Ricky Syah: Tidak Ada Ruang Apresiasi Khusus, Penyair Juga Butuh Hidup
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizki
Penyair, Founder dan Presiden KASTA. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bertepatan dengan Hari Puisi Nasional, Penyair, Founder dan Presiden Komunitas Anak Sastra dan Tanah Atjeh (KASTA), Ricky Syah R menyampaikan ruang berkarya dan apresiasi terhadap penyair maupun penulis masih kurang.
Ricky mengatakan, puisi di Aceh tidak mencuat dan tidak juga tenggelam, penyair Aceh mungkin tidak banyak yang tampil nasional, di Aceh juga mungkin masih berada di zona nyaman apalagi di masa pandemi ini semakin banyak yang vakum dan media-media kurang menerbitkan ruang sastra atau budaya, otomatis ruang berkarya bagi penyair Aceh juga sempit.
Ia juga menyebutkan, kebanyakan teman-teman menulis di media sosial. Sesekali mungkin ada di tingkat nasional. Itu pun orang lama, orang-orang yang udah disebutkan sastrawan atau penyair. Ruang berkarya untuk menjadi seorang penyair di Indonesia kan awalnya karya dimuat dari koran, selanjutnya baru melahirkan buku, dan lainnya.
"Saya termasuk kepenyairan yang terbatas. Walaupun ruang berkarya itu tetap ada, cuma ruang apresiasinya itu yang kurang. Di Aceh memang begitu, tidak ada ruang yang khusus untuk penyair, apalagi di Indonesia yang diminati itu karya-karya prosa seperti novel yang jenisnya roman atau lainnya, sedangkan puisi hanya diminati oleh kalangan-kalangan tertentu aja," ujarnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Rabu (28/04/2021).
Katanya, jangankan di dunia kepenyairan, di dunia penulisan pun apresiasi dari pemerintah agak kurang. Buktinya dari bajak yang terlalu tinggi, perbajakan merajalela tanpa tindakan. Sehingga hal-hal seperti ini para penyair dan penulis di Indonesia takut untuk berkarya. Ketika karya sudah diterbitkan langsung ada yang bajak. Banyak sekali di Indonesia dan tidak ada tindakan sama sekali.
"Apresiasinya ada, tapi yang khusus kali kurang. Contohnya pagelaran puisi di Aceh kurang dan saya lihat pun banyak pro dan kontra masalah-masalah di Aceh ini. Kalau pemerintah tidak mengapresiasi dengan bagus, maka penyair di Aceh tidak bersemangat berkarya, mereka juga butuh hidup, mereka akan kelaparan, semuanya terbengkalai, apalagi ada keluarganya," tegasnya.
Selain itu, kalau kita tidak banyak membaca karya kita akan dangkal, tidak ada nyawanya. Penulis adalah makhluk yang paling sabar di dunia ini apalagi penyair, selain ruang lingkupnya terbatas, karya-karyanya kurang diminati dan akhirnya putus di tengah jalan.
"Trik untuk menjadi penyair tetap berkarya, banyak membaca, menulis, dan banyak bersabar, bicara secara realistis puisi itu tidak menghidupkan tapi dengan puisi bisa hidup, istilahnya seperti itu, artinya kalau kita tidak tahan banting maka kita tidak akan berkarya sampai kapan pun terutama puisi," ungkapnya.
"Saya berharap di Aceh ini lahir penyair-penyair yang benar-benar dipandang, baik tingkat nasional maupun dunia, bukan hanya di lokal aja, karena sangat kurang penyair dari Aceh yang berada tingkat nasional walaupun ada hanya beberapa. Semoga untuk teman-teman yang ingin terjun di dunia kepenyairan jangan patah semangat. Apa pun yang terjadi impian itu tidak boleh mati. Hari ini mungkin karya kita tidak dilihat, tapi beberapa tahun ke depan, karya kita akan dilihat oleh dunia," tutupnya. [AR]