USK Banda Aceh Lakukan Identifikasi Hukum Adat di Aceh Timur, Ini Respons Budayawan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tiga akademisi dari Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh yang akan melakukan identifikasi hukum adat di Gampong Bunin, Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur dalam upaya menjaga warisan budaya masa lampau.
Ketiga akademisi USK yang akan mengidentifikasi dan mendokumentasi hukum adat tersebut yakni Adli Abdullah sebagai ketua tim, kemudian Sulaiman Tripa dan Teuku Muttaqin Mansur. Kegiatan itu juga difasilitasi oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA) Banda Aceh.
Merespons kegiatan tersebut, Budayawan dan Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid mengapresiasi penuh dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh pihak akademisi tersebut.
“Bagus, semestinya memang harus begitu. Karena itu adalah khazanah peninggalan adat masa lalu, baik itu reusam maupun hukum-hukum tertentu dalam adat istiadat yang ada di Aceh,” ujar Tarmizi saat dihubungi Dialeksis.com, Minggu (14/3/2021).
Ia meminta generasi muda Aceh sekarang, untuk lebih perhatian pada hukum adat istiadat dan mengidentifikasi mana-mana hukum yang sudah pudar dan masih berlaku di Aceh.
Ia juga berharap agar hasil dokumentasi hukum adat itu tidak hanya diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau Tuha Peut saja, melainkan juga diteruskan dan dibuat rekomendasi-rekomendasi kepada Majelis Adat Aceh (MAA), Wali Nanggroe, hingga ke MAA tingkat kabupaten/kota.
“Ketika kita mau berbuat untuk mengidentifikasi adat istiadat, mencatat nilai-nilainya yang ada dalam reusam, kemudian memilah reusam-reusam yang sudah tidak digunakan lagi di salah satu kampung di Kabupaten Aceh Timur itu adalah langkah yang sangat bagus sekali ini, baik sekali ini,” ungkap Tarmizi.
Di Aceh Timur, kata dia, hukum adat istiadat sangat erat melekat dengan masyarakatnya, di antaranya adalah Polisi Masyarakat Adat.
Tarmizi menjelaskan, pola Polisi Masyarakat Adat adalah masyarakat itu sendiri yang melakukan pengamanan atau menjadi “pageu gampong” (pagar kampung) di semua sektor desanya masing-masing. Mulai dari kestabilan gampong hingga kenyamanan para warga.
“Artinya, jika ada masalah-masalah di gampong tidak semuanya harus dilapor ke polisi. Bisa diselesaikan oleh tokoh-tokoh adat yang berada di gampong masing-masing,” jelas dia.
Apalagi, lanjut dia, Aceh saat ini sedang digalakkan dengan peradilan adat di gampong-gampong. Maka, sambung dia, identifikasi nilai-nilai hukum adat itu harus dilakukan kembali.
Sementara itu, Tarmizi menjelaskan, kehidupan orang Aceh pada prinsipnya selalu mengedepankan hukum adat yang berlaku di samping hukum positif lainnya.
Oleh sebab itu, Tarmizi berharap agar ke depan, kegiatan identifikasi hukum adat yang dilakukan oleh pihak akademisi ini tidak hanya dilakukan di wilayah Aceh Timur saja, melainkan juga ke seluruh wilayah Aceh.
“Sebaiknya semua wilayah. Walaupun ini ranahnya Majelis Adat Aceh, tapi ketika ada yayasan negara/swasta yang melakukannya, diperbolehkan saja. Karena ini sangat baik dan bagus. Nanti pihak yayasan kan bisa berkoordinasi dengan Majelis Adat Aceh setempat. Berkoordinasi dengan Imuem Mukim dan Kepala Geuchik, karena dua orang itu tokoh pimpinan adat di gampong,” sebut Tarmizi.
Selain itu, Tarmizi juga menyarankan agar hasil identifikasi hukum adat istiadat di Aceh Timur itu supaya dibukukan, sehingga buku itu bisa tersebar di tengah publik sekaligus menjadi asupan penambah wawasan masyarakat Aceh terhadap hukum adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang sudah mulai pudar.
“Saya sebagai mantan Majelis Adat Aceh di Bidang Khazanah dan Budaya sangat mengapresiasi kegiatan ini. Saya juga berharap agar ke depan banyak lahir pihak-pihak dari Aceh yang mau melakukan penelitian dan pengkajian terhadap adat-adat yang berlaku di Aceh kita ini,” pungkas Tarmizi.