Beranda / Berita / Aceh / Terkait PT. PBM, GeRAK Aceh Barat: Jangan Menjadi Perusahaan Abal-Abal!

Terkait PT. PBM, GeRAK Aceh Barat: Jangan Menjadi Perusahaan Abal-Abal!

Rabu, 19 Januari 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Masyarakat Adat tutup akses jalan kepada PT PBM karena tak penuhi tuntutan masyarakat Adat. [Foto: Dialeksis]



DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra mengecam perilaku perusahaan PT. Prima Bara Mahadana (PBM) yang abai dan mengangkangi aturan perundang-undangan. Kita juga tidak habis pikir dengan sikap dari dari pimpinan pemerintah daerah Aceh Barat (Bupati) beserta dengan dinas terkait dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat yang tidak mempunyai sikap jelas dalam menegakan aturan perundang-undangan terkait tambang dan kami juga menduga terkesan diam dengan adanya perihal upaya PT PBM melakukan kegiatan operasi produksi di Desa Batujaya SP 3, Kecamatan kaway XVI, Kecamatan Aceh Barat.

Gerak Aceh Barat, Edy Syahputra mengatakan, Apa yang kami sebutkan dilatar belakangi kabar terbaru yang kami dapatkan di lapangan, bahwa ada warga yang melakukan pemblokiran jalan akses menuju lokasi eksploitasi tambang PT. PBM. 

"Dari foto dokumentasi dan temuan lapangan yang kami dapatkan, terlihat alat berat melakukan penumpukan material tanah ditengah jalan yang berupaya menghentikan aktifitas penambangan diatasnya. Informasi lapangan yang kami terima, pemilik lahan belum diganti rugi tanahnya namun perusahaan sudah melakukan garapan ditanah tersebut," ucapnya sesuai keterangan rilisnya yang diterima Dialeksis.com, Rabu (19/1/2022).

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra. [Foto: Istimewa]

Sebelumnya, Edy mengatakan, sudah pernah mengingatkan tentang adanya lahan atau tanah milik warga yang belum dilakukan proses ganti rugi dan ini akan memicu konflik sosial dan persoalan hukum di kemudian hari atas aktifitas eksploitasi yang dilakukan perusahaan. 

Terkhusus untuk tanah yang sudah digarab, Edy menduga, bahwa proses ini tidak dilakukan secara kontrak atau perjanjian hitam putih dengan pemilik lahan. Atas dasar itu, Edy mengatakan, agar pihak Eksekutif dan Legislatif ditingkat provinsi segera memanggil perusahaan untuk membahas perkara ini. 


"Bagaimanapun, proses investasi harus didukung namun kemudian tidak menimbulkan kerugian bagi warga atau masyarakat! Kita juga mendesak agar pemerintah Kabupaten Aceh Barat Bersama DPRK Aceh Barat punya sikap menyelesaikan berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut, mengingat dan menimbang bahwa persoalan ini telah dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas dugaan penyerobotan lahan yang diduga dilakukan PT Prima Bara Mahadana (PT PBM) di Kacamatan Kaway XVI. Rapat berlangsung di Aula DPRK, pada Senin (15/11/2021) lalu. Namun, kami menduga, rapat ini tidak mendapatkan titik temu," tegasnya.

Diketahui, bahwa RDP tersebut dilaksanakan paska permintaan dari perwakilan tokoh masyarakat Kaway XVI yang menyerahkan surat tertanggal 11-11-2021 dan diserahkan kepada Pimpinan DPRK Aceh Barat perihal permohonan RDP dengan PT PBM dan menyebutkan tentang “Pihak perusahaan terkesan mengabaikan para pemilik tanah dalam IUP tanpa ada komunikasi penjelasan terkait status tanah dan juga disebutkan tentang pengabaian Hak Ulayat terkait aktifitas pertambangan perusahaan”.

Namun dilain kesempatan, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Aceh Barat menyatakan mendukung sepenuhnya terkait investasi tambang batu bara oleh PT PBM di daerah ini sebagai upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Mengutip apa yang dituliskan oleh media pada 24 November 2021 lalu, Bupati Aceh Barat H Ramli MS menyatakan bahwa "Alhamdulillah, terkait investasi oleh PT PBM di Aceh Barat semuanya sudah mendapatkan persetujuan dari Forkompimda. Tidak ada lagi masalah”.

"Ini kan menjadi sangat aneh, ketika banyak persoalan yang ditimbulkan oleh perusahaan, tapi malah disimpulkan seolah tidak ada masalah lagi. padahal banyak sekali kejanggalan dan perusahaan melabarak berbagai aturan Undang-Undang yang berlaku," tegas Edy.

Selanjutnya, Edy menjelaskan, terkait dengan persoalan tanah, Kami menduga bahwa unsur Forkompinda telah dengan sengaja mengangkangi dan berani mengabaikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2O21 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dimana dalam BAB XVII tentang Penggunaan Tanah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan, Pasal 175 ayat (1) menyebutkan tentang Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB sebelum melakukan kegiatan Usaha Pertambangan wajib menyelesaikan hak atas tanah dalam WIUP atau WIUPK dengan pemegang hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya ada Pemegang IUP, IUPK, atau SIPB wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama dengan pemegang hak atas tanah. Namun faktanya, hingga saat ini hal tersebut tidak terealisasi! Kami melihat bahwa ada potensi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam kasus ini, dimana ada hak warga negara telah dirampas oleh perusahaan dan negara abai tidak memberikan perlindungan dan bantuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan!


Patut dipahami, kata Edy, bahwa pengadaan tanah yang dilakukan oleh perusahaan tambang batubara adalah diperuntukkan dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan bukan diperuntukkan untuk kepentingan umum. Ini artinya bila mengacu kepada Pasal 18A ayat (2) UUD NRI 1945 mengonstruksikan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Begitu juga apa yang sudah diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Berdasarkan dokumen yang kami miliki, izin milik PT PBM berdasarkan surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor: 545/DPMPTSP/2102/IUP-OP/2017 Tentang Perubahan Atas keputusan Bupati Aceh Barat Nomor 190 Tahun 2012 Tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi, memliki luas area 2.024 Ha, dan salah satu lokasinya berada di Desa Batu Jaya SP3, Kecamatan Kaway XVI," sebutnya.

"Dasar itu, kita juga mendesak agar dinas ditingkat provinsi yang mempunyai kewenangan melakukan melakukan pengawasan untuk benar-benar secara optimal melakukannya, jadi “Beuk Teungeut” sedangkan ada begitu banyak persoalan yang sudah berulang kali kami sampaikan ke publik. Bila tidak, bukan tidak mungkin kami menduga adanya peluang yang dimanfaatkan kelompok atau orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungan semata, namun meninggalkan persoalan memberikan dampak buruk bagi negara terutama daerah penghasil," tambahnya.

Lebih lanjut, Edy mengatakan, kami melihat ada banyak hal yang harus diselesaikan dan harus di clearkan terlebih dahulu. Kembali kita tegaskan, bahwa jangan sampai hal ini berkaitan bahwa ini seolah-olah kewenangan pengurusan tambang adalah hak pusat, padahal kita memiliki kewenangan sebagaimana surat Mendagri Tentang Kewenangan Pertambangan Aceh dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006. 

"Untuk itu juga, kami meminta agar Pemerintah Aceh melalui dinas ESDM Aceh dan Inspektur Tambang berupaya untuk segera melakukan inspeksi ke lapangan atas kegiatan eksploitasi IUP OP yang dilakukan oleh PT. PBM. Hal ini untuk menujukan taji bahwa Provinsi Aceh bisa mengelola pertambangan sendiri dengan baik dan benar sesuai dengan apa yang dimandatkan dalam UU," ujarnya.

Selain itu apa yang kita sebutkan adalah mandat yang sudah dituliskan dengan jelas dalam aturannya, Pasal 34 ayat (3) PP 23/2010 tersebut telah mengatur bahwa kegiatan pengolahan yang dilakukan tercakup dalam IUP-OP dan dasarnya ada empat syarat dalam pengajuan IUP-OP yakni, persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. 

Patut digarisbawahi, bahwa kita tidak anti dengan investasi, untuk itu bahwa proses perizinan terutama menyangkut dengan pertambangan semua harus mengacu kepada aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Terakhir Edy juga mempertanyakan rencana reklamasi dan paska tambang beserta jaminannya sebagaiman diatur dalam PP 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan paska tambang, adapun sanksinya berupa pencabutan izin IUP. Paling parah dan tentunya kami mempertanyakan keinginan Legislatif serta Eksekutif guna menelusuri tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk tahun 2015 oleh PBM sebesar Rp. 267 juta. Dimana disebutkan bahwa PT PBM telah berkomitmen akan segera menempatkan jaminan reklamasi paska paling lambat minggu pertama Desember 2021, kini sudah 2022 dan kita mempertanyakan realisasi tersebut terhadap ESDM Provinsi Aceh!

"Artinya, kami ingin perusahaan harus taat, patuh, dan memperdomani kepada aturan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1827K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik dan jangan menjadi perusahaan yang “abal-abal!”," pungkasnya. []


Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda