Selama Pandemi, Kerawang Gayo Minim Pesanan
Font: Ukuran: - +
Kerawang Gayo Lues memiliki warna dan motif yang dan warna yang cerah dibandingkan dengan kerawang kabupaten lain. [Foto: instagram @mediacenteraceh]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kerawang adalah busana adat suku Gayo yang biasanya dipakai saat melangsungkan acara resepsi pernikahan, acara tarian adat dan budaya secara turun-temurun.
Masyarakat di dataran tinggi Gayo kemudian mengembangkan kerawang berdasarkan kondisi budaya di wilayah masing-masing.
Kerawang Gayo Lues memiliki warna dan motif yang dan warna yang cerah dibandingkan dengan kerawang kabupaten lain. Ada empat paduan warna benang di antaranya merah, kuning, hijau, putih dan bahan kain dasarnya hitam.
Selain itu motif kerawang Gayo lues memiliki ciri khas bermotif leladu, rempilis dan sedelinu, yang masing-masing dari motif tersebut memiliki makna filosofinya tersendiri.
Pemilik Item Kerawang Gayo Asmaini mengatakan, motif leladu mengandung makna secara filosofi adalah duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Motif leladu juga boleh digunakan oleh daerah lain.
Motif rempelis filosofinya melambangkan persatuan dan kesatuan namun rempelis dan leladu tidak boleh ditempatkan di bagian bawah atau kaki seperti sepatu. Sementara motif, sedelinu adalah corak bola-bola putih yang wajib ada pada kain kerawang Gayo Lues.
"Kain tersebut merupakan pelengkap/menyatukan motif untuk warna rempelis dan leladu, sedelinu pada prinsipnya bisa digunakan oleh berbagai daerah lainnya," ucap Asmaini saat dijumpai di tempat usahanya Kampung Kute Sere Kecamatan Blangkejeren Gayo Lues, dikutip dari Media Center Aceh, Senin (16/11/2020).
Ia menyebutkan, usaha Item Kerawang Gayo tersebut adalah binaan dari Dekranasda Kabupaten Gayo Lues (Galus) yang sudah memproduksi berbagai jenis produk di antaranya tas, tempat tisu, kain stelan, peci, gelang tangan, kain 21, gantungan kunci dan lain-lain dengan bermotifkan khas kerawang Gayo Lues.
Bahkan, ada juga dikombinasikan dengan daerah lain misalnya paduan dengan corak Sumatra Utara.
"Untuk jenis kain 21 yang melambangkan 21 tiang biasanya digunakan pada acara-acara tertentu seperti penyambutan tamu-tamu untuk penganten," sebutnya.
Ia mengaku harga dari masing-masing produk bervariasi mulai dari Rp10.000 sampai dengan Rp1,2 juta. Selama ini untuk pemasarannya dilakukan melalui Dekranasda dan ke tempat-tempat lainnya, bahkan ada juga melalui pesanan online.
"Selama pandemi ini pemesanannya sangat berkurang dibandingkan sebelum Covid-19," katanya.
Asmaini menambahkan biasanya sebelum Covid, penjualannya bisa mencapai sekitar Rp15 juta sampai Rp20 juta perbulan, namun saat ini nyaris tidak ada pesanan, bahkan pengrajin pun banyak yang sudah dirumahkan.
"Sebelum Covid-19, tidak pernah ada barang yang terduduk. Namun saat ini nyaris tidak ada pesanan," pungkasnya. (*)