Beranda / Berita / Aceh / Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Gambut Masih Rendah

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Gambut Masih Rendah

Rabu, 27 Maret 2024 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin saat menyampaikan bahan kajian dalam Diseminasi Hasil Riset Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Tingkat Provinsi Aceh yang diselenggarakan di Banda Aceh, Selasa (26/3/2024). [Foto: Naufal Habibi/Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kondisi gambut masih sangat rendah.

Pernyataan ini disampaikan dalam Diseminasi Hasil Riset Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Tingkat Provinsi Aceh yang diselenggarakan di Banda Aceh, Selasa (26/3/2024).

Sebelumnya,WALHI Aceh bekerja sama dengan Pantau Gambut Indonesia telah melakukan riset di KHG Krueng Teunom- Krueng Lambalik di Kabupaten Aceh Jaya, dan KHG Krueng Bubon - Krueng Meureubo di Kabupaten Aceh Barat.

Pemilihan dua lokasi tersebut merupakan lokasi lahan gambut yang memiliki indikasi paling terdegradasi. 

Ahmad Shalihin mengatakan dari seluruh KHG yang ada di Provinsi Aceh, terdapat dua lokasi yang memilki tingkat degradasi dan ancaman ekosistem gambut yang tinggi. 

Menurut kepditjen PPKL Nomor SK.40 tahun 2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut, KHG Krueng Teunom - Krueng Lambalek di Kabupaten Aceh Jaya dan KHG Krung Bubon - Krueng Meureubo di Kabupaten Aceh Barat merupakan lokasi yang memiliki tingkat kerusakan yang cukup parah.

"Disini masih sering terjadi kasus pembakaran, kebakaran itu dari hasil riset kita disebabkan karena tingkat kelembabannya yang rendah," ujarnya.

Ahmad Shalihin menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kondisi gambut di KHG masih rendah. Meskipun ada upaya dari Dinas terkait dalam hal ini KLHK dalam upaya membangun sekat kanal. Karena tidak cukup sosialisasi dan ketidaktahuan masyarakat justru kanal itu dianggap sebagai ancaman terhadap lahan pertanian masyarakat. 

Dalam hal ini, sekat kanal yang dibangun merupakan dari material yang mudah lapuk seperti kayu bukan dari beton atau bangunan yang permanen yang tidak bisa di rusak.

"Dampak air yang dipertahankan dalam kanal kan tinggi, karena masyarakat tidak ingin lahan pertaniannya terganggu, nah akibatnya masyarakat merusak infrastruktur sekat kanal yang sudah dibangun," ujarnya. 

Ia juga menjelaskan bahwa lokasi ersebut merupakan lokasi lahan gambut yang memilkki indikasi paling terdegradasi. 

Hal ini dapat ilihat dari histori kebakaran dan kehlangan tutupan pohon dari tahun 2015 hingga 2022. 

Pada KHG Krueng Teunom - Krueng Lambalek telah terjadi kebakaran pada tahun 2015, 2016, 2017, 2020 dan pada KHG Krueng Gubon - Krueng Meureubo memiliki histori kebakaran setiap tahun mulai dari 2016 hingga 2019.

Dengan terjadinya kebakaran tersebut menyebabkan kerusakan hidrologi serta menurunkan kualitas air, yang berdampak buruk pada keanekaragaman hayati yang ada di dalam ekosistem gambut di lokasi tersebut. 

Dengan adanya kondisi tersebut kedua KHG tersebut menjadi bahan kajian dalam rangka memastikan efektivitas pelaksanaan restorasi gambut.

"Meskipun saat ini sudah ada dibentuk kelompok masyarakat peduli api tapi itu tidak ada tindakan sporadis. Tidak ada tindak lanjut dari keputusan membuat kelompok itu sehingga upaya mitigasi dini dari masyarakat bisa dilakukan," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda