Beranda / Berita / Aceh / Walhi Sebut 2000 Hektar Hutan di Aceh Rusak Akibat Tambang Ilegal

Walhi Sebut 2000 Hektar Hutan di Aceh Rusak Akibat Tambang Ilegal

Minggu, 14 November 2021 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Aktivitas tambang emas ilegal di Kecamatan Sungai Mas dan Kecamatan Pante Cermin, Kabupaten Aceh Barat, Aceh semakin marak akibatnya ribuan hektare lahan hutan rusak. [Foto iNews TV/Afsah]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mencatat jelang akhir 2021 ini kegiatan pertambangan emas ilegal belum mampu diberhentikan secara permanen.

Walhi mencatat setidaknya sekitar 2000 hektare hutan di Aceh rusak akibat aktivitas tersebut. Direktur Walhi Aceh M Nur mengatakan, saat ini ekspansi kegiatan ilegal tersebut semakin luas dengan terbentuk lubang dan lokasi baru.

Sebaran pertambangan emas ilegal itu tersebar di wilayah Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Selatan.

Walhi mencatat pertambangan emas ilegal dilakukan dengan dua pola: lokasi tambang yang berada di pegunungan dilakukan melalui membuat lubang secara vertikal dan horizontal; pertambangan yang berada dalam kawasan sungai dilakukan dengan pola mengeruk pasir dan batuan menggunakan alat berat dan mesin sedot.

Kehadiran pertambangan emas ilegal ini, juga dinilai berdampak terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan kerusakan kawasan hutan.

“Dalam kurun 5 tahun terakhir, 2.000 hektare kawasan hutan rusak akibat aktivitas ilegal tersebut, dan tidak mustahil angka ini terus meningkat seiring dengan lemahnya penegakan hukum untuk menghentikan laju kerusakan,” kata M Nur seperti dilansir cnnindonesia, Jumat (12/11/2021).

Meluasnya aktivitas pertambangan ilegal ini, menjadi faktor terjadinya bencana ekologis di Aceh seperti banjir bandang, longsor, krisis kualitas air bersih, rusak badan sungai, dan konflik satwa-manusia.

Ia menegaskan harus ada upaya serius dari lembaga penegakan hukum untuk menyelesaikan persoalan pertambangan emas ilegal di Aceh.

“Penegakan hukum dan perbaikan tata kelola harus dilakukan sinergi, sehingga tidak terjadi persoalan baru di lapangan. Karena juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi masyarakat, sosial budaya, dan kepentingan ekologi,” ucapnya. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda