Beranda / Analisis / Adu Kuat Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019

Adu Kuat Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019

Selasa, 18 Desember 2018 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Saddam Rassanjani*

Kontestansi Pemilihan Umum (Pemilu) di Aceh selalu menjadi bahan yang menarik untuk disimak dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan, adalah keberadaan dari partai politik lokal (parlok) yang menyebabkan mengapa kontestasi Pemilu di Aceh selalu menjadi fokus utama pembicaraan para penggiat pemilu dan partai politik di ranah akademik maupun di forum-forum diskusi warung kopi dan sebagainya.

Keikutsertaan partai politik lokal di Pemilu legislatif merupakan hak eksklusif yang hanya diberikan Pemerintah Indonesia untuk Propinsi Aceh, dan hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Hanya saja, partai politik lokal ini cuma boleh mengirimkan kader terbaiknya untuk mengemban amanah di level propinsi dan kabupaten/kota saja, yaitu; Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) untuk pemilihan tingkat legislatif, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota untuk pemilihan level eksekutif.

Melihat sepintas ke belakang, Pemilu Legislatif tahun 2009-2014 merupakan titik awal kebangkitan euphoria politik masyarakat Aceh. Pada periode tersebut sebanyak sepuluh partai politik lokal mendaftarkan diri di kantor kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh, dan hanya enam yang berhasil lolos proses verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Ajeh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS).

Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2009 ini total diikuti oleh 44 parlok dan parnas, dan mereka bertarung memperebutkan 69 kursi DPRA. Hasil perolehan suara dan kursi dari enam partai politik lokal menurut data KIP Aceh tahun 2009, yakni Partai Aceh dengan perolehan 1.007.173 suara (46,91%) dengan jumlah kursi 33. PDA memperoleh 39.706 suara (1,85%) dan mendapat 1 kursi di parlemen. Sementara empat parlok lainnya tidak memperoleh kursi diparlemen. Partai SIRA, PRA, PBA, dan PAAS masing-masing memperoleh suara sebanyak 38.157 (1.78%), 36.574 (1.70%), 16.602 (0.77%), dan 11.117 (0.52%).

Ketentuan electoral threshold alias ambang batas peserta pemilu akhirnya membatasi hak sejumlah partai politik lokal yang berkiprah pada Pemilu Legislatif 2009-2014 untuk kembali mengikuti pertarungan pada Pemilu Legislatif 2014-2019.

Aturan yang mensyaratkan setiap partai politik harus mendapatkan minimal lima persen suara pada pemilu sebelumnya agar bisa kembali mengikuti ajang politik tahun selanjutnya mengakibatkan lima dari enam partai harus rela untuk tidak ikut berkompetisi. Otomatis, hanya Partai Aceh (PA) saja yang langsung berhak atas satu nomor undian pada periode kedua ini.

Kemudian, berdasarkan hasil verifikasi faktual dari penyelenggara pemilu di Aceh pada tahun 2014, akhirnya memutuskan untuk meloloskan Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Damai Aceh menemani Partai Aceh (PA) untuk bersaing dalam memperebutkan suara dari masyarakat Aceh.

Pileg yang dilaksanakan pada tanggal 09 April 2014 ini total diikuti oleh 15 parlok dan parnas, dan memperebutkan 81 kursi DPRA. Berikut adalah hasil perolehan suara dan kursi dari tiga partai politik lokal yang diambil dari data KIP Aceh tahun 2014. Partai Aceh dengan perolehan 847.956 suara (35.34%) dengan jumlah kursi 29. PNA memperoleh 113.452 suara (4.73%) dan mendapat 3 kursi di parlemen. PDA memperoleh 1 kursi di DPRA dengan perolehan suara 72.721 (3.03%).

Adapun gelombang ketiga pesta politik lokal Aceh akan diselenggarakan pada 19 April 2019. Terdapat enam partai politik lokal yang mendaftarkan diri ke KIP, yaitu; Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Daerah Aceh (PDA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Geuneurasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa (GABTHAT), dan Partai Gerakan Rakyat Aceh Mandiri (GRAM).

Sayangnya, dua nama terakhir harus kandas ditengah jalan karena tidak lolos verifikasi faktual penyelenggara lokal. Jadi, Pemilu Legislatif Aceh periode 2019-2024 akan diikuti oleh sebanyak empat partai politik lokal, dan tidak lupa enam belas partai politik nasional.

Dalam menyongsong dan menyemarakkan Pemilu Legislatif Aceh 2019, berikut penulis tampilkan sekilas profil dan peta partai politik lokal yang akan berkompetisi.

Partai Aceh (nomor urut 15)

Sejarahnya partai ini merupakan tranfromasi dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akhirnya meninggalkan medan perang menuju meja politik. Sebelum memprakarsakan diri dengan sebutan Partai Aceh, partai ini sempat dua kali berganti nama, yaitu Partai Gerakan Aceh Merdeka dan Partai Gerakan Aceh Mandiri.

Ternyata, keinginan para founding father untuk tetap mempertahankan akronim GAM pada tubuh partai mendapat penolakan keras dari pemerintah pusat, akhirnya pada 22 April 2008 semua sepakat untuk memakai nama Partai Aceh.

Saat ini, partai yang lahir langsung dari rahim MoU Helsinski antara GAM dengan pemerintah RI tahun pada 2005 silam ini bisa dikatakan sebagai partai lokal tersukses dan terbesar di Aceh karena memiliki basis dukungan masyarakat di hampir seluruh daratan dan pesisir Aceh. Hal ini bisa dilihat dari hasil Pileg periode-periode sebelumnya dimana setiap daerah pemilihan hampir dikuasai penuh oleh partai yang dimotori oleh eks kombatan GAM ini.

  • Caleg potensial: Tgk. Akhyar Rasyid, Ridwan Abubakar, dan caleg incumbent lainnya.
  • Dapil potensial: Dapil 1, Dapil 2, Dapil 3, Dapil 5, Dapil 6, Dapil 7, Dapil 9, Dapil 10

Partai SIRA (nomor urut 16)

Merupakan alumni Pileg 2009 yang harus rela cuti pada Pileg 2014 karena aturan electoral threshold. Kini kembali lagi dengan nama yang sama dengan bendera yang sedikit berbeda.

Pada dasarnya SIRA telah eksis jauh sebelum partai politik lokal diperbolehkan di Aceh. Awalnya SIRA adalah singkatan dari Sentral Informasi Referendum Aceh, yaitu sebuah wadah bagi para aktivis mahasiswa yang mendukung dan mengkampanyekan kemerdekaan (referendum) Aceh pada awal masa reformasi dan darurat militer di Aceh, dan barulah pada tahun 2007 kelompok kepentingan ini akhirnya bertranformasi menjadi sebuah partai politik lokal.

Pengalaman masuk dalam top 10 peraih suara tertinggi pada Pileg 2009 menjadi modal awal partai ini untuk kembali eksis di percaturan politik lokal di Aceh.

  • Caleg potensial: Abdul Hadi (Bang Joni)
  • Dapil potensial: Dapil 5

Partai Daerah Aceh (nomor urut 17)

Partai lokal yang satu ini belum pernah absen dalam tiap edisi pertarungan calon legislatif tingkat daerah. Sama halnya dengan Partai Aceh, tahun 2019 nanti akan menjadi yang ketiga kalinya berpartisipasi.

Uniknya, tiap periode pemilihan muncul dengan nama dan bendera yang berbeda-beda, tapi tetap mempertahankan akronim yang sama yaitu PDA, yaitu; Partai Daulat Aceh (2009), Partai Damai Aceh (2014), dan Partai Daerah Aceh (2019). Hasilnya mereka berhasil mengamankan satu kursi DPRA tiap periodenya, mungkin ini alasan mengapa partai yang didirikan oleh para ulama Dayah (pesantren tradisional di Aceh) betah untuk sering gonta-ganti nama, karena satu kursi di level propinsi sepertinya sudah jadi milik partai yang memiliki basis suara dari santri dan tengku dayah se-Aceh ini.

  • Caleg potensial: Safir (Firsa Agam)
  • Dapil potensial: Dapil 1

Partai Nangroe Aceh (nomor urut 18)

Sebagian tokoh penting dan eks kombatan GAM yang tidak betah di PA berpindah haluan ke partai politik lain. Bahkan kader-kader terbaik partai yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dengan baik oleh PA akhirnya melahirkan partai baru yang bernama Partai Nasional Aceh (PNA).

Ikut berpartisipasi pada Pileg 2014, partai besutan Irwandi Yusuf cs ini berbagi nasib dengan PDA karena tidak mampu melewati ambang batas peserta pemilu, namun dalam hal perolehan kursi sedikit lebih beruntung karena berhasil mengirimkan tiga nama ke DPRA. Kemudian, demi mengikuti pergelarakan pesta politik 2019, partai yang didirikan pada tahun 2012 ini harus rela berpindah atribut dan berganti nama menjadi Partai Nanggroe Aceh.

  • Caleg potensial: Darwati A. Gani, Irwansyah, Zuhdi (Bergek)
  • Dapil potensial: Dapil 1, Dapil 3, Dapil 5

Paska Pilgub Aceh 2017, peta percaturan politik di Aceh mengalami perubahan yang bisa dibilang cukup signifikan. Jika sebelumnya banyak pengamat pemilu dan partai politik meniscayakan Partai Aceh akan dengan mudah menggulingkan lawan-lawan politiknya, maka opini yang berkembang sekarang meyakini bahwa partai pimpinan Muzakir Manaf tersebut akan mengalami kesulitan untuk terus mendominasi peta perpolitikan di Aceh.

Pertama, melihat track record keikutsertaan partai bercorak merah-hitam ini dalam kontes legislatif dan eksekutif menunjukkan penurunan. Pilkada serentak tahun 2017 lalu menjadi sinyal melemahnya hegemoni Partai Aceh, setengah dari 20 pasangan yang diusung dan didukung oleh PA harus tumbang, angka tersebut sudah termasuk Pilgub.

Kemudian, sebelum kalah dalam Pilgub 2017, PA sudah duluan kehilangan hampir 12% suara pada Pileg 2014, padahal pada keikutsertaan pertama mereka pada Pileg 2009 hampir melahap 50% suara rakyat Aceh.

Beberapa penyebab lain yang melatar belakangi trend negatif yang sedang dialami oleh Partai Aceh, diantaranya seperti konflik internal di tubuh partai yang menyebabkan beberapa tokoh penting yang biasanya menjadi vote getter hengkang ke partai sebelah, contohnya eksodus beberapa kader dan simpatisan ke PNA tahun 2014 lalu.

Kemudian, terdapat banyak janji politik yang belum ditunaikan, dan masyarakat juga sudah jengah dengan prilaku elit Partai Aceh yang masih kerap melakukan serangkaian politik intimidasi. Lebih lanjut, keberadaan PA diluar jajaran eksekutif sejak 2017 ternyata ikut melemahkan ruang partisipasi mereka dalam ranah pengambilan kebijakan, contohnya akses mereka terhadap anggaran yang hilang sejak dipergubkannya APBA 2018. Hal ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pendanaan pemenangan partai pada Pileg 2019 nanti.

Terakhir, fokus kader dalam memenangkan PA di level DPRA sedang terpecah, terdapat sejumlah ujung tombak partai berkeinginan mencicipi kursi DPR-RI melalui jalur partai nasional seperti Muharuddin (Nasdem), Azhari Cage (PBB), Kautsar (Demokrat), dan Abdullah Saleh (Gerindra). Walaupun sedang berada diposisi yang tidak mengenakkan, Partai Aceh diyakini akan tetap memimpin klasemen perebutan kursi Pileg 2019, dengan kemungkinan akan kehilangan suara yang lebih-kurang 5-10% dari suara pada Pileg edisi sebelumnya.

Bagi sejumlah lawan politik Partai Aceh, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mencuri beberapa kursi DPRA milik yang dinahkodai oleh Muzakir Manaf. Partai nasional seperti Golkar, Demokrat, dan Nasdem tentu berambisi untuk melampaui pencapaian pada periode sebelumnya, yaitu minimal 10 kursi, sesuatu yang dirasa bukan hal yang mustahil. Sementara itu, mission impossible untuk dapat berbicara banyak pada Pileg 2019 dihadapi oleh partai politik lokal, yakni PDA, SIRA, dan juga PNA.

Secara finansial dan nilai jual, PDA sedikit lebih beruntung karena memiliki akses terhadap kekuasaan akibat tergabung dalam koalisi pemenangan Irwandi-Nova pada Pilgub 2017 lalu.

Berbeda halnya dengan SIRA yang cukup lama vakum dari persaingan politik Aceh, karena hal ini secara tidak langsung bisa mempengaruhi antusiasme caleg dan relawan untuk bergabung dalam pemenangan partai arahan eks Wagub Aceh ini.

Secara struktural dan dukungan, PDA cukup kokoh karena memiliki basis dukungan dari ulama dan santri Dayah se Aceh. Sementara itu, pondasi partai SIRA terlihat rapuh dimana pernah terjadi dualisme akibat adanya perbedaan pandangan politik, bahkan tahun 2012 sempat muncul Partai SIRA Perjuangan yang sekarang entah bagaimana kabarnya.

Akhirnya, jika dilihat kesamaan antara keduanya adalah sama-sama mengalami krisis tokoh dan sangat bergantung pada one-man show dari Tgk Muhibbussabri A. Wahab (PDA) dan Muhammad Nazar (SIRA). Maka, mendapatkan satu kursi saja pada Pileg 2019 nanti sepertinya merupakan sebuah prestasi bagi kedua partai tersebut.

Sementara itu setahun menjelang 2019, antusiasme dan optimisme tinggi sebenarnya pernah hinggap di segenap pengurus, kader, dan simpatisan PNA. Keberhasilan mengantarkan IrwandiYusuf kembali ke singgasana Aceh 1 merupakan modal awal yang sangat diharapkan dapat menular pada Pileg 2019 nanti, menguasai eksekutif otomatis bisa menjadi magnet tersendiri untuk menggaet sejumlah tokoh untuk bertarung dibawah panji PNA. Namun bencana itu datang menghampiri sejak mesin utama partai el-capitano Irwandi Yusuf diboyong oleh KPK ke Jakarta, sehingga bisa diibaratkan posisi PNA saat ini bagai sebuah keluarga yang kaya mendadak lalu miskin mendadak setelah ditinggal oleh sang kepala keluarga.

Kemudian, selain krisis tokoh ditingkat atas, krisis tokoh di level caleg juga menyelimuti partai yang identik dengan warna oranye ini. Stok tokoh melimpah di Dapil 1 (Sabang-Banda Aceh-Aceh Besar), namun tidak dibarengi dengan dapil lainnya. Amat sangat disayangkan memang, Irwandi effect yang awalnya diharapkan dapat kembali menciptakan keajaiban jilid 2 seperti yang telah terjadi pada Pilgub 2017 bisa dipastikan bakal urung terwujud.

Secara keseluruhan, tidak ada satupun partai politik lokal yang menyongsong Pileg 2019 dengan kepercayaan diri penuh, sedikit-banyaknya semua berjalan dalam keadaan tertatih. Partai Aceh ditinggal oleh beberapa pilar penting macam Tgk. Muharuddin cs yang mencoba peruntungan di Senayan, sehingga harus memaksimalkan keberadaan dari beberapa incumbent yang masih siap sedia bertarung di level DPRA. Kemudian, PNA masih beruntung karena memiliki sesosok Kak Dar yang setia meng-cover ketika Bang Wandi sedang "cuti". Sementara itu, SIRA dan PDA lebih parah lagi.

Terlepas dari minimnya tokoh berpengaruh di tubuh partai, terdapat satu hal yang sangat mencuri perhatian pada Pileg Aceh edisi kali ini adalah kehadiran dari public figure lokal yang ikut merambah dunia perpolitikan lokal di Aceh, ada trio Bergek, Bang Joni, dan Firsa Agam.

Bergek (PNA) dan Bang Joni (SIRA) akan saling bertarung memperebutkan kursi di dapil yang sama yaitu Dapil 5 (Aceh Utara dan Lhokseumawe), keduanya sudah punya konstituennya masing-masing. Bergek yang masih muda bisa saja akan menggarap suara milenialnya Aceh. Kemudian, Bang Joni adalah aktor komedi yang digandrungi oleh rombongan pecinta Eumpang Breuh yang di dominasi oleh kaum emak-emak. Haji Uma saja mampu apalagi Bang Joni. Sementara itu, sempat menikmati kepopuleran di penghujung 90an, Firsa Agam maju di Dapil 1 (Sabang, Banda Aceh, dan Aceh Besar) lewat partai PDA, walaupun tidak berada di eranya lagi, pelantun tembang ie mata bahagia tidak boleh diremehkan.

Masyarakat pemilih semakin cerdas, peta politik bisa berubah, dan partai politik diharapkan segera berbenah. Besar harapan agar Pileg 2019 nanti dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa ada konflik yang bergejolak, sehingga masyarakat dapat memilih dengan tenang sesuai dengan pilihan hati bukan intimidasi.

Kemudian, partai politik agar bisa mengirimkan kader-kader terbaiknya yang memiliki visi untuk mengabdi bukan mengharapkan gaji, sehingga nantinya komposisi anggota dewan diisi oleh orang-orang yang berkualitas yang mampu mewakili suara dari konstituennya dengan baik. Aammiin.


* Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda