kip lhok
Beranda / Analisis / Al-Quran, Transmigrasi, Ancam Keuchik: Strategi Sekber Golkar Aceh dalam Pemilu 1971, 1977, dan 1982 (Bagian 3)

Al-Quran, Transmigrasi, Ancam Keuchik: Strategi Sekber Golkar Aceh dalam Pemilu 1971, 1977, dan 1982 (Bagian 3)

Jum`at, 22 Januari 2021 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Penulis: Bisma Yadhi Putra

Hasil Pemilu 1971 juga menunjukkan partai Islam tak gagal dengan kondisi babak belur di semua kabupaten. Usaha Golkar Aceh menghabisi pengaruh partai Islam rupanya tak gampang. Di Aceh Besar, Golkar dan Parmusi seri. Masing-masing mendapat lima kursi di DPRD Aceh Besar (“Keanggotaan DPRD TK II Aceh Besar 1”, DPKA, AC07-54/11).

Ketidakberhasilan ini sebenarnya ketakutan lama Bupati Aceh Besar T. Bachtiar Panglima Polem. Sebelum Pemilu 1971, dia telah lama dibujuk banyak orang berpengaruh agar bersedia menjadi Bupati Aceh Besar. Salah satu yang sering “memohon” adalah Gubernur Walad. Alasan Polem banyak menumang karena mencemaskan satu hal: “Nanti saya dipersalahkan kalau Golkar kalah” (“Tengku yang Dibujuk-bujuk”, Tempo, 19 Februari 1977). Dan Golkar memang gagal juara di Aceh Besar. Tetapi di kabupaten lain, juga untuk lingkup provinsi, berhasil.

Salah satu kabupaten tempat Golkar menang besar adalah Aceh Tengah. Dari 18 kursi DPRD Aceh Tengah yang diperebutkan pada Pemilu 1971, Golkar berhasil mengaut sebanyak 13, Parmusi dapat 2, sedangkan sisa 3 kursi masing-masing jadi milik Nahdlatul Ulama, PSII, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Mereka semua dilantik dengan SK Gubernur Aceh (atas nama Mendagri) Nomor 236/1971 (“Keanggotaan DPRD-GR Tk. II Aceh Tengah 1”, DPKA, AC07-57/13 [B]). Sementara jatah untuk Fraksi ABRI 5 kursi.

Dari total 23 orang itu, ada anggota dewan dari Golkar yang usianya masih cukup muda. Ketika ikut pemilu, Zulaicha Abdul Manaf masih berusia 25 tahun (saat dilantik usianya sudah 26 tahun). Wanita yang lahir di Wihni Bakong ini saat itu statusnya belum menikah. Sayangnya tidak ada arsip yang menjelaskan apakah waktu dilantik yang bersangkutan sudah memiliki pacar atau belum.

(Daftar Anggota DPRD Aceh Tengah Tahun 1971)

Hasil pemilu di Aceh Tengah juga merupakan bukti sempurna keberhasilan Golkar Aceh menekuk pengaruh partai Islam. Sebelumnya, Parmusi dan PSII dalam DPRD-Gotong Royong Aceh Tengah masing-masing menguasai 3 kursi. NU menempati 2 kursi. Setelah pemilu semua partai Islam ini menurun jumlah kursinya. Tetapi jika dibandingkan dengan PI Perti nasib ketiganya tak seberapa menyedihkan. Dalam keanggotaan DPRD-GR Aceh Tengah, PI Perti punya 1 kursi atas nama Wahidin Mahmud.

Dua buah kandas: 1977 dan 1982

Sayangnya persuasi untuk tujuan jangka pendek itu pada kemudian waktu mendatangkan keterpurukan beruntun. Teror memang berhasil, tetapi jelas bikin korbannya gusar. Sementara persuasi akhirnya disadari semata bungkusan manipulasi. Warga gampong diberikan bermacam bantuan agar sudi memilih, lalu ditinggalkan setelah Golkar menang. Kekecewaan atas sejumlah kebijakan negara buatan Soeharto turut memperluas ketidaksenangan.

Saat banyak orang mulai menanggalkan kesudiannya pada Golkar, partai-partai Islam”yang tidak kalah dengan babak belur sebelumnya”dilihat sebagai tempat paling masuk akal untuk pulang. PPP, partai Islam yang pakai gambar Kakbah di logonya, dengan cepat disukai banyak orang Aceh. Dukungan terhadap partai Islam ini pun dihubungkan dengan sisi keimanan diri.

Kekecewaan terhadap Golkar dan rasa senang pada PPP nantinya dinyatakan orang Aceh dalam Pemilu 1977 yang hasil akhirnya begini: PPP berhasil menempatkan 18 anggotanya di DPRD Aceh, Golkar meraih 15 kursi, PDI cuma 1, dan jatah untuk Fraksi ABRI 6 kursi. Golkar Aceh kalah, dan tokoh-tokoh seniornya tidak suka.

Salah satu tokoh yang bereaksi atas kejatuhan tersebut adalah Kasim Tagok. Waktu itu Tagok sudah menjabat Bupati Aceh Selatan. Sementara di Golkar Wilayah Sumatera Utara dia Ketua Umum Dewan Pimpinan Pembangunan Nasional. Dengan maksud memantapkan lagi kekuatan Golkar Aceh, Tagok mengajukan sebuah konsepsi kepada Presiden Soeharto. Di dalamnya diusulkan agar ditempatkan sebanyak satu juta transmigran dari Pulau Jawa di Aceh. Tetapi menurut penjelasan Tagok kemudian, konsepsi itu dirancang oleh tokoh-tokoh publik yang peduli pada Golkar dan program pembangunan pemerintah. Dengan demikian dia berusaha meyakinkan Soeharto bahwa ide tersebut bukan dari internal Golkar, melainkan buah pikiran yang datang dari masyarakat.

Agar Soeharto tak bingung mengapa angkanya harus satu juta, juga apa manfaatnya secara politik, Tagok menjelaskan lebih lanjut: 

“1.000.000 transmigrasi dari Pulau Jawa diintegrasikan langsung dengan 2.000.000 jiwa penduduk Aceh, dengan sistem demikian segera dapat melenyapkan kefanatikan dan daerahisme. Integrasi penduduk Aceh dengan transmigrasi dari Pulau Jawa dapat mencapai pembangunan daerah yang merata, pembangunan masyarakat, dan memenangkan Golongan Karya Pemilu Yad (yad = yang akan datang”pen)” (“Pembangunan Daerah dan Memenangkan Golongan Karya di Daerah Aceh”, Arsip Setwapres, HB IX 495-1).

Anjuran tersebut disampaikan setelah Pemilu 1977. Dikirim melalui sebuah surat bertanggal 10 Juni 1977 (Nomor 985/DPK/PN/VI/GOLKAR/1977). Sementara pemilu sudah berlangsung sebulan lalu, 2 Mei 1977. Jadi, saran penempatan sejuta transmigran Jawa dipengaruhi oleh kekalahan Golkar di Aceh. Dengan program tersebut pada Pemilu 1982 diyakini Golkar Aceh bisa berjaya lagi.

Hubungan usulan transmigrasi dengan kekalahan Golkar Aceh ini penulis ketahui setelah memeriksa sebuah surat yang dikirim Badan Pembina Kesatuan Veteran RI (BAPKVRI) pada 26 Juli 1977 kepada Soeharto. Dalam surat tersebut, Ketua Umum DPP BAPVKRI Teuku Nyak Razali membeberkan: “Konsepsi Golongan Karya Pembangunan Wilayah Sumatera tsb. dibuat dan dicetuskan setelah Golongan Karya didaerah Aceh Pemilu 2 Mei 1977 mengalami kekalahan yang sangat meyolok sehingga kemenangan telah dicapai oleh Golongan Parpol” (“Dukungan terhadap Saudara Drs. A L M Y untuk Jabatan Wakil Gubernur Kdh. Istimewa Aceh”, Arsip Setwapres, HB IX 495-7, 13 September 1973).

Artinya transmigrasi memang punya sisi politis. Tidak murni untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Dugaan banyak orang Aceh bahwa ada siasat Orde Baru di balik transmigrasi tak salah.

Segala upaya rupanya tak mendatangkan hasil seperti tahun 1971. Pada Pemilu 1982, Golkar lagi-lagi kalah di Aceh. Kerja menguasai banyak gampong berakhir gagal. Padahal ancaman pemecatan terhadap keuchik masih dimainkan. Malah sebelum Pemilu 1982 upaya menundukkan para keuchik mulai diperkuat dengan penerapan politik “kalau aku tidak dapat, yang lain juga tidak boleh dapat”. Supaya cara main baru ini lancar di lapangan, para camat diberikan kewenangan untuk menjegal orang-orang partai politik yang ingin jadi keuchik.

Ambillah contoh kebijakan Bupati Aceh Besar. Tanggal 20 Juni 1979, Polem mengirim sebuah telegram bernomor R 141.015 yang ditujukan kepada semua camat dalam wilayah kekuasaannya. Surat kawat ini bersifat “Kilat/Rahasia” (“Salinan Formulir Berita Bupati Aceh Besar No.R.141/015 Tanggal 20 Juni 1979 Tiap Penggantian Imum Mukim, Keuchik, dan Sekretaris Gampong Harus Dipegang oleh Orang-orang Golkar atau Sekurang-kurangnya Orang-orang Non Parpol Tahun 1979”, DPKA, AC13-21/2).

Para camat diperintahkan mengirim tiga atau lebih nama calon keuchik setiap kali akan ada penggantian. Identitas masing-masing nama juga mesti disertai. Semua calon tersebut dituntut “harus benar-benar orang Golkar”. Tetapi kalau tidak bisa mengangkat simpatisan atau anggota Golkar maka keuchik baru setidaknya bukan simpatisan atau anggota partai politik. Begini bunyi perintahnya:

“Tiap penggantian Imeum Mukim, Keuchik dan Sekreataris Gampong tetap harus dipegang oleh orang orang Golkar atau sekurang-kurangnya orang-orang non parpol … Diminta kepada saudara pelaksanaan dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab”.

Duduknya orang netral sebagai pengurus pemerintahan gampong akan memudahkan penumbuhan rasa suka pada Golkar. Pasti sulit memengaruhi orang yang sudah (lama) menjadi anggota musuh, apalagi yang dari partai Islam. Lebih mudah membuat orang yang belum punya rumah mau berteduh di bawah beringin.

Cara, orang, dan harapan baru

Di internal Golkar Aceh, kekalahan beruntun tersebut rupanya cenderung dilihat sebagai akibat masih besarnya pengaruh partai Islam. Sementara strategi “untuk sementara” (jangka pendek) yang mengecewakan banyak orang, termasuk kelemahan-kelemahan di internal, tampaknya kurang dilihat sebagai penyebab kekalahan. Menyalahkan kebijakan Soeharto sebagai penyebab lainnya lebih-lebih tak mungkin (sebenarnya tak berani). Biang keroknya tetap partai Islam.

Keluhan demikian misalnya disuarakan Ketua Fraksi Karya Pembangunan DPRD Aceh Abdullah Masri: “Kami di Aceh memang belum beruntung, karena orang-orang tua ternyata masih suka kepada partai Islam”. Ibrahim Hasan yang dilantik sebagai Gubernur Aceh sebelum Pemilu 1987, dan punya semangat membangkitkan Golkar di daerahnya lagi, juga bepikir demikian: karena partai Islam sudah dominan sejak lama (“Ibrahim tanpa Sapu”, Tempo, 6 September 1986).

Di tingkat pusat rupanya ada penilaian lain. Ketua Umum Golkar Sudharmono tidak menyangkal pengaruh partai Islam begitu kuat di Aceh. Namun dia menduga kekalahan juga disebabkan masalah kelemahan internal. Ditanyai mengapa “Pohon Beringin” susah tumbuh di Serambi Mekkah, Sudharmono menjawab: “Barangkali ya kurang jelas saja kader-kader Golkar (Aceh) menjelaskan tentang Golkar. Itu saja” (“Sepah tak Akan Dibuang”, Tempo, 6 September 1986). Komentar Sudharmo bertolak belakang dengan penjelasan Markas Daerah Hansip/Wanra-I Aceh yang dituangkan dalam laporan kerja tahun 1970.

Menurut laporan “Rahasia” bertanggal 1 Maret 1971 tersebut: “Untuk Sekber-Golkar karena bukan merupakan Partai Politik dan memang betul2 suatu wadah organisasi dari Golongan Karya, maka masjarakat Atjeh setelah sering menerima pendjelasan dan penerangan2 dapat menerima dan menanggapi dengan baik terbukti dalam waktu jang sesingkat itu Sekber Golkar di Daerah Istimewa Atjeh berkembang dengan pesatnja” (“Data-data Pemilihan Umum Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 1970-1971 [407/77], DPKA, AC08-215).

Apa pun pendapat soal kekalahan beruntun itu, harapan dibangkitkan kembali menjelang Pemilu 1987. Angin segar itu berembus manakala Ibrahim Hasan jadi gubernur baru. Orang-orang Golkar Aceh optimis Gubernur Hasan mampu mengembalikan kejayaan, membuat Golkar Aceh berhasil lagi mengalahkan partai-partai Islam. Apalagi terpilihnya dia sebagai Gubernur Aceh juga berkat dukungan PPP. Meskipun yang didukung semua anggota Fraksi Persatuan Pembangunan di DRPD Aceh adalah orangnya, bukan organisasinya. Dukungan “aneh” ini dijelaskan oleh Wakil FPP M. Yahya Luthan: “Saya tidak memilih Golkar, tapi memilih Ibrahim Hasan”.

Gubernur Hasan paham situasi. Dia tak gegabah memastikan Golkar pasti akan menang lagi di Aceh. Pandangannya: “Lapangan Aceh ini berat … Saya berupaya maksimal supaya Golkar menang di sini”. Fachry Ali, komentator politik yang waktu itu sedang menyelesaikan program doktornya di Monash University, juga menilai positif. Katanya, Golkar sebenarnya masih sesuatu yang asing di Aceh dan “Ibrahim Hasan membuat barang asing tadi menjadi akrab dengan rakyat” (“Menang tapi Kehilangan”, Tempo, 20 Juni 1992).

Keberhasilan Golkar Aceh semasa Gubernur Hasan juga tak lepas dari penerapan persuasi-teror oleh kekuatan-kekuatan di dalam KINO. Pada Pemilu 1992, Golkar menang dengan 58 persen suara. Menduduki enam kursi DPRD Aceh. Bertambah satu dari Pemilu 1987. Ibrahim Hasan mampu memastikan satu hal lama tetap bekerja baik: “Di Aceh, semua aparat birokrasi memilih Golkar”. Sementara di lapangan, teror dilakukan alat-alat negara dengan mencap orang yang tidak mendukung Golkar berarti pendukung GPK.

Kalau sudah dicap demikian urusannya bukan lagi dengan orang-orang baju kuning. Siap-siap saja, mungkin setelah salat Isya, pintu rumah akan diketuk orang-orang baju hijau.

Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti. Tinggal di Banda Aceh.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda