Beranda / Berita / Aceh / Polemik Penyederhanaan Izin Pendirian Rumah Ibadah, Ini Tanggapan FKUB Aceh

Polemik Penyederhanaan Izin Pendirian Rumah Ibadah, Ini Tanggapan FKUB Aceh

Jum`at, 09 Agustus 2024 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, H.A Hamid Zein. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rencana Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, untuk menyederhanakan proses perizinan pendirian rumah ibadah telah memunculkan berbagai tanggapan dari berbagai kalangan. 

Salah satu tanggapan penting datang dari Aceh, sebuah provinsi dengan status otonomi khusus yang memiliki regulasi tersendiri dalam berbagai aspek pemerintahan, termasuk dalam hal pendirian tempat ibadah.

Aceh, sebagai daerah dengan otonomi khusus, memiliki karakteristik hukum yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. 

Dalam merespons kebijakan yang berpotensi memengaruhi aturan lokal, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, H.A Hamid Zein, menegaskan pentingnya pengakuan terhadap keistimewaan Aceh.

Menurut H.A Hamid Zein, pemerintah pusat perlu memahami bahwa Aceh bukanlah provinsi yang sama dengan provinsi lain di Indonesia. 

Aceh memiliki otonomi asimetris, yang mana status dan kewenangan otonominya diatur dalam beberapa undang-undang khusus, seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

"Polemik terkait rencana penyederhanaan izin pendirian rumah ibadah ini menunjukkan betapa pentingnya dialog antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya daerah dengan status otonomi khusus seperti Aceh," kata H.A Hamid Zein kepada Dialeksis.com, Jumat (9/8/2024).

Di samping itu, Hamid Zein menekankan bahwa pendirian rumah ibadah di Aceh telah diatur secara khusus melalui Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. 

Artinya, setiap perubahan kebijakan terkait pendirian rumah ibadah di Aceh harus terlebih dahulu disesuaikan dengan Qanun tersebut, yang merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Selain harus merujuk pada qanun yang berlaku, Hamid Zein juga mengingatkan bahwa setiap kebijakan pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan Aceh harus melalui mekanisme konsultasi dan pertimbangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008. 

Regulasi ini menggariskan bahwa sebelum kebijakan administratif yang berkaitan dengan Aceh diterapkan, harus ada konsultasi dan pertimbangan dari Gubernur Aceh.

Dalam penjelasannya, Hamid Zein memaparkan bahwa proses ini tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. 

"Kebijakan administratif yang ingin diterapkan di Aceh memerlukan serangkaian prosedur panjang, mulai dari pengajuan rancangan oleh kementerian terkait kepada Gubernur hingga pertimbangan tertulis dari Gubernur," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa konsultasi ini harus menghasilkan berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. 

Jika kebijakan administratif yang diajukan tidak dapat diakomodasi sepenuhnya oleh Gubernur, maka harus dilakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. 

Prosedur yang kompleks ini menegaskan bahwa kebijakan apapun dari pusat harus disesuaikan dengan kondisi dan aturan lokal Aceh.

"Melalui pendekatan yang mengedepankan konsultasi dan penghormatan terhadap kekhususan daerah, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat diterima dan dijalankan dengan baik, tanpa mengorbankan kerukunan umat beragama yang selama ini telah terjaga di Aceh," ujarnya.

Hamid Zein menggarisbawahi bahwa jika prosedur yang diatur dalam Peraturan Presiden tersebut tidak ditempuh, maka kebijakan pemerintah pusat yang ingin diterapkan, dalam hal ini terkait pendirian rumah ibadah, tidak dapat diberlakukan di Aceh. 

"Aceh memiliki otonomi dan keistimewaan yang harus dihormati. Setiap kebijakan yang ingin diterapkan di Aceh harus melalui proses yang telah diatur, jika tidak, kebijakan tersebut tidak akan berlaku di sini," tegasnya.

Sebagai daerah yang memiliki hak untuk mengatur sendiri berbagai aspek pemerintahan, kata H.A Hamid Zein, Aceh menuntut agar setiap kebijakan dari pusat yang berdampak langsung pada daerahnya harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah tersebut.

Selain itu, kata H.A Hamid Zein, Aceh, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, sangat menekankan pentingnya kerukunan umat beragama. 

Dalam qanun yang mengatur pendirian rumah ibadah, prinsip-prinsip ini tercermin dengan jelas, di mana setiap pembangunan rumah ibadah harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang diatur dengan ketat.

Oleh karena itu, wacana untuk menyederhanakan izin pendirian rumah ibadah oleh pemerintah pusat dipandang dengan penuh kehati-hatian di Aceh. 

FKUB Aceh berpendapat bahwa langkah tersebut, meskipun mungkin didorong oleh niat baik untuk memperkuat toleransi beragama di Indonesia, tetap harus memperhatikan kekhususan yang dimiliki oleh daerah seperti Aceh.

Sebelumnya Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan perubahan besar dalam aturan pendirian rumah ibadah. Dalam aturan baru yang akan segera diterbitkan, perizinan pendirian rumah ibadah kini hanya perlu diajukan ke Kementerian Agama, tanpa harus melalui rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) seperti yang diatur dalam aturan lama.

"Aturan lama yang mengharuskan dua rekomendasi, termasuk dari FKUB, sering kali mempersulit proses pendirian rumah ibadah, terutama di daerah dengan mayoritas muslim," ujar Yaqut dalam Dialog Kebangsaan dan Rapat Kerja Nasional Gerakan Kristiani Indonesia Raya (Gekira) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu (3/8/2024).

Perubahan ini, kata Yaqut, telah disepakati bersama Menko Polhukam Hadi Tjahjanto dan akan diformalkan melalui peraturan presiden (perpres).

"Pemerintah ingin menunjukkan kehadirannya dengan mempermudah proses ini. Cukup dengan rekomendasi dari Kementerian Agama saja," tegasnya.

Yaqut menegaskan, hambatan utama dalam pendirian rumah ibadah adalah proses rekomendasi dari FKUB. Oleh karena itu, dalam aturan baru, kewajiban mendapatkan rekomendasi dari FKUB akan dihapus, dan rekomendasi hanya akan datang dari Kementerian Agama.

"Kami berkomitmen mempermudah pendirian rumah ibadah. Semoga aturan baru ini segera diterbitkan, dan pendirian rumah ibadah tidak lagi menjadi persoalan yang sulit," tutup Yaqut. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI