kip lhok
Beranda / Analisis / Dana Aspirasi yang tak aspiratif

Dana Aspirasi yang tak aspiratif

Kamis, 01 Februari 2018 13:47 WIB

Font: Ukuran: - +



Dana aspirasi, begitulah penyebutannya. Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dikenal sebagai dana aspirasi. Di belahan negara lainnya "Amerika Serikat (AS) dana aspirasi sangat mirip dengan ´pork barrel budget´ di Amerika Serikat (AS). Istilah dari pork barrel dikonotasikan negatif oleh masyarakat AS, karena praktek budgeting pemerintah pusat (federal) AS untuk alokasi proyek-proyek di distrik anggota Congress (setara DPR) yang terpilih. Singkat cerita dana aspirasi adalah dana yang dipergunakan anggota dewan untuk menyerap keinginan aspirasi konstituennya yang direalisasikan dalam bentuk program-program.    

Di tulisan ini menganalisis dana aspirasi dalam sudut pandang politik, legal, dampak, dan disertai analisis pendukung lainnya. Kedua sudut pandang sangat relevan mengkaji dana aspirasi yang diperuntukan anggota dewan. Politik dan hukum dua hal yang tidak dapat dipisahkan di sistem pemerintahan manapun. Disinilah menarik bagi penulis menganalisis dana aspirasi dengan kedua pendekatan tersebut.


Aspek Politik

Kemunculan dana aspirasi anggota dewan rakyat baik tingkat nasional dan daerah, tidak bisa dilepaskan dari perubahan peta politik paska Orde Baru. Tuntutan reformasi yang disuarakan kekuatan pro demokrasi di tanah air telah berimbas pada tuntutan tegaknya prinsip cheq and balance dalam sistem politik pemerintahan kita.

Tuntutan ini menjadi amunisi politik yang sangat bertenaga menguatkan posisi legislatif dalam relasinya dengan eksekutif. Jika sebelumnya lembaga dewan inferior dihadapan eksekutif, sub-ordinat pelengkap penderita yang hanya menjadi juru stempel bagi keputusan-keputuan eksekutif, kini dengan didorong oleh gelombang besar reformasi posisi mereka menguat berapi-api hingga memiliki bargaining dengan tingkat yang tidak pernah kita saksikan sebelumnya.

Namun dalam dinamikanya kemudian perubahan ini justru bergerak ke arah yang negatif. Lembaga dewan seolah bertransformasi dari macan ompong yang pasif dibawah hegemoni eksekutif bak singa lapar yang bisa menggertak dan menyandera keputusan maupun kebijakan eksekutif.

Praktik paling nyata kita lihat dari prilaku terkesan menghamburkan uang ini adalah dalam hal birahi mereka dalam memaksakan kepentingan pribadi dan kelompok dengan apa yang mereka sebut dengan dana aspirasi (konstituen). Dana aspirasi ini menjadi saluran pemenuhan kepentingan mereka pada setiap tahun anggaran. Budaya politik uang berkubang korupsi di tubuh-tubuh partai politik politik kita.

Trend ini justru bertolak belakang dan antitesis dari semangat check and balance sebagaimana spirit reformasi, karena pada kenyataannya lembaga legislatif menjadi penguasa baru tandingan eksekutif, yang dengan ego kekuasaannya sering membuat eksekutif tersandera. Alih-alih terjadi saling kontrol, yang menguat justru prilaku serta praktek-praktek yang melabrak sistem demi kepentingan pribadi dan kelompok (parpol). Akibatnya sistem mengalami kebuntuan (deadlock.) Pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan.



Aspek Legal 

Manajemen perancanaan pembangunan baik level nasionan maupun daerah telah diatur dalam Permendagri No. 86 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah RPJPD dan RPJMD, serta Tata Cara Perubahan RPJPD, RPJMD, RKPD.

Inilah satu-satunya produk hukum saluran legal terkait manajemen pembangunan daerah. Permendagri ini sekali tidak mengenal dan tidak mengatur perihal apa yang disebut oleh anggota dewan rakyat dengan "dana aspirasi".

Dalam peraturan perundang-undangan terkait juga  tidak menyebutkan secara eksplisit Dana Aspirasi.  Dalam regulasi yang dikenal adalah  adalah dana program pembangunan daerah pemilihan yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ("UU 17/2014") sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 ("UU 42/2014") atau lebih dikenal dengan UU MD3.

Pengajuan dana aspirasi yang dinilai menyalahi kewenangan legislatif disebabkan karena adanya landasan hukum yang bias. Penggunaan pasal 80 J Undang-Undang MD3 sebagai dasar para anggota dewan untuk mengajukan program pembangunan daerah pemilihannya itu memang sudah lama dinilai sebagai pemicu timbulnya usulan dana-dana liar seperti dana aspirasi.

Dalam pasal 80 J Undang-Undang MD3 tertulis, anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Pasal 80 j UU MD3 harus dipahami dalam kerangka hak anggota dewan dalam memperjuangkan amanat konstiten, namun bukanlah merupakan fungsi dewan yang melekat secara kelembagaan. Dalam tataran fungsi, sesungguhnya  fungsi anggaran yang bisa dilakukan oleh dewan hanya sebatas membahas dan menyetujui anggaran. Bukan menentukan anggaran seperti yang mereka lakukan pada dana aspirasi tersebut.

Kerumitan penyusunan anggaran hingga memicu terlambatnya pengesahan anggaran, tak lain disebabkan pihak legislatif yang memahami dana aspirasi sebagai salah satu fungsi dewan dalam hal hal penganggaran. Padahal dana aspirasi hanyalah merupakan instrumen hak yang diberikan oleh UU bagi legislatif untuk memperjuangkan program pembangunan di Dapilnya. Bukan pemaksaan agar dewan dapat mengatur anggaran pembangunan sesuai keinginan maupun kepentingannya.

Saluran legal pemenuhan aspirasi rakyat yang legal adalah melalui musrenbang, mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat (nasional), sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Peran legislatif dalam konteks perancanaan pembangunan adalah berada pada tingkat "menyampaikan pokok-pokok pikiran" sebagai hasil reses yang disampaikan kepada pihak eksekutif paling lambat lima bulan sebelum APBA disahkan. Selanjutnya dalam proses pembahasan, keterlibatan legislatif hanya sampai pada tingkat pembahasan KUA-PPAS.

Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), atau yang biasa disingkat KUA-PPAS adalah dokumen anggaran yang dibuat oleh Sekertaris Daerah untuk disampaikan kepada Kepala Daerah sebagai pedoman dalam penyusunan APBD. KUA-PPAS disusun berdasarkan Rencana Kerja Prioritas Daerah (RKPD) dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang nantinya dilaporkan paling lambat minggu pertama bulan Juni.

Pembahasan KUA dan PPAS dilakukan oleh TAPA bersama panitia anggaran DPRD dan paling lambat telah disepakati pada akhir bulam juni tahun anggaran berjalan. Hasil kesepakatan dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditanda tangani antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan.


Dampak Negatif

Kemunculan dana aspirasi ini seringkali menyebabkan pembahasan anggaran menjadi alot dan berlarut-larut, bukan hanya karena tidak beranjak dari prinsip perencanaan yang baik tapi juga karena menjadi penumpang gelap yang merusak kerja sistem, merusak dan menganggu skema dan tahapan perencanaan pembangunan yang telah dirumuskan oleh eksekutif.

Manajemen pembangunan kita dikelola dan diselenggarakan dengan berpijak pada prinsip pembangunan semesta, pembangunan untuk seluruh rakyat. Dalam prinsip ini pembangunan dilihat, dipahami, dan ditempatkan sebagai investasi untuk membangun prikehidupan yang lebih baik bagi rakyat.

Pada tahap pelaksanaannya prinsip ini diatur dalam dan melalui seperangkat aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat, mulai dari tingkat paling tinggi sampai tingkat paling bawah, dengan mengedepankan prinsip keteraturan, ketertiban, dan kepatutan.

Implikasi dari penegakan prinsip-prinsip ini adalah pembangunan harus dilaksanakan melalui proses perencanaan yang baik, komprehensif, dan terintegrasi dengan dalam sebuah skemaa/pendekatan programatik, skematik, dan sistemik untuk memastikan output, outcome, dan dampak masksimal pembangungan.


Pengawasan dan Evaluasi : Bagaimana dan Siapa yang Melakukan? 

Fungsi pengawasan adalah kewenangan dewan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBA, Mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.

Kemunculan dana aspirasi membuat fungsi pengawasan dewan menjadi absurd. Siapa yang melakukan pengawasan terhadap dana aspirasi ini? Jika anggota dewan baik personal maupun secara kelembagaan, maka bagaimana bisa? Dana aspirasi yang nota bene adalah kreasi dewan, juga diawasi oleh anggota dewan? Bagaimana bisa pemain bisa menjadi wasit sekaligus?

Lalu siapa pula yang mengevaluasi prakti-praktik dana aspirasi ini. Legislatif atau eksekutif. Bagaimana hasilnya, apakah transparan, tepat sasaran, apakah sejalan dengan arah kebijakan pembangunan yang telah dirumuskan oleh Eksekutif. Sampai sejauh belum pernah mendengar, membaca, dan melihat hasil evaluasi terhadap prkatik-praktik dana aspirasi ini.


Mengapa Praktik Dana Aspirasi Bisa Terus Langgeng?

Meski telah terbukti menjadi troublemaker yang menghambat proses dan laju pembangunan, keberadaan dana aspirasi anggota dewan masih tetap berlangsung hingga saat ini. Praktik buruk ini bisa terus terjadi karena politik telah menjadi panglima, hingga hukum pun tak kuasa untuk menghempang. Kuatnya tarikan politik yang memback-up praktik dana aspirasi membuat hukum kehilangan taji untuk memberangusnya.

Belum ada shock therapy malah ada kesan pembiaran. Unit-unit lembaga pemerintah BPK(P), Kejaksaaan, bahkan KPK justru absen. Tidak/belum terlihat peran signifikan mereka dalam mengawasi dan memberi sanksi atas praktik ilegal dana aspirasi ini. Pasifisme masyarakat, mahasiswa, dan organisasi sipil dalam menyikapi perihal dana aspirasi ini. Meski ada kelompok-kelompok yang konsisten melontarkan kritik dan penentangan namun lingkupnya masih parsial, belum berkembang dan bersinergi menjadi gelomang besar yang powerful memberi tekanan kepada baik kepada anggota-anggota secara personal maupun dewan rakyat secara kelembagaan.

Langgengnya praktik dana aspirasi juga tidak bisa dilepaskan dari lemahnya manajemen perencanaan oleh eksekutif. Kelemahan ini menjadi ruang kosong bagi anggota-anggota dewan baik secara personal maupun kelembagaan untuk memaksakan dana aspirasi mereka. Lemahnya penegakan prinsip evindence-based planning dan kemapuan berargumentasi perihal manajemen pembangunan, bagaimana pembangunan dikelola, tahapan-tahapan dan skala prioritas pembangunan, dipihak eksekutif memberi justifikasi tuntutan dan pemaksaan dana aspirasi dari para anggota legislatif.


Kesimpulan

Dari analisis di atas dapat disimpulkan, bahwa regulasi dana aspirasi masih memiliki bias dari segi hukum. Selain itu penggunaan dana aspirasi, anggota dan lembaga dewan telah masuk terlalu  jauh masuk ke ranah eksektif. Kesimpulan berikutnya fungsi check and balance lembaga dewan tidak lagi berjalan dengan semestinya, malah mengerogoti ranah kerja eksekutif, Merusak sistem, manajemen, dan tata tertib perencanaan pembangunan, Dana aspirasi sama sekali tidak menunjang manajemen pembangunan yang berpijak pada prinsip semesta, holistik, dan komprehensif, melainkan lokalistik untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok, dan dana aspirasi cenderung menjadi modalitas politik dan ekonomi pribadi anggota dewan.


Rekomendasi

  1. Pemerintah Aceh malalui Bappeda perlu memperkuat prinsip evidence-based planning untuk tidak memberi peluang bagi penumpang gelap bernama dana aspirasi.
  2. Pemerintah harus berani dan tegas menolak tekanan politik DPRA untuk meloloskan dana aspirasi ini.
  3. Pemerintah Aceh melaui Bappeda perlu melakukan evaluasi segala aspek terkait praktik dana aspirasi anggota DPRA.
  4. Lembaga auditor pemerintah (BPK/BPKP) perlu melakukan audit investigasi terhadap kegiatan dan alokasi dana aspirasi.
  5. Lembaga penegak hukum mulai dari Kejaksaan, kepolisian, dan KPK harus menindaklanjuti setiap indikasi KKN dana aspirasi untuk menjadi efek kejut bagi anggota DPRA.
  6. Elemen-elemen masyarakat sipil, LSM, akademisi, perlu bersinergi melakan tekanan-tekanan menentang dan menolak praktik-praktik dana aspirasi anggota DPRA.

Penulis : Aryos Nivada

Dosen FISIP Unsyiah/Pengamat Politik dan Keamanan


Keyword:


Editor :
HARIS M

riset-JSI
Komentar Anda