DIALEKSIS.COM | Aceh - Tidak masuknya revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 - 2029 menandai kegagalan serius elite politik Aceh dalam menjaga marwah MoU Helsinki. Padahal kita tahu tidak sedikit uang Aceh habis dalam menyusun kembali draft UUPA agar dapat aplikatif serta memberi manfaat bagi masyarakat Aceh, dalam Fakta ini bukan sekadar soal daftar prioritas legislasi, tetapi sinyal bahwa kepentingan Aceh semakin terpinggirkan dalam percaturan politik nasional.
Aspirasi yang diperjuangkan sejak penandatanganan perdamaian pada 15 Agustus 2005 kini justru menemukan jalan buntu.
Bahkan usulan UUPA untuk direvisi tidak muncul dari baik dari Pemerintah Daerah, Banleg DPR RI atau persorangan. Ini kami duga karena salah alamat dalam pemerintah aceh dalam mengusulkan, dari halaman resmi Web DPRA bahwa DPRA mengantar Draft UUPA final ke badan keahlian DPR RI bukan ke jalur utama tata cara pengusulan perundang-undangan yang diperkenankan secara politik dan hukum.
"UUPA merupakan payung hukum utama kekhususan Aceh. Di dalamnya terkandung mandat besar terkait pengaturan tentang kewenangan politik lokal, partai politik daerah, pengelolaan migas dengan skema dana bagi hasil 70:30, pengakuan adat, hingga kewenangan Qanun sebagai produk hukum setara peraturan daerah dengan kekhususan tertentu,” ujar Zulfikar Muhammad, S.H., M.H, Dosen Universitas Islam Aceh.
“Namun hampir dua dekade berlalu, implementasi UUPA tidak sepenuhnya berjalan. Sejumlah pasal krusial, seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Mahkamah Syar’iyah dengan kewenangan luas, serta pengelolaan sumber daya alam yang berdaulat, masih jauh dari harapan,” jelasnya lagi.
Menurut praktisi hukum dan pengacara ini, ketiadaan revisi memperburuk keadaan. Banyak pasal dalam UUPA yang tidak lagi relevan dengan dinamika hukum nasional. Misalnya, beberapa kewenangan yang bertabrakan dengan UU sektoral pusat akhirnya lumpuh dalam praktik. Revisi diperlukan agar UUPA tetap adaptif sekaligus menjaga roh perdamaian Helsinki.
Terlepas dari itu semua
“Namun kenyataan bahwa usulan revisi tidak masuk Prolegnas lima tahunan memperlihatkan bahwa Elit Pemerintah Aceh, DPR RI belum maksimal menempatkan isu Aceh sebagai prioritas, ini terjadi menurut kami lebih karena terkotak-kotaknya atau karena ego-ego pribadi elit yang terlihat lebih muncul sehingga Absennya UUPA dari daftar itu memaksa Aceh hanya bergantung pada jalur Prolegnas Kumulatif Terbuka, mekanisme sempit yang hanya bisa ditempuh jika ada putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, perjuangan Aceh kini bukan lagi agenda politik, melainkan menunggu momentum hukum yang sangat terbatas,” sesal Zulfikar.
Kekecewaan publik Aceh pun akan memuncak. Sorotan terutama tertuju pada Forum Bersama (Forbes) DPR RI dan DPD RI asal Aceh. Forum ini dibentuk dengan semangat menyatukan kekuatan politik Aceh di Senayan agar tidak tercerai-berai. Namun hasil yang dicapai justru nihil. Janji untuk memperjuangkan revisi UUPA hanya berhenti di podium-podium politik, tanpa bukti nyata di meja legislasi. Rakyat Aceh tentu merasa dikhianati.
“Jangan buat rakyat kecewa. Kalau memang serius, segera susun barisan, ajak seluruh potensi anak bangsa, jangan sok jago sendiri serta jangan terlalu hobi "ikat jalo bak jalo (ikan sampan ke sampan). Satukan kekuatan, jangan lagi bergerak sendiri-sendiri, hanya untuk cari panggung agar dianggap paling berjasa,"tegasnya.
Sejak awal, kelemahan terbesar politik Aceh adalah ketidakmampuan membangun konsolidasi. Antara DPRA, Pemerintah Aceh, hingga Forbes DPR/DPD RI, langkah politik masih terkesan berjalan masing-masing, bahkan sering bertabrakan.
"Dalam konteks revisi UUPA, ketiadaan satu suara inilah yang membuat lobi politik ke pusat tidak pernah kokoh. Pusat melihat Aceh sebagai daerah yang internalnya rapuh, sehingga mudah dipinggirkan dari agenda prioritas," ujar pengacara terkenal humbel ini.
Masih menurut Zulfikar mantan aktivis ini, absennya revisi UUPA dalam Prolegnas juga menunjukkan menurunnya daya tawar politik Aceh pasca konflik. Jika pada periode awal pasca perdamaian Aceh mampu menempatkan isu-isu khususnya sebagai agenda strategis nasional, kini Aceh lebih sering menjadi obyek politik daripada subyek. Dominasi partai nasional di DPR RI membuat isu Aceh tidak lagi dianggap mendesak. Sementara partai lokal, meski memiliki kursi signifikan di DPRA, tidak punya instrumen kuat untuk mempengaruji pusat untuk kepentingan Aceh tanpa dukungan solid Forbes.
“Tanpa kesadaran kolektif, Aceh berisiko kehilangan momentum menjaga marwah MoU Helsinki. Revisi UUPA bukan semata agenda hukum, tetapi simbol bahwa perjanjian damai masih dihormati. Jika aspirasi ini terus diabaikan, maka kepercayaan publik terhadap elite politik Aceh akan terkikis habis. Lebih berbahaya lagi, kekecewaan rakyat bisa melahirkan apatisme politik yang justru membuka ruang ketegangan baru antara pusat dan daerah,” ungkapnya.
Sejarah akan mencatat bahwa kegagalan revisi UUPA bukanlah semata kesalahan pemerintah pusat, melainkan juga cermin kelemahan elite Aceh sendiri. Tanpa kesatuan langkah, tanpa lobi yang terukur, dan tanpa visi bersama, Aceh akan terus menjadi penonton dalam kebijakan nasional. Pesan paling keras kini ditujukan kepada Forbes DPR-DPD RI asal Aceh.
"Hentikan janji kosong, buktikan komitmen dengan kerja politik yang nyata. Jika tidak, rakyat Aceh akan menilai bahwa wakilnya di Senayan hanyalah perpanjangan tangan kekuasaan pusat, bukan penjaga kepentingan daerah Aceh," pungkasnya. [arn]