UU Cipta Kerja, Illiza: Kepentingan Buruh di Atas Segalanya
Font: Ukuran: - +
Reporter : Roni/Biyu
Anggota DPR RI Fraksi PPP asal Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Usai disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, berbagai aksi penolakan dari para buruh dan masyarakat dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia.
Para serikat pekerja di seluruh Tanah Air meminta dibatalkannya UU tersebut, karena dianggap menggerus hak buruh dan lebih berpihak kepada para investor.
Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR RI Fraksi PPP asal Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal saat dihubungi Dialeksis.com, Jum'at (9/10/2020) mengatakan, pihaknya pribadi belum mendapat draf yang utuh, karena saat ini sedang penyempurnaan terkait teknis penulisan yang sesuai dengan kaedah penulisan perundang-undangan, sementara substansinya tidak berubah.
"Kemudian di samping itu, sebagai anggota poksi Baleg di Fraksi PPP DPR RI, saya ditugaskan oleh fraksi untuk membahas undang-undang yang lain yakni RUU tentang BI, RUU tentang Ketahanan Keluarga, yang itu semua dilakukan bersamaan juga waktunya dengan pembahasan UU Cipta Kerja," jelas Illiza.
"Tapi perlu diingat, ada banyak juga hal positif terutama perubahan mendasar dalam Omnibus Law UU tentang Cipta Kerja yang mengatur ketenagakerjaan. Tidak semua berita yang tersiar di masyarakat itu adalah berita yang benar, banyak juga berita hoax yang tersebar," tambahnya.
Anggota DPR RI asal Aceh itu juga menjelaskan, yang diketahuinya rapat-rapat Panja RUU tentang Cipta Kerja Baleg sendiri sudah membuka ruang untuk partisipasi publik dalam menyampaikan aspirasi, misalnya pembahasan klaster ketenagakerjaan telah dilaksanakan tripatrit dengan melibatkan unsur serikat pekerja/buruh, dan unsur pengusaha seperti Kadin dan Apindo, yang telah melakukan 9 kali pertemuan dalam rentang 8 Juli-23 Juli 2020, dan juga sudah membuka informasi secara luas dan terbuka dan bisa disaksikan secara langsung dan umum.
Semua sidang-sidang pada saat pembahasan bisa di lihat melalui TV Parlemen, media sosial, media elektronik dan sidangnya bersifat terbuka, namun informasi tersebut tidak diakses oleh yang berkepentingan.
"Memang karena kondisi, kemudian ada banyak keterbatasan-keterbatasan, baik dari hearing (yang didengar), sharing (dibagikan), dan kemudian beberapa kealpaan dari banyak pihak tanpa terkecuali yang tidak berpartispasi secara aktif dari awal penyusunan hingga pembahasan di DPR, sehingga membuat ada beberapa aspirasi dari teman-teman pekerja atau buruh belum bisa diakomodir dalam UU ini," ungkap Illiza.
Meski demikian, lanjutnya, pihaknya mengapresiaisi kepentingan rakyat terutama buruh harus di atas segalanya. Menurut Illiza, dalam hal ini juga, masyarakat dapat melakukan Langkah-langkah konstitusional dengan mengajukan yudicial review terhadap UU tentang Cipta Kerja ini, bila dirasa banyak merugian apabila diberlakukan.
"Kami Fraksi PPP sendiri memasukkan beberapa klausul misalnya terkait perizinan TKA yang harus mendapat izin tertulis dari mengteri atau pejabat yang ditunjuk, hal ini untuk selektif dalam memperkerjakan TKA dan yang paling penting untuk melidungi serta menyerap tenaga kerja Indonesia secara optimal," jelas Illiza.
"Kemudian terkait Terkait pekerja kontrak (PKWT) tidak ada batasan kapan kontrak akan selesai. Hal ini berimplikasi membuat pelaku usaha terus menerus memakai pegawai kontrak. Ada kaitan dengan job insecurity atau ketidakpastian kerja," tambahnya.
Illiza melanjutkan, dibutuhkan regulasi terhadap perjanjian kerja untuk waktu tertentu agar senantiasa terjaga prinsip fairness diantara para pihak pemberi kerja dengan para pekerja.
Tidak adanya regulasi terhadap perjanjian kerja waktu tertentu berpotensi menimbulkan diskriminasi dan penipuan diantara para pihak yang terlibat (pemberi kerja dan pekerja).
"Kemudian terkait juga Terkait Upah minimum kami menginginkan adanya penghapusan dan dikembalikan ke UU Eksisting. Bahwa Upah minimum Kota/Kabupaten perlu dipertahankan. Karena biaya hidup dan inflasi di setiap kab/kota berbeda-beda. Sehingga Upah minimum yg ditetapkan gubernur belum tentu sesuai dengan kebutuhan pekerja di setiap kabupaten/kota," tambahnya.
"Meskipun ada beberapa saran kami yang tidak masuk atau tidak diakomodir dalam UU tersebut, tapi kami yakin bahwa substansinya bisa kami terima. Akan tetapi walaupun baik bagi kepentingan investasi, tapi juga ingat, kepentingan buruh di atas segalanya. Mereka adalah masyarakat yang menjadi pemilik sah negara ini, yakni rakyat. Dengan demikian, kita harus menampung dan mendengar aspirasi yang telah disampaikan," ujar Illiza.
"Dan terakhir, kepada masyarakat, saya berharap agar menyikapi ini dengan cerdas dan bijaksana serta memahaminya dengan utuh, bukan hanya UU tentang cipta kerja ini saja, akan tetapi semua perundang-undangan yang dibuat bersama-sama pemerintah dan DPR, masyarakat haruslah berperan aktif dalam memberikan masukkan serta saran melalui pintu-pintu yang bisa dijadikan sumber penyaluran aspirasi sebagai wujud kecintaan kita terhadap keadaan Indonesia saat ini," pungkasnya.