kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Terkait Polemik Ketua MAA, Ini penjelasan Lengkap Karo Hukum

Terkait Polemik Ketua MAA, Ini penjelasan Lengkap Karo Hukum

Minggu, 24 Februari 2019 12:41 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto : kanal aceh




DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Dr. Amrizal J. Prang, angkat bicara terkait polemik pengangkatan pelaksana Tugas Majelis Adat Aceh (MAA) yang menuai reaksi berbagai pihak.

Kepada Dialeksis, Amrizal menguraikan sebab musabab sehingga Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengambil kebijakan tersebut.

"Pelaksanaan Mubes tersebut dilaksanakan berdasarkan tata tertib  (TATIB) yang disiapkan oleh Stering Committe (SC) yang kemudian disepakati peserta Mubes. Padahal dalam ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 13 Qanun No.3 Tahun 2004 tentang  tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh yang memuat substansi Mubes tidak ada aturan membuat TATIB oleh Pengurus.  Qanun malah mengamanatkan agar ketentuan teknis lebih lanjut diatur dengan Peraturan Gubernur sebagai pelaksana aturan Qanun. Akan tetapi Pergub tersebut sampai kini belum ada " jelas Amrizal via selular, Minggu (24/2).

Lebih lanjut, Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh ini juga menjelaskan adanya unsur peserta Mubes yang tidak lengkap sebagaimana perintah Qanun Nomor 3 Tahun 2004.

"Mubes diikuti oleh ketua MAA Perwakilan, MAA Kab/kota, pengurus dan pemangku MAA provisi.Sedangkan  unsur Ahli Adat tidak jelas siapa.  Unsur Tuha Nanggroe juga tidak jelas. Sedangkan Wali Nanggroe  hanya hadir memberi sambutan bukan sebagai peserta Mubes. Peserta Mubes dari 3 unsur ini yaitu ahli adat, tuha nanggroe dan wali nanggroe tidak terpenuhi dalam Mubes. Seharusnya ekses ketiadaan unsur ini, peserta Mubes diatur terlebih dahulu dalam pergub dengan mengeluarkan atau mengganti pesertanya seperti unsur ahli mewakili komunitas adat yang mana. Pengaturan tersendiri Wali Nanggroe, dalam Qanun No. 8/2012 jo Qanun 9/2013 tidak menghilangkan syarat menjadi unsur Mubes MAA " ujarnya.

karena alasan tersebut serta mengingat aturan yang ada saat ini belum bisa menyelesaikan problem konkrit, maka Plt Gubernur Aceh  mengambil kebijakan pengukuhan Pelaksana tugas sebagai bagian dari diskresi yang dibenarkan dalam aturan perundangan.

"secara hukum Administrasi Negara, Gubernur sebagai pejabat administratif, sebagaimana asas hukum freisermessen (diskresi), dibenarkan mengambil kebijakan tersebut, agar tidak memunculkan kekosongan hukum (rechtsvacum) atau ketidakpastian hukum bagi lembaga MAA. Plt Ketua, sifatnya sementara sampai terpilihnya pengurus definitif sesuai peraturan perundang undangan. Begitu juga untuk MPD dan Baitul Mal, relatif sama belum ada Pergub pelaksanaannya" pungkas amrizal.  

Pakar Hukum Unsyiah yang saat ini menjabat sebagai Asisten 1 Setda Aceh, Drs. M. Jafar, M.Hum mengatakan perlunya Qanun No.3 Tahun 2004 tersebut direvisi.

"Ya, sudah 13 tahun UUPA,  ttdak direvisi qanun dan tdk dibuat Pergub. " Tukas Jafar. (PD)



Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda