Terkait PT LMR di Aceh Tengah, Pemerhati Lingkungan Ini Harap Masyarakat Tentukan Sikap
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Pemerhati lingkungan asal Aceh, TM Zulfikar. [Dok: Pribadi for Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kehadiran perusahaan tambang PT Linge Mineral Resource (LMR) di Aceh Tengah menjadi polemik. Pasalnya masyarakat menolak kehadiran perusahaan tersebut karena dikhawatirkan bakal berdampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat.
Di sisi lain, Aceh Tengah merupakan kawasan tinggi, dalam artian ketika produksi tambang dilakukan oleh perusahaan ini dikhawatirkan potensi bencana alam akan semakin nyata terjadi di sana.
Sementara itu, pemerhati lingkungan asal Aceh, TM Zulfikar dalam diskursus membahas kehadiran PT LMR ini, hal pertama yang ia sampaikan ialah untuk memastikan dulu tata ruang di Aceh Tengah apakah sudah sesuai peruntukannya untuk melakukan pertambangan.
Karena, kata dia, perusahaan tambang tidak boleh masuk ke dalam kawasan yang bertentangan dengan tata ruang, terutama dalam kawasan lindung.
Menurutnya, kawasan Linge Abong tempat yang akan didirikan tambang itu adalah wilayah lindung. Oleh sebab itu, ia mempertanyakan kepada Pemerintah Aceh, apakah kehadiran PT LMR di sana sudah sepenuhnya mengantongi izin usaha tambang.
“Polemik yang terjadi karena kita saat ini tidak tahu apakah izinya sudah keluar atau tidak. Karena permulaan dalam mengantongi izin itu kan prosesnya harus melalu bermacam hal, katakanlah sosialisasi terkait dengan rencana pertambangan di sana,” ujar TM Zulfikar kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (15/8/2022).
Dalam proses sosialisasi, lanjut dia, izin pertambangan harus diminta persetujuan dari masyarakat sekitar, apakah masyarakat setuju atau tidak. Karena jika perihal izin tambang ini mengabaikan persetujuan warga, maka warga bisa menggugatnya dengan menempuh proses hukum.
Di samping itu, Zulfikar mengharapkan masyarakat untuk jelas dalam menentukan sikap terhadap kehadiran perusahaan tersebut. Jika pun ditolak, pihak masyarakat harus jelas menolak dalam hal apa, apakah dari sisi sosialisasinya, dampak bencana alam atau dari sisi ekonomi warga.
Karena, lanjut dia lagi, masyarakat bakalan kesulitan nanti dalam menolak kehadiran PT LMR jika perusahaan tersebut ternyata mengikuti norma hukum yang berlaku di Indonesia dalam hal perizinan tambang.
“Kalau proses ini bisa dilalui (perusahaan) dengan norma hukum yang memadai dan tidak menyalahi aturan, memang sulit bagi masyarakat untuk menolak. Kecuali kita punya dasar-dasar alasan dan bukti yang kuat yang dibenarkan secara hukum,” jelasnya.
Menggugat Amdal?
Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, organisasi konservasi lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Aceh beserta komunitas sipil lainnya sedang menyusun strategi untuk menolak kehadiran PT LMR. Salah satu strategi yang disampaikan pihak komunitas tersebut adalah dengan melakukan gugatan terhadal perizinan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Menurut pemerhati lingkungan asal Aceh itu, sah-sah saja bagi masyarakat melakukan gugatan terhadap perusahaan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah gugatan yang ditunjukkan haruslah dengan dasar bahwa ada sesuatu yang dilanggar oleh perusahaan atau dilanggar oleh pemerintah selaku penerbit izin.
“Apa hal yang dilanggar, misalnya mengabaikan aspirasi masyarakat, kemudian ada wilayah-wilayah yang sebenarnya tidak boleh diberikan izin untuk menggali apalagi untuk menambang. Jadi, memang masyarakat ini tidak bisa kita larang mereka untuk menggugat,” ungkapnya.
Perusahaan Dikabarkan Lakukan Kampanye Pecah Belah
Sebagaimana wawancara tim reporter Dialeksis.com dengan Walhi Provinsi Aceh, dikabarkan bahwa pihak perusahaan tersebut melakukan kampanye pecah belah terhadap masayarkat di Aceh Tengah.
Pasalnya, soliditas masyarakat yang awalnya sama-sama menolak kehadiran PT LMR, kini telah terpecah menjadi tiga kubu, ada yang menolak, ada yang menerima dan ada juga yang abu-abu dalam artian mengharapkan pekerjaan dari PT LMR.
Menurut Zulfikar, kampanye pecah belah yang dilakukan perusahaan tersebut adalah kondisi lazim yang tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di Indonesia.Motif dari kampanye perusahaan tersebut, menurut Zulfikar adalah untuk mengiming-imingi masyarakat yang tidak paham untuk mendukung kehadiran perusahaan. Biasanya dilakukan dengan penawaran perbaikan fasilitas hidup masyarakat dan sebagainya.
“Kalau masyarakat setuju, itu adalah satu hal yang membuat pertambangan ini bisa saja berjalan. Tapi kalau masyarakat tidak setuju, kemudian di wilayah ini memang tidak dibolehkan tambang, bisa saja perusahaan ini tidak dibolehkan beroperasi,” jelasnya.
Di akhir pemaparannya, Zulfikar menegaskan tiga hal penting yang tidak bisa diabaikan dalam diskursus kehadiran perusahaan disebuah daerah.
Tiga faktor yang harus diperhatikan ialah faktor sosial, faktor lingkungan, dan dapak ekonomi masyarakat ke depan.
“Semua orang harus diberikan pemahaman secara jelas dan secara baik, jangan ditutup-tutupi. Apalagi menggunakan kampanye pecah belah. Karena bahaya sekali kalau masyarakat disuguhi dengan informasi-informasi yang buruk dan tidak jelas. Saya pikir itu tidak baik sama sekali,” pungkasnya.(Akh)
- Terkait PT LMR di Aceh Tengah, Afriadi: Industri Tambang Berpotensi Hadirkan Konflik Sosial
- Terkait PT LMR di Aceh Tengah, Walhi: Tambang Tak Bisa Buat Masyarakat Sejahtera
- Karhutla di Aceh Tengah, 25 Hektar Hutan Lindung dan Lahan Masyarakat Ludes Terbakar
- Pemerintah Aceh Diminta Veto PT LMR, Jika Membangkang Wajib Usir