Semakin Banyak Masyarakat yang Tak Bekerja Semakin Banyak Pula Utang Negara
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
DR. Hendri Saparini sebagai Tokoh Perempuan Ekonomi. [Foto: tangkap layar]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - DR. Hendri Saparini sebagai Tokoh Perempuan Ekonomi mengatakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sudah tumbuh positif namun kebijakannya belum cukup baik dan maksimal.
Tanggapan tersebut disampaikan dalam acara diskusi "Refleksi Akhir Tahun 2021, Persatuan dan Solidaritas Nasional untuk Menjawab Tantangan Bangsa ke depan" yang diselenggarakan oleh Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT).
DR. Hendri mengatakan ekonomi Indonesia tumbuh posisif, ekonomi Indonesia juga sangat ditentukan bagaimana mengelola di dalam negeri, jika ingin menggerakkan ekonomi maka negara punya market dan sistem produksi, Indonesia juga punya Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), itu kebijakan yang luar biasa yang harus digerakkan.
Ia juga mempertanyakan, kenapa dana yang luar biasa untuk pemulihan ekonomi nasional capai hampir 700 terliun tidak ada dampaknya?capai 700 terliun dana yang dikeluarkan untuk pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum ada hasilnya
“Saya rasa ngak ada dampaknya, 700 terliun bukan jumlah sedikit dalam menggerakkan ekonomi, kita selalu fokus dengan pikiran-pikiran tentang solidaritas, persatuan tapi kita lupa terhadap yang lain sehingga segelintir saja yang menikmati besarnya yang seperti itu,” ucapnya dalam diskusi tersebut.
Ia sebagai tokoh ekonomi memperkirakan akan memasukkan faktor politik pemilu PILKADA ketika 2023 tapi ternyata 2021 itu sudah menguras tenaga dan energi kita seolah-olah tahun 2024 tahun depan, kalau ini yang terjadi kita tidak akan fokus untuk pemulihan ekonomi.
Yang sangat ia sayangkan lagi adalah ada kaitan berat antara anggaran dengan pejabat politik, jadi tidak akan sempat memikirkan pemulihan ekonomi, dari diskusi yang ia bahas, setiap negara pemerintahnya memiliki kebijakan yang sangat berada, kebijakan yang membatasi menggelotorkan dana, stimulus yang dilontarkan adalah stimulus kebijakan, kemudahan untuk ekspor, kemudahan untuk izin, kemudahan untuk mendapatkan market, dan lainnya. Inilah yang dilakukan sama mereka, makanya model kebijakan itu sangat bergantung pada faktor ekonomi masing-masing negara.
Lanjutnya, memang di masa pandemi angka kemiskinan itu naik, tiba-tiba mereka diPHK artinya tidak miskin menjadi miskin, untuk mendapatkan pendapat itu pekerja, jadi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan itu ada, kemudian kesenjangan lain adalah dalam berbisnis, sekarang ini tidak semua pelaku bisnis bisa mengakses pasar.
Negara Indonesia mengalami transpormasi tidak pas, negara-negara lain share manufaktur PDP itu hingga di atas 40%, jadi kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan lapangan kerja itu ada, jadi kalau Indonesia tidak merubah kebijakan makin lama makin lebar permasalahannya.
“Semakin banyak orang yang tidak bekerja, semakin banyak utang negara yang harus dibayar, dan lainnya, masyarakat yang menjadi penggangguran tidak diminta untuk melakukan aktivitas ekonomi ya paling ngak bisa menghidupkan diri sendiri, jadi ini yang jadi permasalahan kita, dan masih banyak lagi,” jelasnya lagi.
“Jadi yang harus kita lakukan kebijakan mana yang harus kita pilih, kita harus bersama-sama dalam mengelola dan mengatur jalannya pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.