SEI Bersama Sekretariat Team 9 Dorong Perbaikan Tata Kelola Perikanan dan Perlindungan Pekerja di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Perwakilan Sekretariat Team 9, Crisna Akbar saat memaparkan hasil kajian praktik perbudakan terhadap pekerja migran awak kapal asal Aceh dalam Workshop dan Diseminasi Rencana Peta Jalan Aksesi ILO C-188 di Provinsi Aceh, Rabu (1/11/2023). Foto: Naufal Habibi/ dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sumatera Environmental Initiative bersama Sekretariat Team 9 menggelar Workshop dan Diseminasi Rencana Peta Jalan Aksesi ILO C-188 di Provinsi Aceh, Rabu (1/11/2023).
Diseminasi ini membahas upaya advokasi dalam rangka mendorong percepatan ratifikasi ILO C-188 untuk mewujudkan standar pelindungan pekerja diatas kapal perikanan baik lokal maupun migran.
ILO C-188 Merupakan instrumen hukum internasional yang mengatur secara rinci langkah-langkah untuk pelindungan pekerja di sektor perikanan, mulai dari perekrutan hingga penempatan dan pemulangan.
Direktur Sumatera Environmental Initiative, Masykur Agustiar mengatakan Sumatera Environmental Initiative terlibat dalam advokasi mendorong percepatan ratifikasi ILO C-188 untuk mewujudkan standar pelindungan pekerja diatas kapal perikanan baik lokal maupun migran.
"Upaya advokasi dilakukan untuk mewujudkan tata kelola di sektor kelautan perikanan melalui perbaikan tata kelola perlindungan pekerja di industri perikanan," ujar kepada media dialeksis.com, Rabu (1/11/2023).
Masykur mengatakan Indonesia sebagai negara kemaritiman dan menjadi salah satu negara yang banyak mengirimkan pekerja di sektor perikanan terutama di atas kapal perikanan jarak jauh berbendera asing belum memberikan pelindungan yang maksimal kepada calon awak kapal perikanan yang berangkat.
"Peta Jalan Aksesi ILO C-188 diharapkan dapat menjadi roadmap bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan Ratifikasi Internasional," ujarnya.
Perwakilan Sekretariat Team 9, Crisna Akbar mengungkapkan temuan mereka tentang adanya praktik perbudakan terhadap pekerja migran awak kapal asal Aceh yang bekerja pada kapal asing, baik pada awak kapal perikanan, maupun kapal niaga.
Mekanisme perekrutan awak kapal ini tidak sesuai dengan aturan, mulai dari penerbitan berbagai izin untuk perusahaan perekrut, proses mengurus izin kerja, proses pembuatan kontrak kerja, sampai pengawasan ketika awak kapal berada di atas kapal asing.
"Indonesia mendapatkan devisa terbesar dari imigran tapi banyak persoalan yang dihadapi oleh imigran kita," ujarnya.
Hingga hari ini, masih banyak AKP asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan berbendera asing dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Permasalahan mendasar lainnya adalah ego-sektoral serta tumpang tindih kebijakan dan kewenangan antar kementerian/lembaga.
"Kedua hal tersebut menyebabkan perbaikan tata kelola migrasi pekerja migran perikanan Indonesia berjalan lamban.
Salah satu contoh, soal izin perekrutan AKP di Indonesia," ujarnya.
Dalam hal ini, Penegakan hukum dan upaya diplomasi bermartabat Indonesia terhadap negara-negara bendera kapal dan penempatan yang mempekerjakan AKP migran asal Indonesia juga cenderung masih lemah.
Salah satu penyebabnya adalah Indonesia yang hingga saat ini belum juga meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan atau yang sering disebut K-188.
Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor penangkapan ikan.
Padahal, K-188 sangat penting dan mendesak untuk memperkuat pelindungan ketenagakerjaan di bidang perikanan yang selama ini dikecualikan dalam Konvensi Ketenagakerjaan Maritim atau Maritime Labour Convention (MLC) tahun 2006.
K-188 memuat sejumlah ketentuan dan standar dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.
"Ini perlu kita desak agar tidak ada lagi korban yang muncul kedepan," ujarnya.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty mengatakan pengawasan perlu diperkuat agar potensi terjadi pelanggaran HAM pada pekerja migran dapat ditekan.
Dian berharap rapat koordinasi antar lembaga/badan pemerintah terkait pelayanan dan perlindungan pekerja migran dilakukan berkala.
"Jika ada kasus yang berpotensi melanggar HAM agar melaporkan kepada Ombudsman untuk diadvokasi," pungkasnya.
Untuk diketahui, Sekretariat Team 9 terdiri dari Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I), Indonesia Ship Manning Agents Association (ISMAA), Human Rights Working Group (HRWG), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Indonesia Sulawesi Utara (SAKTI Sulut) Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Sumatera Environmental Initiative, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Diseminasi ini mengusung tema “Peluang dan Tantangan Perbaikan Tata Kelola Sektor Pekerja dan Industri Perikanan Provinsi Aceh dalam menunjang Ekspor Perikanan Global” dipandu oleh moderator dari Jurnalis Kompas, Zulkarnaini. menghadirkan narasumber dari Kepala Ombudsman RI
Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, Wali Kota Sabang diwakili oleh Asisten II, Faisal Azwar, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh diwakili oleh Kabid Perikanan Tangkap DKP Aceh, Rahima Khairi Isfani, Perwakilan Sekretariat Team 9, Crisna Akbar dan Arifsyah M Nasution dari Ocean Campaigner Greenpeace South East Asia.