Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik Dibentuk di Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Universitas Syiah Kuala kembali mengaktifkan beberapa lembaga riset di bawah pusat penelitian dan pengabdian masyarakat (LPPM) Unsyiah. Salah satunya Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK) yang diketuai oleh Otto Nur Abdullah, mantan Ketua Komnas HAM RI.
Sumber Dialeksis.com, Siti Ikramatoun, Sabtu (18/5/2019), mengatakan, pendeklarasian PRPRK Unsyiah disertai dengan diskusi publik perdana oleh PRPRK, pada Kamis (16/5/2019), di Kantor ICAIOS, Banda Aceh. Diskusi bertajuk ‘Perkembangan Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh’ itu hasil kerjasama dengan Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah dan Komnas HAM RI.
Otto Nur Abdullah, Ketua PRPRK Unsyiah mengatakan, kajian-kajian ilmu sosial harus dikembangkan. Ia bahkan berharap Komplek Wisma Unsyiah, (tempat ICAIOS dan beberapa lembaga penelitian Unsyiah berkantor_red) dapat dijadikan pusat kajian ilmu-ilmu sosial.
"Karena ada banyak peristiwa, kasus, fenomena yang tidak tersentuh di Aceh, sementara publik larut dalam tatanan sosial baru yang penuh dengan kenyamanan," ujar Otto.
Ditegaskannya, melaui kajian-kajian baik riset dan diskusi, akademisi harus mampu mengembalikan narasi-narasi kebenaran yang harus "disadari" oleh publik Aceh. Seperti halnya dalam diskusi perdana dengan Komnas HAM, Otto berharap ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh masyarakat Aceh untuk membantu Komnas HAM mengkaji kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Dosen Prodi Sosiologi Unsyiah ini juga berharap mahasiswa, generasi-generasi yang tidak tersentuh konflik pun, mampu membangun imajinasi dan narasi kebenaran tentang konflik. Hal ini dapat dilakukan melalui kajian-kajian di kampus atau dengan melahirkan mata kuliah penting seperti Sosiologi HAM, Konflik dan Resolusi Konflik.
M Choirul Anam, Ketua Tim Proyustisia Komnas HAM untuk Aceh, mengajak audiens untuk berdiskusi dan membuka kembali wawasan tentang konflik, karena penanganan kasus pelanggaran HAM ini bukan hanya melibatkan saksi dan korban, tetapi juga ditentukan oleh publik di Aceh.
Secara khusus, Komnas HAM membentuk Tim Proyustisia untuk kasus-kasus Aceh. Anam mengungkapkan, beberapa kasus pembunuhan massal di Aceh telah ditetapkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat, yaitu kasus Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok. Dua kasus lainnya yang terjadi di Bener Meriah dan Bumi Flora, sampai saat ini, masih ditinjau dan diinvestigasi oleh tim tersebut.
"Artinya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh sangat dipengaruhi oleh konstelasi politik dan kekuasaan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Maka kebijakan politik semata tidak akan mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM ini, dibutuhkan gabungan dari kebijakan politik, hukum dan publik," ujarnya.
Anam mengajak publik Aceh untuk mengembalikan kesadaran terhadap luka lama yang belum sembuh. Karena satu-satunya cara yang dapat menekan negosiasi kekuasaan politik dalam ranah hukum adalah dengan memaksimalkan partisipasi publik, gerakan korban dan gerakan publik. (red)