Apa Kabarmu, Ombudsman Aceh?
Font: Ukuran: - +
PAGI di tanggal sepuluh Maret 2000 terus terngiang. Presiden KH Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Sejak itu Indonesia memulai babak baru dalam sistem pengawasan publik.
Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 Tanggal 10 Maret, tahun 2000 lembaga Ombudsman Indonesia dengan nama Komisi Ombudsman Nasional resmi mulai bekerja.
Kelahirannya Ombudsman merupakan respon serius yang ditawarkan pemerintah. Mengapa? Saat itu pemerintah mendapat tekanan dari masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Memang pada situasi itu pemerintah Indonesia sedang berusaha keras melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya, membentuk Ombudsman.
Sejak itu pembentukan Ombudsman pun mulai menjadi harapan baru bagi seluruh provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh. Untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang Komisi Ombudsman Nasional, dibentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat.
Sesuai dengan amanat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2008 Pada tanggal 7 Oktober 2008 ditetapkan setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.
Perubahan nama tersebut mengisyaratkan ombudsman tidak lagi berbentuk komisi negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara lainnya, serta dalam menjalankan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Tugas Ombudsman RI dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yaitu menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Melakukan pemeriksaan substansi atas laporan, menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan, membangun jaringan kerja, melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan melakukan tugas lain yang diberikan oleh Undang-undang.
Secara umum maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik. Yakni, meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut.
Maladministrasi merupakan perbuatan sikap maupun prosedur tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha saja. Hal-hal maladministrasi tersebut menjadi salah satu penyebab bagi timbulnya pemerintahan yang tidak efisien, buruk, dan tidak memadai.
Dengan perkataan lain tindakan atau perilaku maladministrasi bukan sekedar merupakan penyimpangan dari prosedur atau tata cara pelaksanaan tugas pejabat atau aparat negara atau aparat penegak hukum tetapi juga dapat merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam perkembangannya Ombudsman Republik Indonesia mempunyai perwakilan-perwakilan di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Pembentukan kantor perwakilan ini tentu saja untuk mendekatkan fungsi ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik kepada masyarakat di daerah-daerah. Tidak terkecuali, Ombudsman Republik Indonesia juga mempunyai kantor perwakilan di Aceh.
Tidak Bekerja Setengah Hati
Penelusuran yang dilakukan tim Dialeksis.com sepanjang Mei-Juni 2019, masyarakat masih menggantung harapan banyak kepada lembaga ini.
Di bulan Mei misalnya, masyarakat Aceh menaruh harapan pada kinerja Ombudsman agar ke depannya semakin lebih baik, meskipun pada Januari sebelumnya, Ombudsman Aceh sempat memberikan pernyataan resmi: kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menangani berbagai laporan dan pengaduan masyarakat Aceh.
"Saat ini, Ombudsman hanya ada 12 orang pekerja yang terdiri dari pimpinan (Kepala), asisten serta para staf yang mengcover seluruh laporan adzan masyarakat tentang pelayanan publik di Aceh," jelas Kepala Ombudsman RI Aceh Taqwaddin dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman di Banda Aceh, Rabu, 16 Januari.
Jumlah itu sangat minim untuk menangani permasalahan pelayanan publik yang terjadi di Aceh. Namun pihaknya tetap berupaya menunjukkan eksistensinya dalam melayani masyarakat.
Banyak pihak memberikan tanggapan atas kinerja Ombudsman Aceh. "Ombudsman di Aceh harus lebih fokus menindaklanjuti laporan-laporan yang disampaikan masyarakat. Kalau disebutkan ada permasalahan keterbatasan staf (ombudsman-Red), semestinya dipersiapkanlah dengan baik. Dengan wilayah kerja Aceh sekarang berapa idealnya staf yang benar-benar profesional," sebut Fuad Hadi SH MH menjawab Dialeksis.com, di penghujung Mei 2019.
Pernyataan kurangnya SDM mestinya menjadi perhatian khusus kepala Ombudsman di Aceh, dalam hal ini, Taqwaddin. Sumber daya manusia bukan saja persoalan personil, melainkan juga bicara masalah kompensasi, manajemen kinerja, pengembangan keselamatan, kesejahteraan, manfaat, motivasi karyawan, dan efektivitas motivasi itu sendiri. Sudahkan Taqwaddin melakukan ini semua dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Ombudsman Aceh?
Tentu persoalan ini bisa berbeda jika dipandang dari sudut lain, meski kurang SDM, namun jika pemimpin fokus dan dapat memberikan kontribusi besar bagi arah pembenahan kelembagaan secara keseluruhan dan pencapaian tujuan dan sasarannya. Ia bisa memainkan peran strategis dalam mengelola manusia dan budaya serta lingkungan tempat kerja yang unggul, bukan mengeluh, menyerah dan menciptakan alasan belaka.
Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar, Mei lalu sempat juga memberikan komentar ketika ditanya Dialeksis.com. Misalnya, dia menyoroti statement Ombudsman di media massa yang mendesak gubernur anggarkan dana yang cukup untuk biaya isbat nikah korban konflik.
"Itupun karena ane sampaikan ke Pak Nova (Gubernur Aceh_red). Kasihan korban yang masih pegang buku nikah GAM, sampai sekarang anaknya tidak ada akte kelahiran, tidak bisa naik haji dan mengakses lapangan publik lainnya," sebut Zulfikar.
Dia menambahkan, "Itu ane sampaikan bukan dalam bentuk laporan, namun secara lisan. Namun Ombudsman tidak merespon, Ombudsman tidak melakukan apa-apa untuk ini."
Tokoh masyarakat di Banda Aceh, Arifin Muhktar, kepada Dialeksis.com juga mengatakan, Ombudsman jangan hanya bicara keluhan, anjuran, dan sudah menyarankan ini dan itu, tapi sebaiknya juga memberikan edukasi agar masyarakat tambah pintar, bukan sebaliknya.
Arifin menyoroti salah satu teguran Ombudsman kepada Pemerintah Aceh, terkait kecelakaan di Jembatan Pango, Banda Aceh, yang menimpa dua remaja. "Jelas-jelas jembatan itu urusan Kota Banda Aceh, eh kok malah yang disebut pemerintah Aceh. Ini namanya gagal fokus," kata Arifin yang juga seorang pengusaha itu.
"Kalau bisa persoalan terkait instansi, disampaikan kepada instansinya, jangan terlalu banyak umbar di media. Yang ada malah menambah persoalan, bukan menyelesaikan," kata Arifin.
Salah seorang pengamat organisasi di Banda Aceh, Zainul Mustafa, menganggap Ombudsman terlalu latah dan tidak fokus, bisa jadi dianggap bagian dari keluhan kurang SDM tersebut.
Menurut Zainul, Ombudsman fokus saja pada perubahan dan penataan pengembangan sumberdaya manusianya dulu. Pemanfaatan peran strategis karyawan sangat penting bagi keberhasilan organisasi agar mereka profesional secara SDM untuk pengembangan kinerja dan hal lain yang dianggap perlu.
"Jangan malah terlihat sangar di luar, dalam organisasi masih rentan. Kalau ini terjadi secara organisasi, terlihat kalau pimpinan kerja sendiri. Mana bisa ini dianggap berhasil," kata Zainul.
Menurutnya profesionalitas pimpinan itu bisa berhasil jika orang yang dipimpin juga mampu, bukan sebaliknya. Ini bagian penting komitmen seorang pemimpin.
Mengembangkan Kemampuan Mendengar
Menarik, pendapat Zainal. Dan barangkali ini menjadi masukan penting: Ombudsman Aceh perlu mengembangkan kemampuan mendengar, tidak menajamkan kemampuan bicara saja.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang bertekad mewujudkan penyelenggara pemerintahan yang baik (good governance).
Kehadiran Lembaga Ombudsman diharapkan mampu mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan kota dan kabupaten yang bersih, demokratis, transparan dan akuntabel serta bebas dari KKN.
Ombudsman juga bagian dari pemerintah. Harusnya terus melakukan upaya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam bidang apapun.
Dukungan perlu dilakukan agar meningkat di semua sektor, termasuk membangun badan atau lembaga yang membantu kerja-kerja pemerintah, guna mempertajam lembaga-lembaga yang bisa mengakomodir informasi yang beredar di masyarakat agar bisa didapatkan penyelesaiannya.
Ombudsman adalah partner yang menarik bagi pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan menyelesaikan tanggung jawab pemerintah yang tak mungkin bisa dirangkul di kabupaten/kota di Aceh. Seharusnya bergandeng tangan, bukan menciptakan perbedaan.
Dalam catatan monitoring Dialeksis sepanjang 2018-2019, judul-judul pemberitaan terkait Ombudsman juga bertumpu pada narasi, "seharusnya pemerintah", sangat minim pemberitaan tentang edukasi.
Secara detil pemerintahan baik pusat dan daerah seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang fokus kepemimpinan ini jelas memberikan arah dan tujuan yang baik dalam melakukan evaluasi-evaluasi yang benar.
Tujuannya untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang secara konkrit bisa membantu pemerintah menyelesaikan masalah yang dihadapi kepemimpinan dalam sebuah lembaga, seperti Ombudsman yang membutuhkan leadership yang baik dan humanis yaitu tidak berpihak kepada satu hal tetapi berpihak pada hal yang lain secara berimbang.
Ombudsman patut mendengar petuah Dekan Fakultas Hukum Unsyiah, Prof Dr Ilyas Ismail akhir Mei lalu, melalui Dialeksis. "Ombudsman harus melalukan hal besar baik terhadap pelayanan publik yang dikomplian ataupun tidak. Jangan fokus pada hal-hal yang membuang energi," sarannya.
Ada tugas dan wewenang ombudsman yang tak kalah pentingnya, yakni melakukan usaha pencegahan dalam ketidaksesuaian pelayanan publik. "Artinya ombudsman mengingatkan, memberikan solusi kepada pelayanan publik, untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik yang prinsipil, bukan hanya sekedar menerima laporan masyarakat," sebut Prof Ilyas..
Semoga Ombudsman Aceh bisa menyelesaikan keluhan internalnya terkait kurangnya SDM dan menjaga fokusnya, yang bisa menjadi cara baik untuk meningkatkan kualitas kerja.
Dari Ombudmasn Aceh kita belajar, banyak karyawan sulit bekerja bukan saja karena tidak mampu, tapi juga tidak mampu mengelola pemimpinya. Selamat bekerja, Ombudsman Aceh. (*)
Penulis: Nasrul Rizal, Peneliti Jaringan Survei Inisiatif