan Yusri-Saifullah sebesar 23.139 suara.
Sedangkan pada nomor urut 2 ditempati pasangan Aiyub Abbas-Said Mulyadi (ASLI), Pasangan ini diusung oleh PA (24.340), PAN (9.758), PKS (2.602), Gerindra (3.844), Demokrat (4.308), Hanura (117), PDIP (2.164) dan PKPI (160) dengan total suara dari basis konsistuen partaisebanyak 47.293 suara. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan, dukungan basis konsistuen partai pengusung nomor 2 lebih besar daripada nomor 1. Ini akan menjadi modal politik untuk memungkin bisa memenangkan pertarungan di pilkada Pidie Jaya. Jadi, antara Aiyyub Abbas/Said Mulyadi dengan Yusri Yusuf/Saifullah, akan menjadi rival secara head
to head dalam perhelatan politik pilkada, apalagi tidak adanya kuda hitam yang menjadi alternatif. Karena diamati dari dukungan politiki masyarakat Pidie Jaya masih sangat lemah. Kalau pun pasangan munculnya kandidat Yusuf Usman (Kreh Kroh)/Anwar Ishak sebagai kuda hitam, khusus untuk Yusri Yusuf (Yusri Melon), kandidat bersangkutan merupakan ketiga kali maju pada Pilkada 2018 ini.
Subulussalam
Kota Subulussalam adalah wilayah baru dimekarkan dari kabupaten induknya Singkil. Begitu pun daerah ini merupkan kali kedua dalam melaksanakan pilkada. Suatu hal yang menarik, Kota Subulussalam memiliki penduduk yang heterogen, baik dari aspek suku maupun agama. Di antaranya terdapat etnis Singkil (boang), etnis Batak (Pakpak), etnis Aceh, Etnis Alas, Minang dan Jawa.
Dari aspek politik dan keamanan, wilayah Subussalam dalam pilkada serentak 2018 memiliki dinamika politik sangatlah tajam. Dengan kata kain indikasi potensi kerawana (IPK) akan meningkat, dan cenderung akan tingginya pergesekan, terutama para pendukung masing-masing kandidat.
Dari jumlah masyarakat yang memiliki hak pilih, data Daftar Pemilih Tetap tahun 2017 menyebutkan total 51.636 pemilih. Masing-masing di wilayah Longkib berjumlah 3.683, Penanggalan 8.642, Rundeng 7.676, Simpang Kiri 22.010, dan Sultan Daulat sebesar 9.625 pemilih.
Dilihat dari komposisi parlemen (DPRK) Kota Subulussalam terdistribusi merata. Artinya, tidak ada satu partai yang mayoritas memiliki pengaruh besar. Terdapat lima partai dengan jumlah kursi yang sama, yaitu Partai Aceh, Golkar Hanura, PKB yang masing-masing memiliki tiga kursi di legislatif. Selebihnya terdistribusi ke PPP (1 kursi), PKPI (1 kursi), Demokrat (2 kursi), dan PBB satu kursi.
Sebagaimana diketahui Kota Subulussalam yang merupakan wilayah multi etnis, maka faktor relasi keluarga, figur kandidat, politik uang, dan partai politik menjadi sangat berengaruh dalam menjaring simpatisan untuk bisa mendapat suara pemilih. Namun dari semua faktor tersebut, kekuatan relasi keluarag dan relasi kekerabatan menjadi faktor utama, selain politik uang (money politic) yang masih sangat dominan. Dari temuan lapangan dengan pernyataan beberapa tokoh masyarakat dan politik di Subulussalam, faktor perimordial dan kekeluargaan masih sangat kental dalam aras politik masyarakat. Misal, tokoh Salmaza memiliki ikatan kekeluargaan dengan Sudirman Munte, Muslim Aiyub, Baginda, Asmidar, dan Anasri Sambo (Ogek Anas). Sedangkan rivalnya A. Alfian Bintang adalah orang luar yang bukan berasal dari Subulussalam, termasuk Sartina (istri Meurah Sakti). Tidak menutup kemungkinan issue ini digulirkan ke masyarakat. Karena mereka bukan asli orang setempat.
Peta pertarungan memperebutkan orang nomor satu dan dua di Subulussalam terbaca publik head to head antara A. Alfian Bintang-Salmaza versus Asmauddin-Asmidar. Sementara pasangan Anasri Sambo-Ustadz Sabaruddin, akan menjadi kuda hitamnya.
Tokoh AA Bintang dianggap lebih siap dan elektabilitasnya lebih tinggi karena sudah melakukan kerja-kerja politik setelah kalah dalam Pilkada yang lalu. Namun tidak menutup kemungkinan peluang bagi Asmanuddin sebaga putra asli daerah Subulussalam. Apalagi sosok Asmanuddin memiliki sejarah dalam pemekaran daerah sebagai salah satu "bidan" yang ikut melahirkan kota Subulussalam. Tentu saja, sosok dari Anasri (Ogek Anas) tidak bisa dipandang sebelah mata.
Tokoh ini secara perlahan telah bekerja meraih dukungan pemilih. Belum lagi faktor ketokohan abangnya yang memahami peta politik, karena berhasil membawa kemenangan bagi Meurah Sakti.
Bila ada pertanyaan, siapa yang akan memenangkan pertarungan dalam pilkada 2018 Aceh tahap kedua untuk tiga kabupaten/kota? Secara sederhana, siapa yang piawai menyusun strategi politik, punya modal besar, dan mesin pemenangan berjalan. Namun, namanya politik, tidak ada yang pasti, karena semua bisa berubah. Jadi peluang menang bagi seluruh kandidat tetap terbuka lebar.
Satu hal harus menjadi refrensi para kandidat dan tim nya adalah kepatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam peraturan dan regulasi. Sebagai pemimpin rakyat, harus menjunjung tinggi semangat sportivitas. Tak kalah penting bagaimana memberikan pendidikan politik kepada rakyat yang santun, damai dan bergembira. Semoga!
Aryos Nivada
Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala