Beranda / Berita / Aceh / Tolak UU Cipta Kerja, Ini 7 Tuntutan Aliansi Buruh Aceh

Tolak UU Cipta Kerja, Ini 7 Tuntutan Aliansi Buruh Aceh

Senin, 09 November 2020 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

[IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aliansi Buruh Aceh (ABA) melakukan aksi damai terkait penolakan UU Cipta Kerja di Kantor Gubernur Aceh dan DPRA pada Senin (9/11/2020).

Ketua ABA, Tgk Syaiful Mar mengatakan secara proses pembentukan Undang-Undang tersebut terlalu dipaksakan bahkan terkesan carut marut, mulai dari jumlah halaman yang berbeda-beda ketika diparipurnakan DPR-RI hingga pengesahan oleh presiden yang masih banyak persoalan.

Atas kecerobohan DPR-RI yang mengesahkan Undang-Undang tersebut, maka kami menilai DPR-RI saat ini sudah tidak pantas lagi disebut perwakilan rakyat yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Justeru terkesan DPR-RI hanya menjadi alat pemerintah dan korporasi untuk legalisasi UU di Indonesia," jelasnya kepada Dialeksis.com, Senin (9/11/2020).

"Hanya PKS dan Partai Demokrat, yang masih terlihat memihak dan menyuarakan kepentingan buruh dan rakyat banyak di parlemen, dengan penolakannya terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta kerja pada 5 Oktober 2020 di Paripurna DPR RI," tambahnya.

Ia berujar, selain menimbulkan persoalan besar terhadap perlindungan buruh Indonesia kehadiran Omnibuslaw juga telah menghilangkan hak normatif buruh yang telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Hak normatif buruh itu seperti pengurangan jumlah pesangon yang sebelumnya 32 kali menjadi 25 kali, penghilangan hak cuti haid dan melahirkan bagi perempuan, pemberlakuan sistem kerja outsourcing disemua sektor usaha, kontrak kerja yang tidak terbatas dan hal lainnya yang lebih buruk.

"Untuk itu, maka Aliansi Buruh Aceh mendorong Pemerintah Aceh tetap memastikan dalam penyelenggaraan dan perlindunganpekerja/buruh di Aceh mengacu kepada Pasal 174 – 177 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh serta Qanun Aceh No.7Tahun 2014tentang Ketenagakerjaan, karena lebih spesifik dan khusus berlaku di Aceh serta menurut kami lebih baik dari Undang-Undang Ciptaker," jelasnya.

"Kemudian kami secara tegas juga menolak sikap pemerintah pusat melalui Menteri Tenaga Kerja yang mengeluarkan surat Edaran No: M/11/HK.04/X/2020 tanggal 26 Oktober 2020 tentang penetapan Upah minimum provinsi tahun 2021. Karena kehadiran surat edaran tersebut telah mengabaikan hak buruh untuk mendapatkan upah lebih baik dan layak ditengah masa sulit akibat pandemi Covid-19. Atas berbagai kondisi tersebut," tambahnya.

Dalam aksi damai tersebut, Aliansi Buruh Aceh menyatakan sikap, pertama, meminta presiden membatalkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan menerbitkan PERPPU (Peraturan Pengganti Undang-Undang).

Kedua, mendesak DPR-RI melakukan Legislatif review terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. Ketiga meinta MK mencabut Undang-undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Keempat, menolak Surat Edaran Menteri Tenaga kerja Nomor M/11/HK.04/X/2020 tanggal 26 Oktober 2020 dengan tidak menaikkan UMP 2021.

Kelima, mendesak Gubernur Aceh untuk menaikkan UMP dan UMK tahun 2021 untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan buruh dan rakyat Aceh.

Keenam, mendorong Pemerintah Aceh menjalankan UUPA dan Revisi Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.

Ketujuh, mendesak Disnaker dan Mobduk Aceh untuk menyelesaikan semua permasalahan Ketenagakerjaan dan melakukan Pengawasan serta penegakan norma Ketenagakerjaan pada perusahaan di Aceh baik untuk perlindungan pekerja lokal maupun pengawasan terhadap TKA di Aceh.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda